4/4

684 77 5
                                    

Choi Seungcheol terbangun dari lelapnya tidur dengan menyadari tempat di sebelahnya telah berubah dingin. Bantal dan guling yang selalu berantakan telah tersusun rapih, begitu juga dengan ponsel yang menghilang dari nakas. Tidak terdengar suara apapun dari rumah dua lantai yang mereka tempati selama bertahun-tahun membuat laki-laki itu gelisah, lalu memilih untuk berdiri dan menyusuri setiap ruangan.

Satu demi satu dia buka perlahan, dari kamar mandi pribadi mereka hingga ke ruang kerja miliknya dan dia kemudian berlari secepat mungkin kembali ke dalam kamar. Dia buka pintu lemari pakaian lebar-lebar, mengamati setiap benda yang ada di sana dan sekali lagi setelah bertahun-tahun, Yoon Jeonghan meninggalkan dirinya.

Menghela napas panjang adalah satu-satunya yang dapat dilakukan, ketika dia mendapati suaminya telah pergi dari rumah dengan setumpuk pakaian dan koper menghilang dari dalam lemari. Dia pikir Jeonghan telah berubah setelah bertahun-tahun, namun lelaki itu tetap saja sama.

Yoon Jeonghan adalah ahli dalam permainan kabur dari masalah. Menghindari diri setelah mendengar kenyataan yang seharusnya diketahui.

Seungcheol seharusnya tahu itu dan menutup mulut tololnya untuk tidak mengutarakan seluruh unek-unek yang bersarang selama bertahun-tahun. Apa susahnya untuk menutup mulut dan mengikuti dunia sandiwara sang Yoon Jeonghan?

Seharusnya Seungcheol menyadari ketika Jeonghan mengatakan bahwa dia tidak akan terluka karena ucapan adalah sebuah kebohongan. Laki-laki itu pembohong ulung.

Seharusnya Seungcheol sadar bahwa Jeonghan yang egois adalah manusia paling munafik yang pernah diciptakan.

Kini akibat kebodohan dirinya sendiri, dia mendapati Yoon Jeonghan sudah tidak berada di rumah mereka. Sialan. Beribu sialan. Dia benar-benar membenci Jeonghan, dia membenci laki-laki yang pergi begitu saja dari dalam hidupnya seakan tidak menghargai perasaan yang masih berakar kuat di dalam hati.

Namun, tenggelam di dalam kesedihan yang mendera dan kekesalan yang membesar bukanlah bagian dari dirinya—itu Jeonghan. Choi Seungcheol adalah orang yang rasional, dia dapat berpikir lebih logis daripada sang suami, maka dengan cepat laki-laki itu mengambil ponsel pintarnya sendiri dan mengecek surel. Senyum merekah di bibir yang rindu mengecup sang suami ketika melihat sebuah pesan elektronik pembelian tiket pesawat atas nama Jeonghan.

Jerman, Berlin.

Begitulah tulisan sebuah tujuan yang menggelitik hatinya. Untuk sekian kalinya dalam sejarah kabur, laki-laki itu selalu memilih negara tempat mereka bertemu seakan dia ingin ditemukan dan diselamatkan berkali-kali.

Konyol.

Dia benar-benar menikahi lelaki konyol yang selalu kabur.

Dengan sigap Seungcheol langsung mengambil paspor dari dalam laci dan dompet, dia tidak butuh apa-apa lagi untuk saat ini saat dirinya harus menarik kembali sang suami ke dalam hangatnya rumah dan pelukannya. Dia membeli penerbangan ke Jerman yang waktu keberangkatannya sedekat mungkin, tidak peduli jika harus merogoh kocek yang dalam. Untuk seorang Yoon Jeonghan dia rela melakukan apapun, termasuk menentang permintaan sang ibu yang mendorong mereka hingga terjadi keributan ini.

Yoon Jeonghan terduduk mematung di salah satu sofa yang terletak di dalam lounge milik maskapai yang dinaikinya. Mata bulatnya memandang lapangan bandar udara yang terdapat jajaran pesawat parkir, diantaranya ada yang bergerak dan Jeonghan tidak peduli dengan itu semua.

Dia tidak memperdulikan keriuhan di dalam lounge yang dipenuhi oleh orang-orang yang sama seperti dirinya terjebak layover berjam-jam hingga penerbangan berikutnya tiba. Dia sudah lupa kekesalan kepada diri sendiri yang salah memilih penerbangan dengan 20 jam layover di negara yang tidak disukainya.

[✓] From 5317 MilesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang