Chapter 15

2.6K 539 60
                                    

Oke, mari countdown.
H-3 sebelum ngasih tanda centang di cerita ini. Ciaaa.

-

“Jadi komik sama novel lo kapan terbit, ta?” tanya Bel. Setelah sebelumnya mengobrol soal kekonyolan di tempat kerja masing-masing, kini topiknya tertuju lebih spesifik pada Agatha.

Sambil menyeruput J.Cool avocado pesannya, Agatha tersenyum, “Buat komik, minggu depan rilis. Makanya gue harus ke Jakarta. Soal novel yang baru, masih ngurusin cover.”

“Ini yang pengangguran sekali kerja dua pulau terlewati ya,” komentar Anita takjub. “Buat gue ada gratisan kan, Ta?”

“Dih, beli kali.”

“Jadi apalah arti sahabat ini, Ta?” Bel pura-pura mengerang kecewa, membuat Rena lebih dulu terkekeh sementara Anita dan Agatha sudah geleng-geleng kepala.

“Ya kan sahabat ngebantuin uang masuk ke kantong sahabatnya yang lain,” celetuk Agatha.

Anita pun menambahkan, “Daripada baca komik sama novel, you better do your job, Bel. Katanya bos udah mulai ngomel?”

“Otak yang frustrasi ini butuh kegratisan, Sis.”

“Elah, toilet aja bayar sekarang.” Dan kali ini semuanya tertawa, kecuali Bel hanya bisa mendengus. Kalau sudah masalah bos, sebenarnya Bel merasa agak sensitif. Topik itu sedikit membuatnya terguncang. Tapi, sudahlah.

Ini pertemuan mereka di setelah satu bulan lebih. Dan kalau dihitung, di jangka waktu yang sama juga Agatha tidak bertemu dengan Arka. Setelah mengantar Agatha pulang, Arka sama sekali tidak kelihatan, atau, oke, memang Agatha yang mencoba menghindar. Semua pesan dan panggilan Arka dia hindari dengan satu alasan: sibuk. Dan mesikupun itu alasan yang jujur, Agatha tahu justru Arka yang membuatnya berusaha untuk tetap sibuk. Arka yang memberinya alasan.

Menurut teori yang Agatha ciptakan sendiri, menulis dan menggambar membuatnya masuk ke dalam dunia di mana eksistensi sesuatu di dunia yang sebenarnya menjadi menciut. Hanya saja, teori itu hancur beberapa minggu lalu, tepat ketika salah satu editor dari novelnya menelepon dan berkata, “Ta, ini keren sih. Tapi kenapa dokter yang ini kurang ajar, ya? Gue jadi gemas sendiri. Kenapa dia nggak ada jelasin kalau dia sudah menikah dan main nyosor gitu aja.”

D

i situ Agatha sadar. Arka sudah menyusup bahkan sampai ke dalam alam bawah sadarnya. Semua yang dia kerjakan seolah berhubungan dengan Arka. Kendati menghindar, pria itu justru menyusup diam-diam ke dalam semua hal yang Agatha kerjakan, dan Agatha sendiri yang melakukan hal itu.

“Lo betulan mau bikin ending komiknya begini, Ta? Di versi novelnya sama juga?”

Sebenarnya, Agatha menginginkan akhir yang bahagia. Dia termasuk salah satu dari sekian orang yang selalu menginginkan happy ending. Namun sebagai seseorang yang tinggal di dunia nyata, Agatha tahu kebahagiaan hanyalah sebuah hal semu. Pada akhirnya Agatha tidak bisa memberi jawaban pasti kepada sang editor.

“Mungkin ada, tapi belum ada ide. Gue juga masih bingung mau dilanjut apa nggak.”

“Tapi nggak papa sih, Ta. This ending feels real.”

Agatha hanya bisa tersenyum miris selagi menggumamkan jawaban dalam hati. I know. I felt it by myself.

Pada akhirnya, si editor memberikan Agatha kesempatan untuk berpikir mengenai volume terakhir dari komiknya, sekaligus ending dari novelisasi komiknya itu. Entah itu bahagia atau tidak.

Love Sick (✓)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora