Chapter 3

3.9K 693 94
                                    

Mampus gue.

Berkali-kali kalimat itu Agatha lemparkan pada dirinya sendiri. Tangannya mengepal, memegang tali ranselnya tatkala dia melangkah masuk dengan gugup, menutup pintu ruangan.

Satu-satunya jawaban yang dia berikan pada Mama hanyalah “gitulah, Ma” diikuti suara tawa canggung, dan semoga Mama tidak menyadari hal itu.

Dokter itu memandangi Agatha masih dengan tatapan yang sama saat awal mata mereka bertatapan, tapi Agatha memilih untuk mengabaikannya. Ketika menutup pintu, Agatha bisa melihat ada papan ruangan yang lain dengan nama di bawah nomor ruangannya.

Mahardika Arka Santosa. Nama yang bagus. Dan untuk diakui, perawakannya pun menyanjung namanya. Laki-laki itu tinggi, rahangnya cukup tegas, rambut yang tertata rapi, dan jangkung.

Tapi tetap saja, itu bukan nama dan orang yang ingin Agatha temui dengan orang tuanya, berada di satu ruangan sementara Mama sudah kelihatan siap bertanya ini itu.
Mama bisa saja lebih suka di rumah ketimbang bersosial, tapi Mama tetaplah wanita. Dan wanita itu termasuk makhluk hidup paling penasaran yang berjalan di bumi. Dan itu berarti, Mama juga tipikal orang yang penasaran.

Untuk pertama kalinya Agatha berharap Mama tidak banyak tanya. Malu bertanya sesat di jalan. Itu benar. Tapi kalau Mama banyak tanya sekarang, bisa-bisa Agatha yang malu.

Ini buruk. Agatha tidak bisa membayangkan bagaimana jika Mama bertanya dan Arka justru menjawab dengan ringannya, “Oh, tiga minggu lalu anak Ibu dan Bapak tidur sama saya.”

I’m gonna be dead! DEAD! Agatha mengerang dalam hati.

Well, this isn’t going to help. Her mind won’t help. Dia harus tenang. Harus tenang. Bersikap seakan tidak ada yang terjadi. Beberapa kali berusaha mengembuskan napas perlahan, Agatha akhirnya berbalik dan duduk di bangku yang ada di pojok ruangan, sementara Papa sudah berbaring di tempat tidur yang tersedia, dan Arka sudah mengeluarkan stetoskop. Salah satu perawat sudah siap dengan catatan.

Arka tidak mengatakan apapun, namun ketika pria itu menatapnya, Agatha merasa jantungnya yang kini bermasalah. It doesn’t mean in romantic ways, but it means like how it sounds like. Sumpah, Agatha merasa jantungan. Rasa takutnya makin menggebu.
Dengan gugup Agatha berusaha mengeluarkan ponsel, mengalihkan perhatian agar punya hal lain yang bisa dipandangi selain mata Arka.

“Saya mulai periksa, ya, Pak.”

Agatha curi-curi pandang. Sesekali dia melirik ke arah Papa—atau, oke, sebenarnya dia melirik ke arah Arka—dan memperhatikan pria itu dalam diam. Wajahnya seakan berubah jadi tomat yang tengah dipanggang tiap kali mengingat fakta bahwa dia pernah tidur dengan Arka.

Mati aja lo kalo nyokap tahu, Ta! Sesuatu di dalam dirinya justru meneriakinya, membuat Agatha kembali menundukkan kepala, mengalihkan tatapan pada layar ponsel.

Kalau diingat-ingat, Agatha tidak berhasil menemukan file dalam otakku yang berisikan “a night with Arka” itu. Sumpah, dia tidak ingat apa-apa. Sudah tidur dengan orang yang tidak dikenal, dan sekarang tidak ingat apa-apa soal kejadian itu. Well, syukurnya Arka ganteng sih.

Syukur apanya! You just lost your virginity, Agatha! What’s to be proud of?

Dari kumpulan geng, oke, buka-bukaan saja, ketiga sahabatnya itu seringkali dengan bangga cerita pengalaman mereka tidur dengan seorang pria.

Sisi baiknya, mereka tidak mencoba untuk munafik. Sekarang budaya Timur memang sudah mulai bercampur dengan budaya negeri seberang. Agatha memang tidak menghakimi, tapi bukan berarti dia dengan senang hati akan tidur dengan pria, bahkan meski itu Radit sekalipun.

Love Sick (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang