19. Malam yang Mendebarkan

19.7K 822 30
                                    

Mengetahui alasan yang sebenarnya tentang mengapa Revan menikahi Meira, membuat Rina syok. Setiap kali putranya itu berbuat kesalahan, selalu saja ia akan merasa gagal menjadi ibu.

Semalam Revan mengutarakan pada Rina akan mengulang ijab qabul-nya. Tentu saja itu membuat Rina bingung. Akhirnya ia mendesak Revan untuk berkata jujur karena merasa sedang menutupi sesuatu.

Rina benar-benar tidak menyangka putranya telah berbuat asusila. Ia ingin sekali memukul wajah Revan, tetapi ia tidak melakukannya. Ia memilih bergeming dan langsung mendatangi Meira yang baru saja masuk ke kamar untuk bersiap-siap tidur.

Meira mematung ketika Rina masuk dengan rinai air mata, lalu memeluknya dengan erat. Ia merasakan hangatnya dekapan ibu dan sentuhan lembut di bahunya. Ia membalas dekapan Rina dengan hati yang gerimis.

"Maafkan aku. Maafkan atas perbuatan Revan," ujar Rina di antara tangisnya.

Meira mencoba meraba-raba apa yang sedang dibicarakan Rina. Ketika pelukan itu terurai, Meira memberanikan diri mengajak ibu mertuanya duduk di sofa.

"Pasti sangat berat ...." Rina menggenggam tangan Meira setelah ia duduk bersisian dengan menantunya itu. Ia membayangkan berada di posisi Meira dan itu membuatnya semakin terisak.

"Bahkan aku menyuruhmu berada di sini. Di ruangan yang sama dengannya." Rina merasa menyesal telah memaksa Meira.

"Sudah, Ma. Saya sudah memaafkannya." Meira mengusap punggung tangan mertuanya.

Rina kembali memeluk Meira. Kali ini bukan hanya ia yang menangis, tapi Meira pun ikut menangis.

❤❤❤

Meira menemani Nissa yang akan melakukan kemoterapi kembali. Gadis itu terlihat begitu lemah, tetapi kedua matanya terus memancarkan cahaya yang menghadirkan semangat.

"Mungkin saat pernikahan ulang Kakak nanti, aku nggak bisa datang. Tapi, aku akan berdoa yang banyak untuk kalian." Nisa menggenggam tangan Meira.

Meira mengusap punggung tangan Nisa. Ia mengucapkan terima kasih.

"Dia benar-benar ingin berubah. Itu yang dia katakan padaku beberapa bulan lalu saat membawaku ke dokter spesialis kanker. Dan, dia bersungguh-sungguh melakukannya."

Rasa hangat menyapa dinding-dinding hati Meira. Ia tidak menyangka pria yang selama ini ia lihat hanya tenggelam dengan pekerjaan dan hura-hura itu begitu serius ingin berubah. Bahkan kini, Meira merasa mulai menggeser rasa bencinya.

"Kakak hebat. Bisa bangkit dan tidak larut begitu lama dalam trauma."

"Sebenarnya, trauma itu masih ada. Aku masih suka dihantui ketakutan setiap berduaan dengannya."

"Ketakutan ... atau ketakutan ...?" Nisa tertawa pelan. Meira tersipu dan mencubit lembut pipi tirus Nisa.

❤❤❤

Sementara itu di toko kue, Erna sedang mengomel pada seluruh pekerjanya karena ada barang berharga yang hilang. Ia menunjuk-nunjuk lemari kecil yang terletak di pojok kiri ruangannya, tampak gemboknya terbuka paksa.

Tidak ada satu pun karyawannya yang tahu dan tentu saja membuat Erna semakin berang. Wanita itu mencak-mencak dan mengumpat. Ia mendesah, menarik napas dalam-dalam. Ia menyesal karena tidak menuruti kata-kata Andi Mahesa dan juga menyesal karena tidak segera memperbaiki CCTV tokonya yang rusak. Mengurus Nisa membuat hari-harinya begitu sibuk dan kurang fokus mengurus toko.

Sambil memaki, ia mengusir enam karyawannya untuk keluar dari ruang kerjanya. Ia memijat-mijat keningnya yang terasa begitu sakit, di hadapannya seakan ada ribuan lebah yang berterbangan mengitarinya, dan tubuhnya mendadak lemas membayangkan wajah Andi Mahesa yang seakan-akan siap mencekiknya.

Bunga Tanpa MahkotaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora