15. Be with Me Forever

18.5K 836 13
                                    

Senyumnya merekah seperti bunga yang baru saja mekar diterpa cahaya matahari. Senyum yang seolah-olah bagai sebuah sihir mampu membuat orang lain mengalihkan pandangan hanya kepadanya. Senyum yang secara tidak sadar melahirkan letupan-letupan indah yang membuat hati merasa seperti berdenyut  dan berirama. Senyum yang membuat Revan memilih diam sejenak di ambang pintu karena merasa sore yang cerah keindahanya berlipat-lipat kali ini.

Merasa ada yang sedang memperhatikan, Meira mengalihkan tatapannya yang tadi begitu fokus kepada Clarissa yang sedang mengayuh sepeda di sekitar taman samping rumah. Ia melihat Revan sedang berdiri memperhatikannya, lalu sekarang melangkah menghampirinya.

"Ayah!" sapa Clarissa dengan riang. Kakinya lincah mengayuh sepeda roda dua.

"Aku kehilangan momen lagi sepertinya." Revan melihat putrinya yang sudah pandai bersepeda.

Meira diam saja. Ekor matanya mengarah pada kotak bekal di tangan Revan. Tawa tertahan berusaha ia sembunyikan. Ia membayangkan bagaimana ekspresi Revan saat mendapatkan nasi bento buatannya.

"Aku tidak pernah mengajarinya bersepeda. Semuanya benar-benar kuserahkan padamu." Ada penyesalan yang sedang mendera perasaan Revan. Sejak putrinya lahir, ia tidak peduli. Ketidakpeduliannya itu berupa kurangnya menjalin kedekatan pada Clarissa. Ditambah konflik-konflik yang selalu hadir di antara dirinya dengan ibu kandung Clarissa. Ia sangka, menjadi ayah cukuplah dengan memenuhi segala materi untuk buah hatinya. Hanya itu yang ia pahami.

"Apa aku terlambat untuk membangun kedekatan dengan Clarissa?" Revan menatap Meira yang berdiri dua langkah di sampingnya.

"Gunakan saja waktu yang ada saat ini untuk memperbaiki hubungan Anda dengan Clarissa." Meira berujar tanpa menoleh kepada Revan. Matanya terus bergerak mengawasi Clarissa yang semakin menambah kecepatan sepedanya. Gadis cilik itu tertawa riang saat wajahnya bertabrakan dengan angin.

"Lalu, hubungan kita bagaimana?" Sebuah pertanyaan yang membuat Meira terpaku.

"Jangan lari topik pembahasan!" Meira berkata dengan ketus, tanpa menoleh sedikit pun pada Revan.

Terdengar helaan napas dari Revan. Sepertinya ia memang harus menyediakan stok kesabaran untuk menghadapi Meira. Ia harus pelan-pelan untuk bisa meruntuhkan tembok kokoh yang masih berdiri di anntara dirinya dan Meira. Ia akan menikmati setiap perlakuan Meira terhadapnya. Ia merasa pantas untuk diperlakukan seperti saat ini.

"Oh ya, thank you makan siangnya. Enak. Nggak cuma itu, tapi juga udah bikin aku surprise dengan bentuknya." Revan menahan tawa. Ia ingat bagaimana tadi siang pelan-pelan memakan nasi bento dari Meira. Ia seperti anak kecil yang dipaksa makan karena takut mendapat cubitan dari ibunya. Saat memakannya dengan pelan-pelan, ia membayangkan bagaimana Meira membuat nasi bento itu. Membayangkan tangan Meira bergerak lincah dengan wajah penuh senyum jail saat membentuk nasi bento serupa hantu itu.

"Rasa asinnya juga oke. Emang perlu garam yang banyak, biar terasa lebih kuat rasanya. Nggak flat kayak hubungan kita."

Revan berkata dengan nada lembut, tetapi terdengar menggelikan bagi Meira sehingga wanita itu lagi-lagi harus menahan tawa. Ia sengaja menabur garam lebih banyak di makanan tersebut.

"Apa garam yang begitu kuat di masakanmu tadi sebagai kode kalau hubungan kita perlu sebuah rasa? Nggak cuma rasa hambar?" Revan memperhatikan pipi Meira yang terlihat sedikit bersemu.

"Apaan, sih?" gerutu Meira. Diam-diam ia menahan senyum karena membayangkan Revan saat memakan nasi bento buatannya.

"Nih, kotak nasinya!" Revan menyerahkan kotak bekal dengan senyum terkembang.

"Nggak bisa apa naroh sendiri di dapur!" Meira berkata ketus lagi.

"Nggak. Aku maunya kamu yang taroh. Tapi, buka dulu kotaknya!" ujar Revan.

Bunga Tanpa MahkotaWhere stories live. Discover now