4. Kesedihan yang Masih Bertahta

4.1K 225 11
                                    

Bunga Tanpa Mahkota

4. Kesedihan yang Masih Bertahta

Pria di depannya terbahak-bahak melihat ekspresi Revan yang kaget. Tawanya perlahan berhenti setelah ia merasa puas mentertawakan sahabatnya itu.

"Kamvret lo!" Revan balas meninju lengan pria yang kini berdiri di sebelahnya.

"Habis, akhir-akhir ini suntuk banget kayaknya. Baru juga kawin, hidupmu kayak di penjara. Emang mending nge-jomblo aja. Bebas ke mana-mana. Bebas mau ngencanin siapa aja."

"Lagi ceramah, Bos?" Revan beranjak menuju sofa hitam. Ia duduk di sana sembari menyandarkan punggungnya.

"Oh ya, satu jam lagi kita rapat."

Revan hanya mengangguk. Ia memencet hidungnya yang mancung. Kemudian memijat-mijat pelipisnya.

"Entar malem ikutan nggak ke klub? Ada party. Kamu habis nikah jadi jarang ke klub. Ayolah, punya bini lagi bukan berarti bikin kamu nggak bisa kumpul sama temen." Pria itu duduk di depan Revan.

"Males," sahut Revan.

"Kenapa, Meira cemburuan?"

Revan melihat ke arah pria itu sebentar. Ia tidak memberi penjelasan atas dugaan sahabatnya tersebut.

"Ada apa ke sini, Pak Indra?" Revan mengalihkan pembicaraan dengan nada yang dibuat formal.

Indra terkekeh mendengar nada bicara Revan barusan. Ia menyerahkan map biru yang berisi tentang laporan pembelian furniture baru untuk beberapa kamar.

"Di klub, teman-teman pada nanyain kamu. Apalagi yang cewek."

Revan diam saja, sibuk membaca. Ia tidak berselera menanggapi pembicaraan Indra meskipun ada keinginan untuk bersenang-senang di klub. Minum-minum hingga mabuk, bermain biliar, dan bersenang-senang dengan para wanita. Namun, ia berusaha menekan keinginannya itu setelah menikahi Meira.

Setelah petaka itu, dua kali saja ia sempat ke klub. Itu pun hanya sebentar untuk meluapkan perasaannya yang tidak menentu. Bermain biliar, meminum segelas wine, selebihnya mencoba menahan diri untuk tidak minum lebih banyak sebagaimana biasanya.
Ada ketakutan saat menegak minuman haram itu. Terbayang wajah Meira yang menangis pilu.

Indra mengamati Revan. Sejak SMA mereka bersahabat, membuat ia cukup memahami pria di depannya itu. Ditutupi bagaimana pun, ia tahu Revan sedang tidak baik-baik saja.

"Ada hal yang ganggu pikiranku." Indra terlihat serius. Revan menanggapi dengan lirikan saja, kembali ia membaca kertas di tangannya.

"Om Andi bisa setuju kamu nikahin baby sitter itu. Aneh aja, mengingat Om Andi begitu mengedepankan status sosial orang lain."  Indra masih menatap serius Revan.

Revan berdehem, mencoba menetralkan detak jantungnya yang mendadak kacau. Ia membalas tatapan Indra.

"Semua karna Clarissa. Kamu tau seberapa sayangnya Papa sama cucunya. Clarissa kelewat nempel sama Meira. Makanya, Papa setuju aku nikahin Meira."

"Se-simple itu?" Indra masih belum percaya. Revan tidak menanggapi, ia mengambil bolpoin dari saku jas biru dongkar  yang dikenakannya. Tangannya bergerak membubuhkan tanda tangan di kertas laporan tersebut.

"Aku pikir,  karna dia kamu tidurin." Indra tersenyum seperti mengolok Revan.

"Lama-lama kamu kayak emak-emak komplek yang kepo sama hidup orang." Revan berusaha tetap terlihat santai. Indra tertawa mendengar ucapan Revan.

"Oh ya, Mba Alisha titip sesuatu buat kamu." Revan berdiri dan mengambil sebuah kotak berwarna hitam dari laci meja kerjanya.

"Mba Alisha udah pulang?" Indra terlihat senang.

Bunga Tanpa MahkotaWhere stories live. Discover now