Answer

2.6K 372 62
                                    

Ia dapat merasakan sentuhan tangan sang editor terasa panas di setiap jengkal kulitnya. Sentuhan yang membahayakan untuk dirinya, yang sudah lama tidak ia rasakan dan ia rindukan. Salah satu tangan Choi Seungcheol turun ke pinggulnya, mengusap kulit yang tidak terbungkus sehelai benang yang membuatnya melenguh, menyebut nama lelaki itu dengan pelan.

Tubuhnya menangkap kehadiran Seungcheol dengan seluruh pori-pori dan sistem syarafnya, intensitas tubuhnya bereaksi terhadap sentuhan dan kecupan sang editor buku membuatnya mencengkram punggung lelaki tersebut. Rasa yang berbeda dengan keadaan yang ia lakukan dengan orang lain.

"Jeonghan,"

Tubuhnya semakin gementar saat suara dalam nada rendah tersebut berbisik tepat di telinganya, yang kemudian menjatuhkan kecupan-kecupan singkat di leher jenjang tersebut.

"Don't go..."

Ia merasakan sakit yang tiba-tiba mendatanginya ketika lelaki itu berbisik di sela-sela ciuman, dan ia tersadar jika ia telah menjadi satu dengan Seungcheol sekali lagi.

Seungcheol dapat merasakan tubuh kurus lelaki berambut cokelat menegang sebentar, ia mendengarkan Jeonghan berteriak kecil dengan suara rendahnya. Ia merindukan suara yang Jeonghan buat, meskipun ia bukanlah satu-satunya yang pernah mendengarkan.

---x---

Sosok laki-laki dengan bulu mata indah terbangun dari tidurnya saat matahari menyerbu masuk dari balik tirai kamar yang terbuka setengah. Perlahan lelaki itu menggeliat dan mengarahkan tangannya ke samping, mencari sosok Yoon Jeonghan yang semalam tidur dalam pelukannya. Namun, saat ia merasakan bahwa tempat bekas Yoon Jeonghan tertidur terasa dingin, ia langsung terbelalak sempurna.

"Jeonghan?" ia memanggil, mendudukan dirinya di atas kasur dengan selimut yang jatuh ke pinggang dan menampakan tubuh tanpa pakaiannya.

Mendengar tidak ada jawaban dan merasakan keheningan yang tidak biasa di dalam apartemen kecil yang selalu berisik oleh suara televisi, Seungcheol bergegas beranjak bangun dan memakai pakaiannya yang tergeletak di lantai kamar.

Ia memperhatikan tidak ada yang aneh dari apartemen tersebut, semuanya terlihat sama seperti semalam kecuali lampu dapur yang menyala dan sebuah kertas tertempel di pintu kulkas.

Ia tertegun sesaat ketika menyadari mungkin kertas tersebut berisikan hal yang sangat ia tolak mentah-mentah, namun rasa penasaran mengalahkannya dan ia tarik kertas tersebut dari magnet yang menempel di kulkas.

Cheol, I'm sorry. i'm going. -J

"Brengsek." Seungcheol mendesis, mengepalkan kertas tersebut hingga tidak berbentuk dan membuangnya ke wastafel.

Ia segera kembali masuk ke dalam kamar tidur Yoon Jeonghan dan menghampiri lemari pakaian lelaki tersebut, membukanya dengan cepat dan menyadari bahwa jumlah pakaian yang ada di lemari yang selalu penuh tersebut berukrang, dan koper medium yang berada di bagian belakang lemari pun tidak ada.

Merasakan emosinya meninggi dan perasaan kesal berkecamuk di dalam dirinya, Seungcheol mendudukan diri di lantai, menghitung dari 1 hingga 10 untuk menenangkan diri--mengikuti saran Joshua untuk mengendalikan emosi.

Ia tidak mudah marah namun kelakuan Jeonghan kali ini sangat keterlaluan. Ia sudah memohon dan memberi peringatan terakhir bahwa mereka akan berakhir saat Jeonghan benar-benar kembali ke negara tersebut. Ia pikir saat Jeonghan melenguh di bawahnya kemarin, mereka sudah sepakat--untuk Jeonghan tidak akan pergi ke Jerman.

"Shit." Ia menggeram, merasakan kekesalannya masih belum menghilang.

Ia tidak mungkin bisa menghadapi Jeonghan jika lelaki tersebut akan seperti ini. Kabur ketika dihadapi oleh suatu masalah dan kenyataan, dan kembali seperti tidak terjadi apa pun. Ia pikir Jeonghan telah berubah namun pola pikir lelaki tersebut masih seperti Jeonghan beberapa tahun yang lalu.

[✓] From 5317 MilesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang