Chapter 12A

2.4K 511 91
                                    

Aku bagi jadi 2 part ;)
Gapapa sih. Mau aja hehe. Iseng.
Lumayan lah ya asal update tiap hari mah 😂

--

“Nggak ada barang yang mau kamu beli, Ta?”

Pertanyaan Mama membuat Agatha berhenti mendorong trolley sebelum dia menoleh ke belakang, melihat Mama yang tengah memandangi rak youghurt. “Nggak deh kayaknya, Ma,” jawab Agatha. Namun kemudian dia teringat sesuatu. “Oh, iya. Kayaknya tinta printer aku udah habis sih. Mau nyari refill tinta.”

“Kalau gitu cari dulu gih. Mama mau ke tempat buah dulu.”

“Nanti aku nyusul ke rak buah kalau gitu.”

Mama hanya mengangguk, dan Agatha segera melangkahkan kaki dan berpindah haluan ke bagian elektronik dan kantor. sebenarnya, Agatha tidak btuuh waktu lama. Yang dia butuhkan hanyalah tinta, tidak ada lagi. Dan memang tujuan awalnya hanya sekadar menemani Mama. Namun perhatiannya teralih begitu dia melihat ke bagian daging-dagingan.

Satu ide terlintas di kepalanya, membuat kakinya bergerak ke sana, memandangi daging yang sudah dipotong dan diletakkan di dalam etalase kaca transparan.

“Mas, saya mau fillet yang ini dong. Empat potong.” Dan tak butuh waktu lama, Agatha langsung diberikan plastik berisi apa yang dia inginkan. Sebuah senyum tersungging di bibirnya. Tangannya merogoh saku, sempat terpikir untuk menelpon Arka dan bertanya apa pria itu bisa masak daging atau tidak, or else Agatha will take the control of his kitchen. Namun begitu melarikan tangan ke saku, dia baru sadar ponselnnya dia tinggalkan di tas yang dia titip.

Ugh, bagus. Tapi sudah dibungkus begini, masa iya dikembalikan begitu saja? Bukan masalah besar. Lagi pula, rasanya Arka pasti tidak akan keberatan jika Agatha membajak dapurnya selama kurang dari satu jam.

Meski berkali-kali mengingatkan diri bahwa semua ini hanyalah hal sederhana tanpa sesuatu yang spesial, hatinya justru berkata lain. Hal yang sama pun membuat Agatha tidak bisa berhenti tersenyum selagi membawa boks tinta dan daging yang dia pesan.

Hanya butuh beberapa detik baginya untuk mengubah pikiran, mengambil keranjang sendiri dan mengisinya dan beberapa makanan ringan dan soda. Sekarang justru berkesan seperti mau menghabiskan waktu untuk kencan di rumah.

Tunggu dulu. Ini bukan kencan.

Agatha buru-buru menggelengkan kepalanya, bergumam tanpa suara selagi membawa keranjang belanjaan dan mencari Mama. Saat ini dia juga perlu mencari alasan. Kenapa tiba-tiba kembali dengan keranjang berisi makanan. Tidak bisa bohong, kan?

Yang Agatha perlukan sekarang hanyalah merangkai kata. Dia hanya butuh menjelaskan dengan baik dan tidak menimbulkan kesan apapun. Karena memang tidak ada apa-apa selain sekadar makan bersama. Bukan begitu?

O

ke, Agatha. Jadi tinggal bilang aja ke Mama kalau...

Bahkan rasanya Agatha berhenti berpikir. Otaknya kosong, mulutnya menganga, matanya terbeliak. Kakinya berhenti melangkah sementara mendapati sosok Mama ada di dekat rak minyak. Sebenarnya, bukan itu yang mengagetkan Agatha. Bukan hanya Mama, tapi si laki-laki jangkung yang tengah berdiri di hadapan Mama dan mulai bicara.

Kok Radit bisa di sini?!

Pemikiran yang konyol, memang. Siapapun bisa saja datang ke supermarket. Namanya juga tempat umum. Hanya saja, bukan ini yang Agatha harapkan. Dia dibuat melongo sementara matanya yang membulat mungkin saja bisa lepas dari tempatnya begitu Radit menolehkan kepala dan melihatnya.

“Mi, tuh ada Agatha.”

Kepala Mama pun ikut menoleh ke arahnya, dan di saat itulah Agatha tahu hidupya sudah di ujung daun. Atau, mungkin dia sudah menapaki titik paling ujung. Senyuman yang Mama keluarkan justru memberi kesan tersendiri baginya. Kesan yang mengerikan, tentu saja. Apa saja yang sudah Radit bicarakan pada Mama?

“Ta, nih ada Radit.”

Pupus sudah harapan Agatha. Meski konyol, dia sendiri sempat berharap sosok Radit itu hanyalah rekayasa dari pikirannya sendiri. Sayang faktanya tidak begitu. Radit memang nyata, bahkan terlalu nyata sampai Agatha merasa ingin menggali tanah dan bersembunyi.

“Hai, Dit.” Sapaan setengah ikhlas itu terucap, sebisa mungkin Agatha berusaha untuk tersenyum. Anehnya, Mama justru semakin tersenyum lebar.

“Nggak nyangka banget bakal ketemu di sini. Kamu lagi sibuk banget ya, Dit?”

Agatha justru mengerutkan kening karena sikap Mama. Kok Mama santai gini? Dan lagi sikap Radit pun begitu—walaupun si buaya darat satu ini memang selalu kelihatan santai dan baik. Sok baik sih, lebih tepatnya.

“Gitu deh, Mi. Urusan kantor lagi banyak,” balas Radit. Mendengar itu Agatha langsung mendengus, ada hasrat ingin tertawa. Sibuk selingkuh dia, Ma. Bukan ngantor. Pikir Agatha. Namun nyatanya, dengusannya terlalu keras sampai mencuri perhatian Mama dan Radit.

“Lho, Ta, kok gitu?” tanya Mama. Radit sempat kelihatan terkejut, namun dalam hitungan detik, dia justru tertawa.

“Kapan-kapan deh aku mau ke rumah, Mi. Kangen juga,” ujarnya. Kepalanya kemudian menoleh ke arah Agatha, dan senyum yang dia ukir terasa janggal untuk Agatha. Kemudian, “Oh, ya, Ta, gimana sama pacar baru kamu?”

THE HELL, RADITYA?!

Bukan hanya Agatha yang terkejut, tapi Mama juga. Kepala Mama kini berbalik ke arah Agatha. “Ta?”

Astaga, ini dia saat-saat mengerikan yang tidak ingin Agatha alami. Dalam otaknya jelas terangkai bahwa sebaiknya dia cerita semuanya. Tapi bukan itu yang dia lakukan. Tatapan Mama terlalu menggambarkan rasa kecewa, dan itu hanya bisa membuatnya mengatupkan bibir. Sama sekali tidak bisa berkutik.

Amarah meletup, nyaris meledak. Namun dia tahu hal ini sudah semakin buruk begitu dia mendengar Mama berbisik, “Kamu selingkuh lagi, Ta?”

*

Jelas hari ini bisa jadi hari sial Arka. Atau, ya, dia memang sedang sial total.

Dia sudah menunggu hari ini, bahkan dia mempersiapkannya. Ada pemikiran konyol semacam persiapannya yang lebih mirip seperti dinner untuk sepasang kekasih ini, namun nyatanya dia hanya bisa menghela napas. Sudah nyaris dua jam berlalu, dan seharusnya makanan ini sudah habis. Tapi faktanya, makanan yang Arka masak bahkan tidak tersentuh sama sekali. Dan lagi, kenapa Agatha tidak bisa dihubungi?

Arka mendesah gusar, tangan berlari untuk menyugar rambut sebelum mengambil ponsel, mencoba untuk menghubungi Agatha. Sekali lagi, pikirnya. Coba sekali lagi. Ka. Paling nggak tanya kenapa nggak datang.

Begitu mencoba, nada sambung terdengar. Hanya saja ketika Arka bersuara, justru bukan suara Agatha yang terdengar, tapi suara laki-laki tak dikenal. Seketika Arka panik. “Ini siapa, ya?”

“Mas pacarnya Mbak yang punya handphone? Coba jemput pacarnya, Mas. Kasihan, kayak depresi banget.”

Meskipun ucapan laki-laki itu jelas saja salah, tapi Arka tidak berniat untuk mengoreksi itu. Dia justru bergegas pergi, menarik jaketnya di dekat sofa. “Saya harus ke mana, Mas?”

“Sobs, bar di jalan Cihampelas.”
Seketika Arka tercengang, kakinya berhenti melangkah tepat di depan pintu apartemen. Astaga, apa yang Agatha lakukan di bar?

*

GANTUNG HAHAHAHAHA

Love Sick (✓)Where stories live. Discover now