Chapter 7

3K 588 81
                                    

Seblak bukanlah hal yang baru untuk Arka. Berhubung ibunya juga keturunan sunda, makanan dengan ciri khas kerupuk dan kencur itu sudah jadi santapan Arka sejak kecil.

Meskipun, yah, sekarang Arka lebih sering minum kopi dan makan buah dan mi instan—sedikit memalukan untuk diakui dengan statusnya sebagai dokter sih, but who doesn’t like instant noodle, huh?—ketimbang makan seblak. Dan makan seblak di tempat ini membuatnya ingin ke tempat Ibu dan minta dibuatkan seblak semangkuk dengan lima cabe rawit super merah.

He misses this. All that was happening now. Arka nyaris lupa bagaimana rasanya bisa makan sambil tertawa dengan bibir yang melebar karena kepedasan. Arka rasa dia akan bawa pulang beberapa bungkus seblak sehabis dari sini. Dia memang lebih baik pulang ke rumah Ibu hari ini.

Tempat ini sederhana. Lebih mirip warung makan pecel lele di pinggir jalan. Meski begitu, Arka harus akui seblak di sini tidak ada tandingannya. Yah, itu sih jika seblak buatan Ibu tidak dihitung.

“Mang, mau seblaknya yang kayak gini dua lagi dong,” seru Arka dari tempat duduknya. Si penjual seblak menganggukkan kepala meski tengah sibuk memasak.

“Wah, nggak kepedasan memang?” tanya Agatha.

“Bungkus ya, Mang.” Arka berteriak pada si penjual, namun kepalanya tertuju pada Agatha, seakan teriakannya itu bisa menjawab pertanyaan Agatha barusan.

“Sampai mau di bawa pulang nih?”

“Habis enak sih.”

“Pesannya dua lagi.”

“Yang ini tanggungan pribadi kok,” ujarnya. Mau tak mau Arka tertawa. “Siapa suruh kamu nyaranin tempat ini ke saya,” jawabnya di sela kekehan.

Arka kembali menyuapi seblak ke dalam mulutnya, menelannya dan merasakan sensasi perih bercampur panas di sekitar lidahnya, kemudian menjawab lagi. “Yang itu bukan buat saya, kok. Hari ini saya mau pulang ke rumah Ibu, sekalian bawa ini aja buat Ibu sama Adrian.”

Agatha hanya menganggukkan kepalanya. Well, pilihan bagus sih. Jelas kalau beli seblak di sini bisa dapat tujuh bahkan delapan mangkuk, perbandingan harganya sama dengan satu lusin J.co. Sebenarnya sih Agatha lebih suka seblak, hanya tidak semua anggota geng bisa makan pedas. Padahal pedas itu kenikmatan dunia yang tidak bisa dilewatkan.

Satu mangkuk penuh pun habis dilahap oleh keduanya. Agatha bahkan sampai minum dua teh botol karena sekadar air minum saja tidak cukup. Merasa perut masih panas, Arka tidak lebih dulu beranjak, masih duduk di tempat. Begitu juga dengan Agatha.

“Kayaknya kapan-kapan kita enaknya explore makanan pinggiran deh. Lebih enak,” kata Arka. Kepala Agatha mengangguk setuju. Namun sejenak gadis itu diam, mencoba memikirkan sesuatu seakan ada yang janggal dari kalimat Arka. “Ada apa, Ta?”

Gadis itu masih diam, memandangi Arka kemudian menggeleng. “A-ah, nggak papa, Dok.”

“’Dok’?” Arka kembali bertanya.

Kendati menjawab, Agatha justru balik bertanya. Dia malah heran. “Lho, kenapa?”

“Kenapa manggil saya kayak gitu?”

“Kan memang dokter.”

Hidung Arka sedikit mengernyit. Ah, ya. Ini juga agak menganggu Arka sebenarnya. Kalau diingat baik-baik, rasanya Agatha belum pernah menyebut namanya. Sama sekali. Tidak ada panggilan lain. Padahal Arka sudah biasa memanggil nama gadis itu.

“Nggak usah formal gitu, ah. Kita bahkan udah makan bareng dan kamu masih manggil saya pakai embel-embel ‘Dokter’. Nggak banget.”

“Jadi aku harus manggil apa?”

Love Sick (✓)Where stories live. Discover now