Aku segera masuk ke dalam. Senyuman Jang Ahjussi melebar setelah melihat wajahku yang ceria dan segera mengendarai mobil menuju tempat yang sudah Minho janjikan.




"Aku akan pulang bersama Minho nanti malam. Tidak perlu menjemputku."

"Ahh... Ye."

Aku memberikan senyuman lebar sebelum turun dari mobil. Kakiku segera melangkah menuju restoran mewah yang telah dipesannya khusus untukku malam ini. Aku menatap sekeliling kagum. Ini bukan pertama kalinya aku ke sana. Tapi, interiornya tak pernah membuatku kecewa.

"Ohh!"

Aku menghentikan langkahku ketika melihat sosok yang kucari duduk di sudut ruangan. Di samping jendela besar yang menghadap langsung menuju pemandangan terbaik di Kota Seoul. Tapi, ia tak sendiri. Seorang wanita duduk di depannya dan tampak berbincang ringan.

Aku menghela napas, merombak senyumanku menjadi senyuman ramah sebelum melangkah. Meski aku tak mengenal wanita itu, aku tak boleh gegabah dan merusak perayaan penting ini.

"Oppa..." panggilku ketika sampai.

Minho segera menoleh, memberikan senyuman terbaiknya padaku dan beranjak dari tempat duduk. Inilah yang kusuka darinya. Inilah yang membuatku tak khawatir meski banyak wanita yang mencoba mendekatinya. Ia berbeda. Ia ramah pada semua wanita, tapi tatapan dan senyuman khususnya hanya ditujukan padaku.

"Kau sudah sampai?" tanyanya. Aku mengangguk lalu melirik wanita dengan gaun merah pendek yang duduk di seberangnya.

Minho yang mengerti segera memperkenalkannya, "Ini Min Taera. Teman lama sewaktu sekolah menengah."

"Ahh..." Aku mengangguk. "Shin (y/n) imnida. Kekasih Minho."

Minho tersenyum tipis ketika menyadari bahwa aku menekan kata kekasih ketika memperkenalkan diri. Wanita itu hanya tersenyum, entah apa maksudnya.

"Senang bertemu denganmu," ujarnya, "kalau begitu aku pamit."

Ia kembali tersenyum. Setelah itu melangkah pergi sedangkan aku duduk di tempat yang semula ia duduki.

"Kau kesal?" tanyanya.

"Tidak," sahutku. Aku tidak ingin membahasnya. Hari ini adalah hari yang indah, aku akan menghabiskannya dengan kebahagiaan.

Minho tersenyum tipis. Ia mengangkat tangannya, membuat beberapa pelayan bermunculan dan membawakan hidangan beserta lemon cake berhias buah dengan empat lilin putih-merah muda di atasnya.

"Mari makan sebelum berbicara," ajaknya.

Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Setelah itu, tak ada lagi yang kami lakukan selain makan. Fokus. Karena Minho tidak pernah melakukan banyak kegiatan dalam sekali waktu. Dia selalu fokus pada satu hal.


Mataku dan matanya segera beralih fokus ketika ponselku yang diletakkan di atas meja berdering. Aku segera menangkap perubahan raut wajahnya setelah melihat nama yang tertera pada layar.

Aku segera menolak panggilannya dan kembali fokus pada dessert. Minho tak mengatakan apa pun. Ia juga melanjutkan makannya.

Lagi-lagi, ponselku berdering. Nama yang sama tertera pada layar. Aku terus menolak panggilan. Tidak hanya sekali, tapi sampai empat kali.

"Tidak bisakah dia tidak mengganggumu sehari saja?"

Suara Minho yang tiba-tiba terkesan dingin membuatku menjadi gugup. Dia tak menyukainya. Sangat tak menyukai pria itu.

Aku segera mematikan ponselku dan memasukkannya ke dalam tas. "Mianhae... Aku takkan menjawabnya."

Minho tak lagi mengucapkan apa pun. Tetapi air mukanya telah berubah. Dingin. Tidak hangat dan ramah seperti yang sebelumnya ia tunjukkan.

Jantungku berdegup kencang. Aku takut. Aku tidak ingin bertengkar di hari jadi kami.


Suara deringan ponsel kembali terdengar. Kali ini, ponsel Minho sumbernya. Ia melirik ponselnya lalu mendecak.

"Belum puas mengganggu kekasihku, sekarang malah meneleponku? Dia pasti hanya menanyakan keberadaanmu."

"Oppa..."

"Wae?" Ia mengalihkan tatapannya padaku. Kali ini, tidak hanya dingin. Aku juga bisa melihatnya terluka. "Kau mau membelanya lagi?"

"Aniyo," selaku. "Aku hanya-"

"Kau sangat peduli padanya ya?" tanya Minho pelan, namun terkesan menusuk.

Aku terdiam. Sama sekali tak melawannya. Aku tahu dia telah menahan diri sejak lama. Jika aku membela diri, itu hanya akan memperparah amarahnya.

Minho tak kunjung melepasku dari tatapan matanya. "Kau tidak akan lebih mementingkannya daripada diriku kan?"

Mataku membulat, terkejut dengan pertanyaannya. "Oppa... Apa maksudmu? Aku tidak pernah punya niat untuk itu!"

"Benarkah? Tapi kau selalu mendahulukan kepentingannya. Kau bahkan bisa meninggalkanku ketika kita tengah bersama jika dia menelpon."

"Itu karena dia membutuhkanku," belaku.

"Apa kau pikir aku tidak membutuhkanmu?"

Aku menghela napas. "Oppa... Mari tidak mempermasalahkan ini sekarang. Ini perayaan anniversary kita. Aku punya sesuatu untukmu."

Aku segera membuka tas. Mengeluarkan kotak berhias pita yang sejak tadi tersimpan di sana. Tapi, belum sempat kukeluarkan sepenuhnya, kalimat Minho yang menohok membuatku terdiam.

"Mari hentikan ini. Semuanya sia-sia."

Aku kembali memasukkan kotak itu dan segera menatapnya. "Mwo?"

Ia tak menjawab. Bahkan tak lagi menatapku. Air mata mulai menumpuk di pelupuk mataku. Aku sama sekali tak menyangka kalau kalimat itu bisa keluar dari mulutnya.

"Oppa... Apa kau sadar dengan apa yang kau minta sebelumnya?"

"Seratus persen," jawabnya.

"Hanya karena dia selalu menghubungiku?"

"Itu bukan sekedar hanya," debatnya.

"Tapi dia sama seperti Seungmin di mataku. Kau tidak pernah mempermasalahkan soal Seungmin sebelumnya, meski aku pernah memeluknya di depanmu."

"Ini kasus berbeda. Kau dan Seungmin... aku tahu kalian hanya bersahabat."

"Lalu... kau percaya aku memiliki hubungan khusus dengannya?"

Minho tak lagi mengelak. Membuatku menjadi yakin bahwa perkataanku benar. Aku tidak percaya dia meragukanku untuk pertama kalinya setelah empat tahun. Ini juga pertengkaran pertama setelah dua tahun berlalu.

Aku mengusap air mataku lalu menatapnya tajam. "Padahal tadi aku juga kesal karena kau bersama wanita lain di sini sebelum aku tiba."

Aku beranjak dari tempatku. Masih menatapnya. "Baiklah, jika itu maumu. Hentikan saja sampai di sini. Aku tidak bisa menikah dengan pria yang menentang persahabatanku."

Aku segera berlalu pergi. Langkahku yang cepat melambat ketika hampir mencapai pintu.


Oppa... Kejar aku, kumohon...



Aku terus berdoa. Berharap dia akan menyesal dan segera menghampiriku, meluruskan kesalahpahaman ini dan melanjutkan perayaan anniversary dengan kebahagiaan.

Tapi, hingga dua tahun kemudian, ia tak pernah menghampiriku. Bahkan, meski aku pergi jauh, dia tak pernah menanyakan keberadaanku. Membuatku membencinya karena  dia membuatku mengambil keputusan yang buruk.


Namun takdir memang begitu kejam. Ia kembali mempersatukan kami dengan situasi yang menyakitkan.






Tbc~


Lanjut jangan? :')

Btw, alurnya akan maju-mundur. Semacam flashback untuk beberapa part ke depan. Thank you ❤️

Cruel Destiny [Stray Kids Imagine Project]Where stories live. Discover now