31. Maaf (2)

2.6K 108 0
                                    

Hallo Reades.
Vote and coment ya!
Add juga ke reading list!
Happy Reading!

******

Di bawah pohon tinggi, di Taman belakang sekolah. Di sinilah gue berada, duduk berdua dengan Fahrul di sebuah kursi panjang yang sudah tersedia di sini. Kami berdua cuma saling diam. Tak ada yang memulai pembicaraan lebih dulu, entah itu gue atau pun Fahrul. Mirip dengan orang bisu.

Tak saling tatap. Tak saling berpegangan tangan. Cuma memandang lurus ke depan, entah apa yang kami perhatikan sejak tadi. Benar-benar seperti orang bego. Adakalanya gue merasa bosan dengan situasi seperti ini. Tapi gue gak bisa kalau harus menjadi orang yang memulai pembicaraan ini. Ucapan memang sekedar ucapan. Tadi gue sudah bertekad untuk memnta maaf duluan kepada Fahrul, tapi ya itu cuma sekedar ucapan, berat kalau dilakuin.

Sesekali gue mencuri pandang ke arah Fahrul. Dia sedang memasang wajah datar. Sepertinya dia masih menyimpan rasa marah. Tapi bukankah yang seharusnya lebih marah itu gue bukan dia?

Tak sengaja, gue mendengar helaan napas panjang dari arah Fahrul. Dengan cepat, gue langsung mengalihkan tatapan gue ke arah lain. Takutnya itu sebuah kode kalau dia merasa risih gue perhatiin.

5 menti berlalu.

Suasana masih saja sama. Canggung dan sepi, hanya hembusan angin yang menemani kami berdua. Berdua tapi berasa sendiri. Ah sungguh membosankan.

Kalau seperti ini terus, masalahnya gak akan kelar-kelar. Bisa-bisa kami akan terus berada di sini sampai besok sore lagi mungkin. Mungkin, tak ada salahnya kalau gue yang meminta maaf duluan. Sesekali mengalah demi kebaikan dan kedamaian gak akan salah kok. Jadi... sepertinya... gue harus meminta maaf duluan.

Gue tolehkan kepala sehingga menghadap ke arah Fahrul, rupanya Fahrul juga sedang menatap gue. Dengan posisi ini, rasanya gue ingin menangis. Dua hari berperang dingin dengannya membuat gue sangat terpuruk. Dan saat ini, di tatap dengan posisi dekat membuat gue ingin menangis dan memeluknya dengan erat. Tapi gue sadar, keadaan belum membaik.

"Maaf," ujar kami bersamaan.

Sejenak kami saling diam. Benar-benar suasana terasa sangat canggung, seperti orang yang baru saja berkenalan. "Lo duluan!" ujar gue lalu membuang muka dari hadapan dia.

Fahrul menghela napas kasar sejenak. Lalau tanpa gue duga, Fahrul meraih tangan kiri gue dan digenggamnya dengan erat. Hal itu, benar-benar membuat gue jantungan. Ini bukan pertama kalinya Fahrul memegang tangan gue. Tapi entah kenapa, semuanya terasa baru lagi. Mungkin ini karena pertama kalinya gue ribut besar dengan Fahrul jadi semuanya terasa aneh dan canggung.

"Maafin gue atas waktu itu," lirih Fahrul pelan.

Mata gue tiba-tiba terasa berat. Ingin menangis tapi gue tahan, malu. Takut dibilang cengeng. Ditahan bagaimanapun, yang namanya nangis tetap aja nangis. Dengan tidak sopan, air mata gue jatuh membasahi tangan Fahrul yang sedang nangkring di atas tangan gue, benar-benar memalukan.

"Jangan nangis. Gue benar-benar minta maaf," ujar Fahrul khawatir lalu mengusap air mata gue. "Waktu itu, gue benar-benar hilang kendali. Emosi gue gak bisa dikontrol. Gue bukan bermaksud membela Livya. Gue cuma kasihan aja sama dia, bukan berniat nyingkirin lo. Gue minta maaf, beneran,"

Gue gak menjawab. Meliriknya saja tidak. Gue benar-benar gak kuat. Semua kejadian waktu itu. Saat gue ribut sama Fahrul di rooftop kembali berlari-lari di pikiran gue. Rasa sakit itu kembali datang, terutama saat Fahrul membentak gue.

"Ra, Pliese. Maafin gue. Gue gak bermaksud untuk membentak lo. Gue kaget aja ngelihat lo ngata-ngatain Livya. Gue tahu waktu itu lo cemburu. Tapi gue gak nyangka aja lo bisa dengan tegas ngatain Livya gituh aja," ujar Fahrul lalu berhenti sejenak dan menghela napas panjang. "Gue tahu, Livya emang suka sama gue dari dulu. Dia selalu saja ngejar-ngejar gue. Tapi lo tahu kan gue gak suka sama dia. Gue cuma ngenggep dia sebagai teman. Ayolah Ra, jangan cemburu buta kayak gituh. Gue itu sama dia cu..."

BENDAHARA VS BAD BOY 2 [COMPLETED]Onde histórias criam vida. Descubra agora