Chapter 5

3.7K 667 107
                                    

“Jadi lo sama Radit udah putus?”

Agatha menyendok red velvet di depannya dan mengangguk, sementara ketiga sahabatnya sudah kelihatan kesal setengah mampus. Anita, yang notabene paling cuek jadi yang pertama berkomentar. “See? Sudah gue bilang cowok model dia tuh hidung belang.”

“Sebenarnya gue masih nggak ngerti kenapa yang doyan selingkuh tuh dibilang hidung belang. Padahal yang suka selingkuh gitu kan justru yang hidungnya mancung kayak Adam Levine.” Kali ini giliran Gabriela—Bel—yang menyeletuk. “Tapi, nih, Ta, masih syukur dia belum lamaran. Kalau ketahuannya pas mau nikah atau bahkan udah, jatuhnya lebih parah, kan?”

“Tapi yang kayak gini mana bisa disyukuri, dodol,” balas Agatha gemas, meskipun sibuk melahap kuenya. Mengomel sih boleh saja, tapi makanan mana bisa terlewat. Itu sih bukan Agatha.

Rena, yang menurut mereka semua jadi ketua geng karena yang jadi asal muasal tiap pertemuan bisa diadakan, ikut menyeletuk. “Terus nyokap lo tahu?”

“Ah, right. Yang itu nggak bisa di-skip. Tante Di kan sayang banget sama Radit,” timpal Bel.

Anita pun tak ikut ketinggalan. “Sampai kayak anak sendiri gitu, ya. Lo kasih tahu alasan kalian putus?”

“Boro-boro alasan putus,” Agatha menggantung kalimatnya, terlebih dahulu menghela napas, “dia bahkan nggak tahu.”

Serentak ketiga temannya itu terbelalak. “Hah? Serius, Ta?”

“Sangat amat sungguh benar-benar serius,” ucap Agatha, rasa frustasinya seakan merambat sampai lidah. Sendoknya kini tidak lagi berada pada tangannya, sudah bertengger di pinggiran piring. Kini tangannya berusaha memijat dahi. “Nggak bisa bayangin tanggapan nyokap nih gue.”

Teman-temannya mengangguk setuju. Well, ini juga alasan mereka berempat bisa jadi teman satu geng. Alasan sekadar “kita nyambung” terlalu sederhana untuk mereka. Mengenal satu sama lain sama juga dengan mengenal lingkungan sesama.

Soal orang tua? Tentu saja. Dan mereka berempat pun tahu, satu-satunya tipikal orang tua yang ngidam mantu jelas paling cocok dengan Tante Di.

“Radit kira-kira main pelet nggak ya?” Pertanyaan yang agak konyol itu keluar begitu saja dari bibir Bel, membuat yang lain melongo.

“Ya kali.” Yang membalas lebih dulu Anita. “Dipikirin secara logika juga pantas aja sih. Dari luar aja Radit tuh emang mantu goals banget. Dia cakep, kerjaannya bagus, dan kelihatan perhatian sama Agatha. Orang tua mana yang nggak senang?”

“Lo kok jadi kayak belain dia sih?” protes Bel.

“Ya kan ini gue make logika. Emang gue benar, kan? Lagipula Tante Di juga posisinya nggak tahu kalau Radit tuh buaya.”

Perasaan Agatha jadi kalau balau. Mengingat semua ini, tak peduli berapa kali pun memikirkannya, solusi pun tak kunjung muncul. Ditambah dengan Mama yang heran karena Radit tidak pernah datang lagi.

“Kalian lagi berantem ya?” Begitu pertanyaan polos Mama.

Bukan berantem lagi, Ma. Udahan. Udah selesai.

Kalimat itu beberapa kali nyaris keluar dari bibirnya, namun dengan beberapa pertimbangan, itu semua kembali masuk ke kerongkongannya. “Nggak papa kok, Ma. Kami masih sering ketemu di luar.”

Hah! Ketemu apanya! Bahkan ngelihat batang hidungnya aja aku nggak mau, Ma!

Beberapa bayangan mulai menghantui Agatha, dan itu membuatnya risi sendiri. Tidak baik. Tidak baik. Tidak ada yang baik. Kalimat-kalimat Mama, Papa, bahkan sampai anggota keluarnya yang lain mulai berputar di kepalanya.

Love Sick (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang