Chapter 2

4.1K 717 61
                                    

“Ta, udah siap belum?”

Agatha memoles lipstick ke bibir, merapikannya dengan bibir beberapa kali, baru membalas panggilan Mama dari kamar. “Aku keluar, Ma. Bentar.”

Begitu mengambil tas di atas meja rias, Agatha segera melangkah keluar ke ruang keluarga. Di sana sudah ada Papa dan Mama yang menunggu di sofa. Dia sedikit heran melihat pakaian orang tuanya yang terkesan terlalu formal untuk pergi ke rumah sakit.

“Kok pakai batik, Ma?” tanyanya. Sebuah helaan napas keluar dari bibir Mama sebelum menjawab.

“Papa kamu habis, nih. Ada acara reuni teman-teman SD lagi, tapi ngotot ikut. Katanya kalau nggak dibolehin nggak bakal mau check up.”

“Lagian udah diajak masa nggak datang.” Papa kelihatan membela diri. “Kalau ikut juga Mama senang, kan?”

“Ya, tapi masih ada yang lebih penting daripada hadir di situ.”

Papa kelihatan tidak begitu suka dengan komentar Mama. Well, itu, sih, Papa banget menurut Agatha. Kalau pasangan di luar sana justru ibu-ibu yang doyan rumpi, di keluarganya justru terbalik. Mama lebih suka di rumah, mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan di rumah setelah pensiun.

Sementara Papa? Duh. Yang namanya reuni tidak bisa dilewatkan. Ajaibnya, Papa masih mengingat teman SD dan rekan seperjuangan jahil—begitu Papa bercerita—sedangkan Agatha hanya ingat tiga orang dari SD. Itu juga karena mereka sahabatnya, yang masih rutin in contact dan selalu ngerumpi bareng tiap kali bertemu.

Kalau sudah mendengar obrolan Mama dan papa, Agatha hanya bisa tertawa. Terkadang merasa hubungan mereka justru lebih asik ketimbang hubungan anak muda sekarang, termasuk hubungannya dan Radit.

Oh, si brengsek itu. Kenapa Agatha menyebut dia lagi, sih? Tidak ada untungnya membandingkan sesuatu dengan...

“Oh, ya, Ta, Radit tumben nggak datang. Biasanya tiap hari rutin ke sini. Sibuk kerja?”

Senyum sumringah di wajah Mama justru membuat Agatha semakin terbakar. Sebesar itu Mama menyukai Radit. Sebesar itu juga Mama mempercayai Radit. Sebesar itu Mama menaruh harapan pada laki-laki brengsek itu dan pada akhirnya dia mengecewakan.

Sayangnya, Agatha tidak bisa bilang. Entah bagaimana cara mengatakannya. Terlebih lagi malam setelah dia dan Radit bertengkar, dia justru pergi ke bar dan...

God! What did I do?

Berusaha untuk meredam emosi, Agatha hanya tersenyum, menjawab pertanyaan Mama dengan, “Sibuk kali, Ma. Kerjaan dia banyak.”

Iya, banyak. Kayak selingkuh di belakang aku, misalnya. Agatha menambahkan dalam hati. Dia berusaha untuk tersenyum, tapi bibirnya terasa begitu kaku.

Raut wajah Mama mencerminkan kalau jawaban yang Agatha berikan kurang memuaskan. Tapi Agatha tidak ingin ditanyai lebih dari ini. Dia tidak ingin membahas apapun yang berhubungan dengan Radit sekarang, atau sampai kapanpun. Dengan langkah lebar Agatha melangkah ke arah pintu.

“Ayo, Ma, Pa. Aku hanya bisa sampai jam 2, nih. Soalnya malam ini draft komik baru harus aku kirim.”

---

Dikarenakan satu dan dua hal, Agatha membiarkan Papa dan Mama mendaftar sendiri. Sejak berangkat dia sudah mendapat belasan missed call, yang tentu saja dia dapat dari editornya. Tidak ada orang lain yang rela menelpon Agatha sebanyak itu. Yah, kalau ini sih bukan menelpon lagi, tapi teror!

Padahals sekarang masih jam 11, yang berarti waktu deadline masih 3 jam lagi. Namun Agatha tahu sendiri, bagi Laura yang namanya deadline itu bukan bergantung pada jam.

Mama nampaknya sudah memperhatikannya dari tadi, jadi Agatha hanya bisa berbisik dan bilang, “Bukan apa-apa kok, Ma. Laura doang.”

“Radit betulan nggak akan datang ya, Ta?” tanya Mama. Dan jujur saja itu membuat Agatha cukup terkejut. Mama merhatiin dia tadi hanya karena Radit? Dan kenapa Mama kelihatan kecewa?

Well, Dit. Just look at how many people you have made pissed off because of your stupidity. Gumamnya dalam hati. Astaga. Agatha jadi merasa bersalah. Andai saja Mama tahu...

Tapi, mana bisa dia memberitahu Mama begitu saja? Dia ke rumah sakit hanya untuk mengantar Papa, hanya untuk check up. Dia tidak ingin Mama justru shock dan Papa ikut-ikutan shock dan sakit.

Tidak. Tidak boleh ada siapapun yang dirawat kali ini. Kalau harus memilih, dia justru ingin memasukkan Radit. Bukan ke sini, tentu saja. Rumah sakit jiwa lebih cocok.

Agatha menggeleng lemah namun berusaha untuk tetap kelihatan santai. “Nggak deh kayaknya, Ma. Dia sibuk banget mungkin.”

“Wah, sayang banget,” balas Mama, raut wajahnya terlihat benar-benar mendukung ucapannya, “padahal Papa tadinya pengen Radit datang.”

Yang ada Agatha justru heran. Memang deh, Papa. Padahal sebelumnya Papa menolak habis-habisan mau diperiksa, tapi malah jadi antusias mengajak orang, seakan pemeriksaan kesehatan ini seperti pesta yang harus mengundang banyak orang.

Poin yang itu tidak terlalu mengusik Agatha sih, tapi yang paling mengusiknya itu orang yang diajak. Radit aja terus, omelnya dalam hati.

Tidak lama setelah percakapannya dan Mama soal Radit usai, seorang perawat dari Nurse Station memanggil, “Bapak Hernandi Surbakti.”

“Wah, Papa udah dipanggil tuh.” Mama langsung berdiri bersamaan dengan Papa, dan Agatha hanya mengekor dari belakang sambil menggeser layar ponselnya. Perawat yang lain menghampiri mereka, membawa surat-surat selagi menunjukkan ruangan praktek dokter yang dituju. Agatha sempat berhenti sebelum masuk ke pintu ruangan.

“Aku di luar aja lah, Ma. Lagian untuk apa masuk rame-rame, kayak mau karaoke aja,” ujarnya selagi memasukkan ponsel ke saku jins.

Yang merespon dulu justru Papa. “Kamu nggak masuk Papa juga nggak nih.”

“Ngapain juga masuk banyakan, Pa? Memangnya boleh?”

“Ya boleh dong?” sahut Papa enteng. Dengan senyum khas kebapakannya, Papa menoleh ke dalam ruangan, seolah bicara dengan dokter di dalam ruangan. “Ya, kan, Dok?”

Samar-samar bisa dia dengar dokter itu bicara, “Boleh, kok.”

Wah, suaranya kedengaran enak didengar. Suara pria. Dan, oh. Agatha bica menebak. Pasti ganteng.

Well, mungkin ini konyol. Tapi percaya atau tidak, Agatha bisa mengenali orang tampan hanya dengan suaranya. Mulai dari suara berat karena sering merokok dan suara berat seksi, suara orang cerewet dan suara orang berwibawa.

Entah bagaimana, Agatha bisa membedakannya. Konyol tapi ajaib. Dan nyata, ya.

Kalau sudah begini, tentu saja Agatha dengan senang hati masuk. Dia sudah siap tersenyum kalem—kalau kata teman-temannya sih senyum ganjen, but who cares? Man love it, right?—dan mencoba kelihatan ayu.

Sayangnya itu hanya pikiran awalnya saja. Nyatanya, Agatha tidak bisa. bahkan tersenyum pun tidak. Yang dia lakukan justru menganga, berhenti ketika baru saja berdiri di depan pintu yang terbuka.

Pria dengan jas putih dokter itu berbalik, kacamata tersangkut di batang hitungnya. Dia pun balik memandangi Agatha keheranan, kepalanya ia telengkan ke kiri. “Lho, kamu bukannya cewek yang...”

Oh, astaga. Agatha menyesal.

Memang sih, dokter ini tampan. Banget, to be exact. Tapi bukan ini yang ingin Agatha lihat. Bukan pria ini. Dia sudah pernah menemui pria ini. Bahkan jika mau mengingat lagi, mereka juga pernah bicara, kan? Kenapa Agatha tidak ingat suaranya?

Sial. sial. Sial. Agatha menggigit bibir bagian dalamnya. Seketika kepalanya seakan ditabrak dengan truk semen super besar dan dia membeku.

Dan lagi, Mama nampaknya mendengar suara si dokter dan menatap ke arah Agatha juga.

“Wah, Ta. Sudah kenal sama Pak Dokternya?”

Oh, damn. Tamatlah riwayatnya.

Mampus. []

Love Sick (✓)Where stories live. Discover now