18. Will You Marry Me ... Again?

Mulai dari awal
                                    

Bahu Clarissa sedikit terangkat. Bocah itu menarik tangan Meira, menggenggamnya dengan erat. Ia tidak ingin melihat kakeknya yang terlihat seperti monster.

Alisha tak jadi melanjutkan makannya. Ia ikut menegang dan merasa was-was. Ia tidak ingin menyaksikan pertengkaran Revan dan Andi seperti dulu, sehingga suasana rumah mereka senantiasa kaku.

"Hati-hati, Andi ...!" Rina sedikit mendelik.

"Berani sekali kamu mempertemukan cucuku dengan perempuan sialan itu?!" Sorot mata Andi langsung menembus mata putranya yang kini berhenti makan.

"Jaga bicaramu ...! Ada Clarissa," bisik Rina dengan penuh tekanan.

"Biarkan aku bicara!" Andi tak peduli dengan peringatan istrinya.

"Bisakah nanti saja kamu membahas nya?" Rina kembali berbisik. Ia tidak ingin ada keributan di meja makan. Baru saja ia merasakan ketenangan beberapa pekan ini, karena kehadiran Meira membuat Revan sering berada di meja makan untuk menikmati hidangan bersama, tanpa pertengkaran antara Revan suaminya.

"Ikut aku!" Andi beranjak dari meja makan menuju ruang kerjanya.

Revan menyusul dengan emosi yang mulai menjalari pikirannya. Ia memasuki ruang kerja Andi dan berdiri di dekat meja kerja.

Andi yang berdiri di dekat rak kayu jati yang berisi banyak buku, setinggi satu meter. Ia menatap garang pada Revan seraya menghempaskan napasnya.

"Maaf, kupikir karena aku ayahnya. Jadi, aku merasa berhak untuk mempertemukannya dengan Tiara. Sampai mati pun darah daging tidak akan bisa terhapus. Clarissa juga berhak bertemu ibunya sendiri." Revan memberanikan diri memberi penjelasan dengan tidak gentar membalas tatapan ayahnya.

"Kamu lupa siapa ayahmu ini? Dan siapa wanita itu sekarang?" Andi masih menatap tajam putranya.

"Ya, aku tau. Selalu saja ada mata yang mengawasi dan menjadikan kita bahan perbincangan," kata Revan yang kini berusaha menghalau emosinya yang menggelegak.

"Harusnya kamu bilang padaku. Aku yang berjuang untuk merebut hak asuhnya. Aku kakeknya!" Suara Andi naik beberapa oktaf. Jakunnya bergerak naik-turun.

"Aku ayahnya!" tegas Revan. Emosinya kembali tersulut.

Andi merasa ada lahar yang tengah mengguyur dirinya. Ia tidak menyangka Revan begitu berani menyela.

"Perempuan sialan itu tidak boleh menyentuh cucuku!" teriak Andi.

"Tapi dia ibunya!" Revan menyela.

"Aku bilang tidak boleh. Kamu paham?!" Andi menatap Revan dengan sorot seperti seekor elang yang siap menyambar mangsanya.

"Papa hanya memikirkan gengsi. Papa hanya dibutakan oleh sakit hati. Aku berhak menentukan hidupku, menentukan putriku. Clarissa adalah anakku, aku berhak atas dirinya. Papa tidak berhak mengatur aku atau pun Clarissa!" Revan merasa jantungnya berdetak dengan keras dan cepat. Badannya tiba-tiba saja dipenuhi keringat.

Andi mendekati Revan. Ia berdiri hanya dua jengkal dari putranya. Kedua lelaki itu saling beradu pandang bagai musuh.

"Sepertinya baby sitter itu telah banyak mencuci otakmu!" Suara Andi pelan tetapi penuh tekanan.

"Ya, mencuci otakku yang penuh dengan kegelapan!"

"Kamu merasa sudah hebat sekarang?" Nada suara Andi seperti meremehkan putranya.

"Setidaknya aku merasa lebih baik dari sebelumnya." Revan berujar dengan penuh keyakinan.

"Tiara itu ... perempuan sialan!"

"Dan aku bajingan!"

Andi memejamkan matanya. Ia mengepalkan tangannya. Merasakan denyutan yang terasa nyeri di dadanya.

Bunga Tanpa MahkotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang