11. Hati yang Mulai Melunak

21K 931 17
                                    

Meira terbangun dan seketika indera penciumannya disambut oleh aroma mawar. Ia sedikit memiringkan kepalanya ke sisi kiri bantal. Di sanalah sekuntum mawar putih tergeletak.

Keningnya mengerinyit, ia bangun perlahan. Jejak kesedihan masih tercetak di kedua matanya. Sejak kemarin air matanya mudah sekali luruh dan dadanya masih saja disesaki rasa sesal. Ia berandai kaIau saja waktu bisa kembali diputar, ingin rasanya janin itu berada lagi di rahimnya. Namun, pada akhirnya ia harus menerima takdir. Ia juga sempat menyalahkan dirinya sendiri karena sudah mengabaikan kesehatan diri dan calon bayinya.

Meira menghirup udara sebanyak mungkin untuk melonggarkan rasa sesak di rongga dadanya. Ia memindai ke sekeliling ruangan. Sepi. Alisha yang semalaman menemaninya dan tertidur di sofa, tidak ia temukan. Ia melihat jam yang di dinding sudah pukul 07.00 pagi.

Meira kembali memandangi bunga mawar di samping bantalnya. Ia mengambil mawar tersebut dan menghidu wanginya. Bunga yang begitu disukainya. Aromanya seperti mengahadirkan kehangatan untuknya. Ia seperti didekap oleh ibu yang begitu dirindukannya. Selain itu, wangi bunga tersebut menghantarkan memorinya pada lelaki yang telah ia tinggalkan.

"Untukmu."Fandi menyodorkan sekuntum mawar putih pada Meira yang sedang duduk di bangku taman sekolah.

Senyum semringah menghiasi wajah Meira. Dalam hitungan detik, bunga itu telah berpindah tangan. Meira merasa pipinya menghangat seraya mengucapkan terima kasih.

"Dapat dari mana? Jangan bilang nyolong punya tetangga?" tuding Meira dengan nada bercanda.

"Enak aja. Belilah," sahut Fandi cepat
Ia duduk di sebelah Meira.

Meira menoleh ke Fandi dengan wajah agak serius. "Pake uang jajan kamu, dong?"

"Nggak pa-pa, buat nyenengin kamu." Fandi terlihat begitu bangga. Meira tertawa riang melihat ekspresi Fandi.

"Suka banget, sih, mawar putih?"

"Iya, karna ibuku suka mawar putih. Aku seperti sedang dipeluk Ibu kalau mencium aroma mawar ini." Meira mengelus-elus kelopak mawar dengan lembut. "Selain itu,  mawar lambang cinta yang tulus dan suci." Meira menghidu aroma mawar dengan mata terpejam.

"Tapi dia berduri. Sakit juga tadi pas gak sengaja ketusuk waktu milih-milih di toko bunga."

"Untuk melindungi dirinya."

"Ya, tapi tetap aja mahkotanya bisa direnggut oleh tangan-tangan nakal."

Meira justru tergelak mendengar ucapan Fandi saat itu. Menurutnya saat itu, ucapan tersebut sekadar asal diucapkan oleh Fandi. Kini, ia menyadari sesuatu. Sekuat apa  melindungi dirinya selama ini, ternyata takdir menghendaki mahkotanya terenggut dengan paksa.

Meira menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskan secara perlahan.
Ia bertanya-tanya siapa yang telah memberikannya? Satu-satunya orang yang tahu ia sangat menyukai mawar putih adalah  ....

"Mei ...." Sebuah suara mengejutkan Meira. Lelaki itu masuk dan mendekatinya. Ia berada di sisi ranjang. "Aku membelinya di toko bunga yang sama. Wanita penjual bunga itu tau apa yang kucari. Seperti biasa dia tersenyum ramah dan menanyakan apakah perempuan yang sering kuberi bunga mawar putih sudah aku nikahi? Aku hanya tersenyum hampa dan tidak menjawabnya." Fandi menelan ludahnya. Merasa ada yang begitu sakit menusuk hatinya.

Meira masih terkejut dengan kehadiran Fandi. Ia bergeming dengan perasaannya yang bertambah tak karuan. Malu sekaligus merasa bersalah karena telah meninggalkan Fandi.

"Aku tau kamu sakit karna nggak sengaja kemarin saat menunggu ibuku diperiksa dokter, melihat Revan di kursi tunggu bersama seorang wanita. Jadi, aku mencari tau dengan bertanya ke resepsionis. Feelingku benar, kamu yang dirawat." Fandi melihat Meira dengan penuh iba.

Bunga Tanpa MahkotaWhere stories live. Discover now