Chapter 9

3K 515 83
                                    

Goddamn holy double triple combo shit!

Agatha melempar diri ke kasur, membiarkan wajahnya menempel dengan bantal dan meredam jeritannya.

Oh, this can’t be real!

Hanya saja Agatha masih bisa merasakan bagaimana saat Arka menciumnya tadi. Ini benar-benar di luar dugaan. Dan Agatha hanya diam saja, malah ikut memejamkan kedua matanya.

Agatha benar-benar tidak tahu bagaimana dia harus bersikap terhadap Arka setelah ini. Dia mungkin pelupa. Tapi tetap saja, hal ini tidak mudah untuk dilupakan. Bahkan, tidak akan pernah. One of things that hard to be forgotten by a woman is a kiss from a man she loves.

Tapi, tunggu dulu. Agatha tidak menyukai Arka. Tidak. Dia tertarik. Namun perasaannya tidak bisa dengan mudah dikategorikan sebagai perasaan menyukai lawan jenis. Agatha bahkan tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Well, sometimes thing can’t be explained, right?

Tubuhnya berbalik untuk merubah posisinya, bibirnya kembali mengeluarkan geraman kecil. Tak lama ponselnya bergetar, dan panggilan dari Whatsapp. Meski terlintas keinginan untuk tidak bicara seharian ini, namun jarinya refleks menggeser layar dan mengangkat telepon.

“Ta, join groupcall dong. Tinggal lo nih yang belum.” Suara Rena terdengar, namun tak lama telepon langsung ditutup. Kalau sudah begini, Agatha jelas tidak bisa menolak. Terlebih lagi dia sudah menjawab telepon Rena, dan alasan sedang bekerja tidaklah cocok untuknya. Sudah pernah dia coba dan hasilnya justru hujatan dari sahabat-sahabatnya.

“Kalo kayak Bel yang arsitek sih masih memungkinkan. Jangan sok sibuk, Ta.”

Oke. Tidak ada pilihan lain. Sebisa mungkin Agatha menyingkirkan suasana hati buruknya, setidaknya untuk beberapa menit sampai telepon selesai. Karena pada dasarnya member group memang gossip-eater, chat pun bisa menyamai roomchat dengan member ratusan. Padahal isi group ini hanya berempat. Well, asupan gosipnya yang ratusan. Begitu menekan simbol “join” pada group call yang sedang berlangsung, tak butuh waktu lama bagi telinga Agatha untuk mendengar sapaan—yang sebenarnya lebih tepat dikategorikan sebagai teriakan—dari teman-temannya. Bel yang lebih dulu terdengar rusuh.

“Akhirnya Queen kita join juga,” kata Bel. Agatha baru mau membalas, namun Bel lebih dulu menyeletuk, “Lagi asik sama dokter ya?”

Spontan Agatha langsung berteriak. Misinya untuk tetap dalam calm state of mind jelas mustahil sekarang. Tidak begitu Bel mulai bawa-bawa Arka. “Asik apanya, gue gila begini!”

“Wow. Ta. Lo diapain?” celetuk Rena.

“Pertanyaan terdengar salah, Teteh,” timpal Anita.

Secara teknis, sebenarnya tidak ada. Jika yang dimaksud teman-temannya itu diliput berdasarkan konten hubungan, jelas tidak ada. Karena memang begitu adanya. Dia dan Arka tidak memiliki hubungan. Hanya sekadar dokter, itu pun Papa yang jadi pasien.

Teman makan? Itu cukup menggambarkan mereka, sih. Tapi teman makan mana yang berciuman?

Agatha bisa merahasiakan pada teman-temannya hingga detik ini bahwa dia dan Arka pernah terlibat one night stand. Hingga detik ini, tak satupun dari mereka tahu soal itu. Kalau bisa Agatha ingin membiarkan itu semua menjadi skeletons in a closet. Tapi tidak dengan yang satu ini. Dia sadar, dan dia menikmatinya.

Tiap kali mengingat kejadian itu, sedikit cecapn bibir Arka masih terasa. Perasaannya campur aduk.
Dan dia ingin mengutuk diri karena meski kepala terasa ingin pecah, keinginan tersembunyi untuk merasakan ciuman itu muncul. Otak dan hormonnya bekerja sama. Sayangnya itu bukan hal yang baik.

Love Sick (✓)Where stories live. Discover now