Tentang Bertentangan dengan Ayah

3.5K 586 42
                                    

Ayah Damas adalah seorang polisi berpangkat tinggi. Ibunya perawat. Kakak laki-laki pertamanya bekerja di Badan SAR Nasional. Kakak laki-laki keduanya juga polisi. Kakak perempuannya juga perawat.

Sebagai anak bungsu, seharusnya Damas menjadi pusat perhatian. Seharusnya Damas menjadi anak yang manja. Seharusnya Damas mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Tetapi, nyatanya, harga diri anak-anak di keluarganya selama ini dinilai oleh seberapa besar ayah mereka suka atau bangga pada pencapaian akademis yang mereka raih, lalu berlanjut pada apakah mereka hidup sesuai dengan apa yang beliau inginkan. Damas tidak pernah mencapai prestasi akademis apa pun. Ia juga tidak melangkah di jalan yang dibuat ayahnya.

Damas mengikuti kompetisi-kompetisi atletik di SD dan menjadi pemain unggul tim basket di SMP, tetapi peringkatnya selalu berada di luar seratus besar dan ibunya tidak pernah pulang membawa kabar baik di hari-hari pengambilan rapor. Papa tidak pernah banyak berkomentar. Beliau seolah sudah kehabisan kata-kata dan harapan untuk Damas. "Mau diapakan lagi anak ini, aku sudah tidak peduli," mungkin begitu pikirnya selama ini. Ayahnya itu selalu ingin anak-anaknya menjadi "orang besar" sepertinya. Turun-temurun, keluarga mereka adalah keluarga pengabdi negara. Damas tahu ayahnya juga berharap ia nantinya bisa menyusul kakak-kakaknya bekerja di bidang keamanan atau kesehatan. Tetapi, Damas tidak pernah benar-benar berusaha untuk itu. Ia lebih senang bermain-main di lapangan basket, warnet, dan nongkrong bersama teman-temannya. Ia tidak suka belajar dan tidak pernah cukup termotivasi untuk bersaing secara akademis. Ia selalu merasa kakak-kakaknya sudah terbang terlalu tinggi, dan orang tua mereka sudah tidak lagi mendedikasikan banyak waktu dan kepedulian untuk mengurus anak terakhir. Damas seolah dibiarkan agar menjadi dewasa sendiri. Padahal, Damas tidak tahu caranya.

Mungkinkah dengan cara membanggakan ayahnya? Itukah yang dulu dilakukan ketiga kakaknya agar menjadi dewasa? Tetapi, bagaimana caranya membanggakan Papa kalau Damas tidak bisa melakukan hal-hal yang akan membuat Papa bangga?

Damas sudah mengumpulkan cukup banyak piala dari bidang olahraga, bidang yang Damas suka. Mengapa itu tidak pernah membuat Papa bangga? Apa karena itu bukan bidang yang Papa suka?

Papa ingin Damas meneruskan SMA di SMA Taruna Nusantara, seperti kedua kakak laki-lakinya, agar bisa melanjutkan pendidikan di akademi polisi. Ayahnya sudah mengarahkan Damas untuk berusaha masuk SMA itu, sudah membantu mendaftarkannya, sudah membelikannya buku-buku untuk belajar, tanpa tahu bahwa Damas dan ibunya sudah kongkalikong mendaftar ke sekolah lain, SMA Bomantara. Damas tidak bisa melupakan raut wajah ayahnya ketika ia mengungkapkan bahwa ia tidak lolos tes akademik SMA Taruna Nusantara, tapi sebagai gantinya, ia sudah diterima di SMA Bomantara. Papa kecewa, tentu saja, tetapi ada ekspresi lain di wajah bergurat tegas itu. Sesuatu seperti... kebingungan. Bingung mengapa anak terakhirnya begitu sulit diarahkan ke jalan yang dibuatnya. Bingung mengapa si bungsu begitu berbeda dari ketiga kakaknya. Bingung mesti melakukan apa lagi, bingung karena sudah kehabisan cara, bingung harus bagaimana memperlakukan Damas di saat-saat seperti ini.

Itu raut wajah yang melukai perasaan Damas. Seolah-olah, dengan gagal, dengan melakukan sesuatu yang di luar keinginan Papa walau sesuatu itu bukan hal yang buruk, Damas tidak berkualifikasi untuk menjadi anaknya.

"M-Menurut Papa gimana? SMA Bomantara bagus, kok," ucap Damas, mencoba memancing reaksi lain. "Akademik sama ekskulnya sama-sama bagus. Aku lolos jalur prestasi karena sertifikatku banyak. Anak SMP-ku ada sembilan yang keterima. Aku mau ikut basket dan dapet piala lagi. A-Aku juga bakal belajar sampai bisa ranking--"

"Sudahlah, Dam," Papa memotong dengan suara lelah. "Kamu ke kamar aja. Papa masih nggak tahu."

Papa bisa berhenti mengaturku. Papa bisa berhenti memaksakan keinginan Papa dan membiarkan aku hidup dengan pilihanku sendiri. Papa bisa lebih menghargai usaha-usahaku walau itu bukan untuk meraih hal-hal yang Papa suka. Papa bisa lebih melihat aku sebagai Damas, bukan Kak Aswin, bukan Kak Bakti, bukan juga Kak Citra. Apa itu susah?

Mama membantu Damas meyakinkan Papa untuk merelakan Damas masuk ke SMA Bomantara. Mereka berdiskusi di ruang televisi. Damas menguping mereka dari lantai dua. Dari apa yang dikatakan ibunya, Damas tahu kalau ibunya memilihkannya sekolah itu atas rekomendasi temannya yang seorang direktur di salah satu perusahaan Bomantara Group, dan ibunya ingin keluarga mereka punya sedikit lebih banyak koneksi dengan orang-orang Bomantara Group agar anggota keluarga mereka yang lain, paman Damas yang seorang pengusaha, bisa mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk bla bla bla... agar suatu saat nanti Damas mungkin bisa melanjutkan pendidikan di bidang ekonomi dan membantu pamannya mengurus perusahaan bla bla bla... Dengan segala pertimbangan berbau politik itu, ayah Damas akhirnya tidak berkata apa-apa soal kegagalan Damas masuk SMA Taruna Nusantara. Tampaknya, ayahnya memang hanya bisa dibujuk dengan hal-hal praktis seperti itu.

Kalau ditanya apa Damas muak dengan keluarganya yang seakan-akan tidak bisa menikmati hidup dengan santai tanpa ambisi yang terlalu tinggi, dengan senang hati Damas menjawab, ya. Muak. Muak sekali. Melihat kakak-kakaknya menekuni pekerjaan mereka dalam seragam berwarna oranye, cokelat, dan putih selalu membuat Damas merasa seperti diseret untuk terus berlari walau kakinya sudah hampir hancur, seolah-olah ia harus segera menemukan seragamnya sendiri. Ada suara dalam kepalanya yang terus-terusan berkata, "Aku harus jadi seperti mereka, aku harus jadi seperti mereka, aku harus jadi seperti mereka karena untuk itulah aku dilahirkan di keluarga ini." Tapi, di saat yang sama, Damas juga menginginkan kehidupan lain yang lebih biasa saja, yang lebih sederhana, yang lebih apa adanya, yang tidak memaksanya menjadi sesuatu yang tidak ia inginkan.

Ayahnya pernah bilang, "Kamu itu kebanyakan hidup seenak hati. Coba sekarang yang lebih teratur sedikit. Jangan cuma main-main. Kalau kayak gini terus, kamu bakal terinjak-injak di bawah orang-orang lain yang lebih hebat dari kamu."

Ayahnya tidak tahu kalau tuntutan seperti itu sudah tidak ada artinya lagi. Damas sudah lama terinjak-injak. Di rumah ia terinjak-injak ketiga kakaknya dan ekspetasi ayahnya, di sekolah ia terinjak-injak anak-anak yang lebih berprestasi darinya, di dalam kepalanya ia terinjak-injak pikiran-pikiran buruk yang membuatnya merasa dirinya tidak akan pernah berguna. Ia jadi terbiasa memandang setiap orang sebagai orang-orang yang lebih baik dan lebih hebat darinya. Ia jadi terbiasa menganggap rendah dirinya sendiri. Ia jadi orang yang sebisa mungkin menghindari persaingan. Ia jadi orang yang tidak percaya diri menggapai hal-hal yang besar. Ia ingin hidup dalam kesederhanaan, tidak dikenal siapa-siapa tidak masalah, tetapi di saat yang sama, keinginan itu juga menjadi pemikiran yang beracun karena bertentangan dengan keinginan terdalam Damas: menjadi seseorang yang bisa dipandang ayahnya dengan bangga.

Hari-hari pertama Damas sebagai siswa kelas sepuluh di SMA Bomantara adalah hari-hari tersuram dalam hidupnya. Satu-satunya prestasi akademik Damas adalah berhasil lolos seleksi sekolah itu, tetapi itu pun tidak cukup untuk membuat ayahnya tersenyum.

Kronik DamasWhere stories live. Discover now