"Langit--" Tania kehabisan kata-kata. Dia tidak tahu harus berkata apa.

"Setidaknya lo berbagi sama gue, gak perlu ke semua anak-anak. Gue benar-benar mengkhawatirkan keadaan lo." Langit menarik tubuhnya. Kini ia berdiri tegak tepat berhadapan dengan Tania. Netranya menelisik setiap inchi wajah Tania. "Intact but fragile. Lo terlihat kuat dari luar, namun siapa sangka... Lo sebenarnya sangat rapuh."

Langit meraih tas ransel yang tadi ia letakkan sembarangan di lantai. Menarik resleting hingga tasnya terbuka lalu mengorek isi tasnya. Sebuah buku catatan ada di tangannya. "Ini catatan selama empat hari lo mangkir. Gue yakin lo butuh ini."

"Langit--" Suara Tania hampir tak terdengar karena saking lirihnya. Netranya hanya terpaku pada buku bersampul abu-abu yang dipegang oleh Langit.

Langit menguap lebar. "Gue balik dulu deh, ngantuk banget. Oh iya, gue libur dua hari jadi selama gue libur tolong jangan aneh-aneh karena yang jaga IGD bukan gue."

Tania berdecak. Tangannya terulur mengambil buku itu. Lalu mendekap buku itu di dadanya. "Langit...makasih."

Senyum Langit menyembut. "Sama-sama. Lo jaga diri ya. Gue yakin sih, pacar lo itu bakal lebih-lebih protektif lagi sekarang. Ok, bye! Gue cabut."

Sekarang Tania di ruangan Koas sendirian. Masih dengan buku Langit di dekapannya. Otaknya masih memutar pembicaraannya tadi dengan Langit.

Cklek!

Suara pintu dibuka membuat Tania terperanjat. Dia refleks waspada. Berdiri tegak dengan mata menatap awas ke pintu, menunggu siapa yang muncul dari sana.

"Bri?"

Tania mendesah lega. Tapi, kenapa dokter Steve kemari?

"Selamat pagi Dok-"

Dokter Steve masuk dan berjalan ke arah Tania. Tatap matanya lurus menatap Tania yang kebingungan.

"Are you OK?"

"Ya?"

Masih dengan menatap Tania intens. Seperti Langit, netra Dokter Steve pun menelisik wajah Tania, seperti memastikan bahwa ia benar baik-baik saja.

"I just get info if..." Dokter Steve menggantung ucapannya. Ia kembali menatap Tania, lebih detail lagi memindai gadis itu. "What have done?"

Tania sedikit risih ditatap demikian oleh dokter Steve. Meskipun bukan tatapan mesum atau tatapan menelanjangi, tetapi ditatap secara intens oleh lawan jenis membuatnya tidak nyaman. "Terima kasih Dok, tetapi...saya baik-baik saja."

Ada desah lega terdengar dari dokter Steve. Raut khawatir yang tadi nampak di wajahnya pun perlahan hilang, berganti dengan seulas senyuman. "Lega banget bisa lihat kamu hari ini."

Dahi Tania berkerut. "Mohon maaf dokter, saya--"

Suara ribut-ribut dari luar lalu disusul dengan kemunculan beberapa rekan Koas membuat Tania dan dokter Steve terdiam. Sama halnya, rekan Tania yang melihat di dalam ruangan sudah ada Tania dan dokter Steve pun menghentikan langkah secara serempak di depan pintu.

"Eh? Selamat pagi Dokter Steve." Salah satu rekan Tania menyapa.

"Pagi." Jawab dokter Steve singkat. Lalu beralih ke Tania lagi. "Ok, nanti siang pas jam istirahat temui saya di ruangan."

"Hah? Oh..iya..baik. Baik dokter." Tania gelagapan menjawab.

Dokter Steve kemudian keluar dari ruangan Koas dan rekan Tania langsung menghambur mengerubunginya.

Mulai dari menanyakan ketidakhadirannya beberapa hari ini, menanyakan kesehatannya sampai menanyakan perihal kehadiran dokter Steve di markas mereka.

"Lo tuh sudah tahu kalau jadi Koas itu harus punya badan sekuat Thanos, tapi malah abai sama kesehatan sendiri.." Sabrina mulai mengomeli Tania. Beruntung semua rekannya tidak ada yang menaruh curiga, atau mereka hanya tidak ingin menghakimi. Namun, semua memang tampak mengkhawatirkannya.

BRITANIA -Intact but Fragile- ✅ TAMATWhere stories live. Discover now