Pelanggan datang silih berganti. Satu persatu meja yang tadinya terisi kian lama ditinggalkan dengan menyisakan piring dan gelas yang sudah kosong. Pramusaji segera membereskannya sebelum pelanggan baru datang mengisi meja itu.

Ruwi menatap steik sisa dalam piring yang dibawanya. Steik itu terlihat menggoda dengan dagingnya yang matang sempurna luar dalam ditambah saus berwarna coklat yang masih utuh di mangkuk kecil disampingnya. Ia ingin melahap makanan itu dengan mengesampingkan fakta bahwa itu adalah makanan sisa. Sekuat tenaga ia tahan karena ia bisa kena marah manager jika melakukan itu. Lebih baik makanan sisa diberikan pada kucing liar di belakang restoran. Memanusiakan manusia istilahnya.

"Kalo gitu, apa gue jadi kucing liar aja biar dikasih steik tiap hari?" bisik Ruwi setelah mendengar penjelasan dari Siti mengenai makanan sisa pelanggan.

"Kenapa gak ingin jadi orang kaya yang menyisakan makanan aja? Lebih baik daripada menjadi kucing liar," balas Siti seraya memasukkan spaghetti sisa ke dalam kantong plastik hitam, sedangkan sisa potongan daging sapi Australia itu ia taruh di wadah ukuran sedang yang nanti akan diberikan pada kucing liar di belakang restoran.

"Oh iya, kenapa gak jadi orang kaya aja, ya? He he he."

Siti tersenyum dibarengi gelengan kepala. "Nih, lo kasih ke kucing liar di belakang. Gue mau ambil piring lain yang ada sisa makanannya."

Ruwi menerima wadah itu kemudian berjalan menuju pintu belakang yang berada di dekat tempat cuci piring. Saat membuka pintu itu, Ruwi sudah dihadapkan pada beberapa kucing liar yang riuh mengeluarkan suaranya, seolah indra penciuman mereka tahu wadah yang dibawa Ruwi berisi makanan lezat. Ruwi buru-buru menyebarkan daging itu ke beberapa titik agar tidak terjadi perkelahian antar kucing karena saling berebut daging.

Jalan tikus di belakang restoran itu terlihat gelap dan... menakutkan. Bulu kuduk Ruwi langsung berdiri begitu angin malam menyapanya bersamaan saat ia menatap sekeliling.

Hanya ada satu lampu di sisi kiri restoran yang cahaya temaramnya tidak menjangkau tempat Ruwi berada. Cahaya lampu dari dapur restoran yang keluar dari ventilasi sedikit memberikan cahaya di sisi kanan restoran. Dari situ, Ruwi melihat siluet seseorang yang tengah berdiri. Ruwi menegak salivanya susah payah saat menyadari bahwa orang itu ternyata memerhatikannya. Ia cepat-cepat masuk ke dapur dan langsung mengunci pintu.

👣👣👣

Tepat pukul sepuluh malam, restoran ditutup. Para pegawainya satu persatu keluar dari pintu samping menuju tempat parkir.

Ruwi berhenti sebentar setelah beberapa menit berjalan di trotoar. Ia melepas flatshoes pada kaki kanannya, kemudian memijit tumit kakinya yang mulai berkedut. Siti yang berada disebelahnya pun refleks ikut berhenti sambil menatap aktivitas Ruwi itu.

"Gue dulu juga gitu kok, berdiri berjam-jam menggunakan high heels. Awalnya menyiksa, tapi sekarang gue udah terbiasa." Ruwi hanya tersenyum menanggapi ucapan Siti.

"Ini kali pertama gue pake high heels seharian. Rasanya gak nyaman banget."

“Nanti sampai di kos-an jangan lupa dikasih krim pereda nyeri sambil dipijat biar besok pagi nyerinya udah hilang,” saran Siti. Ruwi akan menerima saran itu dengan baik. Makin kesini, Ruwi bisa merasakan kalau Siti sudah seperti seorang kakak yang selalu memperhatikan adiknya. Ruwi senang dengan perlakuan seperti itu. Tiba-tiba ia merindukan kakak-kakak di panti asuhan dulu yang selalu memberikan kasih sayang. Sekarang, Ruwi jarang bertemu lagi dengan mereka karena mereka sudah memiliki kehidupan sendiri di berbagai daerah.

“Lo kelihatan capek banget, kalo udah sampai kos langsung istirahat aja gak usah belajar, lagian udah malam waktunya orang tidur.” Siti kembali bersuara setelah kembali melanjutkan
perjalanan.

STALKER - Beside Me [REVISI] ✔Where stories live. Discover now