Chapter 1

5.2K 756 51
                                    

Matanya terasa begitu berat untuk dibuka, namun sinar matahari memaksa untuk menyelinap, membuat matanya mengerjap. Agatha terbangun sambil meregangkan lengan.

Anehnya, pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya. Dengan santai dia menarik selimut untuk menutupi diri dan kembali berbaring. Ya, ampun. Dia masih benar-benar mengantuk. Lelah sekali rasanya.

Baru saja mau memejamkan mata, Agatha harus membuka mata ketika mendengar seseorang.

“Lho, udah bangun kok tidur lagi?”

Agatha seketika bangun. Matanya melotot, memandangi laki-laki yang entah datangnya dari mana, dengan handuk melingkar di pinggang dan leher, sementara dadanya terpajan begitu saja.

Ya, ampun! Dadanya!

“NGAPAIN KAMU DI SINI?!” teriaknya histeris. Agatha tiba-tiba membayangkan hal-hal menyeramkan. Terlebih lagi, si laki-laki ini justru tersenyum, melangkah mendekat dengan entengnya. Apa ini? Pembunuhan pagi-pagi?  Atau penculikan? Atau... atau apa?!

“Padahal kamu yang ngajak saya ke sini. Pagi begini masa diusir, sih?” Kenapa jawabannya santai begitu, sih? Agatha kesal sendiri. Tak tahukah laki-laki ini kalau dia panik?

Agatha sudah bersiap untuk menyerbu bantal, melempari laki-laki di dekatnya ini dan kabur. Dia baru saja mau berteriak, tapi ketika laki-laki mencondongkan tubuh, napasnya tertahan.

“Apa semua perempuan begini? Habis senang laki-lakinya dibuang?” Ada sedikit nada kesal pada kalimatnya, membuat Agatha merinding sendiri. “You just screamed under me few hours ago, begging for more, but now you try to yell at me?”

“Aku teriak... apa?” Agatha balik bertanya, dan herannya, laki-laki itu justru semakin tertawa.

“Haruskah saya ngulang lagi? Nggak keberatan sih. Berhubung kita bisa sama-sama easy to get naked sekarang.”

Naked ndasmu! Agatha baru saja mau meneriaki isi pikirannya, tapi kepalanya kembali berputar. Sama-sama, katanya? Dia menarik dagunya untuk turun, membiarkan matanya memandangi diri sendiri. Yang ada hanya selimut. Selimut dan dirinya. Hanya itu.

“Daaammmnn iiittt!”  Yang Agatha lakukan berikutnya justru mengambil selimut, menutup diri. Bukan menutup lagi, tapi membungkus. Dari balik selimut Agatha kembali berteriak. “Just what happened?! Apa kamu... aku... apa kita...”

Kening laki-laki itu mengerut. Dia bingung, tentu saja. Tapi sebuah pertanyaan ada untuk dijawab, bukan?

Sambil beranjak dari pinggir ranjang dia menjawab, “We had sex. Apa kamu nggak ingat? Mau saya ingatkan lagi?”

“HAH?!”

Agatha akhirnya menyembulkan kepala dari balik selimut. Tapi sebelum dia bersuara lagi, laki-laki itu sudah kembali pergi ke kamar mandi setelah bilang, “Saya nggak keberatan sih. Tapi saya harus siap-siap. Ada pasien yang harus saya cek pagi ini.”

-----

Arka melipat kedua tangannya, bersandar pada kursi dan mengembuskan napas kasar. Huh, pikirannya masih campur aduk sekarang.

Meskipun pekerjaannya sejauh ini tidak ada halangan, tapi tetap saja memikirkan hal itu benar-benar membuatnya tidak nyaman.

God, that woman just really.. ugh! Arka bahkan bingung mau menyebutnya bagaimana. Tadinya dia berpikir perempuan itu hanya pura-pura, supaya kelihatan tidak kotor.

Sok suci. Ah, itu kata yang mau Arka gunakan. Tapi kelihatan justru dia memang tidak ingat apa-apa.

Dia ingin mempercayai soal itu. Tapi, memangnya perempuan bisa dipercaya begitu mudahnya? Arka tahu sendiri terlalu mempercayai perempuan itu bukan ide yang bagus. Terlebih, topik yang ini agak sensitif, ‘kan?

Awalnya Arka berpikir dia akan dimarahi, atau bahkan dituntut. Atau mungkin, semacam pemerasan uang tutup mulut. Perempuan zaman sekarang sudah terlalu pintar untuk melakukan hal itu.

Padahal biasanya laki-laki yang mengambil keuntungan. Atau ini karena Arka yang tidak terlalu beruntung kalau sudah urusan perempuan?

Entah apa yang direncanakan wanita itu, Arka juga tidak mengerti. Sudah dua hari semenjak kejadian itu. Sejauh ini, mereka tidak pernah bertemu. Arka bahkan tidak tahu siapa gadis itu.

Bukannya tenang, Arka justru makin memikirkan hal-hal terburuk yang mungkin akan terjadi padanya. Dan bayangannya justru mengusik. Tidak ada yang bagus.

Sebuah helaan napas keluar dari bibirnya seraya jemarinya menyisir rambut. Memang, sih, yang waktu itu dilakukan gadis itu seolah dia menghindari Arka dan bilang, “Semoga kita nggak ketemu lagi.”

Di satu sisi, Arka cukup menyukuri itu. Hanya di sisi lain, Arka merasa harga dirinya terinjak.

Is he that bad? Dan kenapa dia merasa terbuang? Heck. Arka bahkan mulai membayangkan bagaimana jadinya jika gadis yang entah siapa namanya itu sudah merencakan sesuatu. Dia benar-benar tidak bisa tenang sekarang.

Pikirin pasien, Arka, bukan dia. Berkali-kali Arka membatin, mencoba mengingatkan diri. Tapi pada akhirnya dia tetap mengerang, ada hasrat ingin menjambak rambut.

Oke, Mahardika Arka Santosa, you can calm yourself. Lagi pula kalian nggak akan ketemu lagi. Nggak akan. Batin Arka sekali lagi. Dia menenangkan diri, mengangguk-anggukkan kepala sendiri sampai akhirnya pintu ruangannya terbuka dan seorang perawat masuk. Tiba-tiba Arka jadi canggung sendiri. Kepalanya tiba-tiba berhenti bergerak, dan Arka buru-buru mengenakan kacamata yang dia lepas.

“Ma-maaf, Dok,” kata si perawat canggung. “Saya di suruh ke sini karena Dokter dapat pasien baru.”

Dengan cepat kepalanya mengangguk, membalas si perawat dengan, “Oke, saya akan segera ke sana.” Arka berusaha untuk tetap bersikap tenang dan berwibawa, seperti biasanya. Seharusnya memang dia begini. Hanya saja terlalu banyak hal yang terjadi pagi ini sampai-sampai dia jadi kurang fokus begini. Tidak biasanya Arka begini.

Tapi, sesuatu membuatnya merasa sedikit tercoreng. Am I that bad? Really? Pria itu bergerak menyisir rambut dengan tangannya, mencoba memfokuskan diri, mengembalikan bagaimana dirinya yang seharusnya.

Lagi pula, kenapa jadi dia yang harus panik? Toh kalau masalah hubungan seksual begini yang banyak kena imbasnya itu wanita, bukan Pria, kan? Tapi, bagaimana jadinya kalau wanita itu justru punya penyakit menular dan Arka bisa saja...

Damn it! Arka jadi merinding sendiri. Ini justru membuatnya terlihat seperti anak ingusan yang baru pertama kali mengetahui adegan ranjang. Arka bahkan sudah tidak cocok dikategorikan ingusan. Ini bukan pertama kalinya dia tidur dengan seorang wanita.

Ya, memang tidak. Tapi ini pertama kalinya Arka merasa begitu terbuang.
Dia masih tidak bisa tenang sebelum mengetahui apa motif sebenarnya dari wanita itu.

Kalau sudah kotor, kenapa harus bertingkah suci dan polos begitu, sih? Nggak elit banget. Pikir Arka. Karakter seperti ini yang dia benci dari wanita.

Shit. Kenapa juga dia harus memikirkan ini semua? Just let it go. Let it be like the way it was. Toh, kalau dipikir-pikir, bukan Arka yang menabrak wanita itu dalam keadaan mabuk, kemudian memohon agar membantunya melupakan hari buruk, dan berakhir di kamar menginap Arka.

It wasn’t him. That woman did. Itu salah wanita itu. dia yang melakukannya. Dan, sesuai katanya, mereka tidak akan bertemu lagi, bukan? Tidak ada yang perlu Arka pikirkan kalau begitu. Dia benar-benar harus belajar mengendalikan pikiran yang terlalu sering berprasangka.

Dia menghela napas, mencoba merogoh ponselnya. Ada beberapa pesan masuk, notifikasi dari email, dan juga satu pemberitahuan dari kalender yang dia tandai.

27 Maret. D-Day. Done.


Beberapa hal seketika mengambang dalam pikirannya, namun Arka memutuskan untuk menyingkirkan pikirannya itu, mengunci layar ponsel dan kembali memasukkannya ke dalam saku.

Yah, tanggal itu sudah lewat sekarang. Arka sudah tidak bisa menggila seenaknya. Tapi sialnya, Arka justru dapat kegilaan lain untuk dipikirkan untuk setelah tanggal itu.
27 Maret. Mungkin Arka akan membuat momentum karena di tanggal yang sama juga, Arka lagi-lagi merasa terbuang. []

*

Love Sick (✓)Where stories live. Discover now