12. Prime Celestine

Start from the beginning
                                    

Ratu Raquelle mendekat dan Elisa bisa melihat wanita itu lebih jelas. Dia jangkung seperti George dan anggun sekali. Parasnya cantik dan agak dingin—George jelas telah mewarisi hidung tinggi dan dagu runcingnya dari sang ratu. Dari balik selendang penutup kepalanya, ada dua garis uban; Elisa menebak usia Ratu Raquelle sekitar akhir lima puluhan. Gerak-geriknya gesit sekaligus lincah dan penuh perhitungan, seakan-akan dia sedang berdansa.

Mereka menundukkan kepala untuk memberinya hormat.

"Selamat datang kembali, Prime Celestine," kata Janesse. Dia melakukan gerakan silang kaki yang rumit sekaligus elegan, untuk memberi hormat. Prime Celestine tersenyum pada ratu penerusnya itu lalu memeluknya sebentar, sebelum Alfred menyerobot memberi salam.

Elisa memberanikan diri dan memberi salam. "Selamat datang kembali, Prime Celestine."

"Terima kasih, Santionesse," Ratu Raquelle tersenyum. "Maaf, tapi rasanya saya baru pertama kali melihat Anda."

"Ini Madamoiselle Elisa Harris," kata Alfred penuh hormat. "Dia datang dari Prancis bersama dengan Celestin Eugene L'alcquerine."

Alis Prime Celestine mengerut. Untuk beberapa detik tampak dia kebingungan. Namun akhirnya dia tertawa keras. "Oh, astaga! George, inikah tamu-tamu yang kau ceritakan itu?" Sebelum George menjawab, Prime Celestine menyambar tangan Elisa dan menjabatnya erat-erat. "Selamat datang di Calondria, Santionesse! Saya yakin Anda baru pertama kalinya mendengar tentang kami. Bagaimana pendapat Anda?"

"Menakjubkan sekali," kata Elisa sungguh-sungguh. "Terima kasih karena saya diizinkan tinggal di istana ini."

"Magnifique, eh? Trés bien!" kata Ratu. Bahasa Prancis-nya berlogat Selatan. "Saya harap Anda kerasan di sini. Johnston dan timnya melayani Anda dengan baik bukan?"

"Sangat baik, Prime Celetine."

Prime Celestine berdecak dan mengedip pada Johnston si butler, yang dibalas dengan bungkukan rendah. "Anda datang kemari dengan sahabat Anda, Santionesse?"

"Betul, Prime Celestine. Namun sayang sekali saat ini Eugene...."

Elisa tidak melanjutkan kalimatnya. Tatapan Ratu Raquelle berpindah darinya ke satu titik di belakang punggungnya. Wanita itu membeliak seolah melihat hantu. Tangannya terjulur menutup mulutnya yang sudah melorot terbuka.

"Maaf aku terlambat."

Eugene muncul di teras depan dengan kemeja hitam lengan panjang berbahan kasmir. Ia juga memakai celana panjang katun warna abu-abu dan sepasang sepatu bot berburu warna hitam.

"Aku..." Dia menelan ludah. Semua orang kini memandanginya. "Baru kembali dari rumah sakit."

Prime Celestine mendekati Eugene dan memandangi cowok itu dengan takjub seolah melihat Monalisa yang keluar dari pigura lukisannya di Louvre.

"Eugene L'alcquerine," kata Eugene, cepat-cepat membungkuk hormat. "Senang bertemu Anda, umm..." dia melirik Elisa, meminta bantuan.

"Prime Celestine," bisik Elisa.

"Prime Celestine," ulang Eugene agak kelewat keras.

"Akulah yang seharusnya berkata begitu!" kata Ratu Raquelle. Suaranya bergetar antusias. "Ini penemuan luar biasa! Fantastis! Putra kedua Samantha!" Dirangkulnya Eugene dengan sayang, matanya berkaca-kaca. "Selama seperempat abad, aku mengira Edward adalah satu-satunya keponakan yang kumiliki. Kau tak tahu bagaimana rasanya harus memuji-muji anak itu padahal kau tak suka dengan sikapnya. Aku betul-betul tidak bisa mempercayai ini! Apa yang terjadi padamu, Eugene?"

George menceritakan kepada ibunya versi singkat kisah hidup Eugene. Elisa mengambil alih cerita di bagian-bagian soal panti asuhan. Sambil mendengarkan, Ratu Raquelle terus mempelajari Eugene, matanya menyipit penuh arti.

"Aku dan George sudah memikirkan tanggalnya," kata Janesse tiba-tiba.

"Tanggal apa?" tanya Ratu Raquelle.

"Pelantikan!" jawab George ceria. "Kami pikir ada baiknya menunggu sampai Ma kembali dulu!"

"Ah, ya... ya... tentu saja!" decak Ratu Raquelle sambil geleng-geleng kepala. "Penemuan ini mengubah silsilah kerajaan. Minggu depan adalah peringatan empat tahun wafatnya ayahmu, George. Kurasa kita bisa menyisipkan satu peristiwa gembira sesudah upacara itu."

"Maaf..." potong Eugene tiba-tiba. "Tapi sebetulnya saya belum memikirkan untuk tinggal di Calondria."

Semua orang terdiam.

Apa yang dipikirkan Eugene? Elisa terperangah. Mengapa dia bicara begitu di depan keluarga yang selama ini dicarinya? 

Ratu Raquelle mengernyit tak puas. George dan Janesse saling pandang. Alfred mendesah.

Elisa memutuskan ini saat yang tepat untuk menjelaskan. Jangan sampai George tersinggung. "Mungkin maksud Eugene, dia ingin kembali dulu ke Paris untuk mengemasi barang-barangnya."

"Bukan itu maksudku," kata Eugene cepat-cepat. "Elisa, kurasa kau belum paham. Mana mungkin aku bisa tinggal di istana ini sementara ibu dan kakak kembarku dipenjara. Maaf George, Janesse, Prime Celestine. Ini terlalu cepat. Aku...."

Oh, tidak! Eugene baru saja membuang masa depannya!  Elisa membuka mulut untuk membantah, tetapi George mengangkat tangannya.

"Aku mengerti. Ini memang tidak mudah bagimu dan bagi kami sendiri, Eugene." Raut wajah George tampak sedih. Dia melirik Elisa, dan gadis itu teringat akan janjinya. Dia tak sanggup balas menatap George. "Tapi kau tetaplah keluarga. Semua keputusan ada di tanganmu. Kami tak akan memaksa. Kau bebas memilih."    

The Lost Prince [TAMAT]Where stories live. Discover now