15. Correctness

690 49 14
                                    

Gue berjalan menyusuri koridor dengan sangat lesu. Sudah lebih dari dua minggu juga Devin menghilang. Devin ke mana? Kenapa dia pergi tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Setiap hari gue tidak pernah melupakan untuk menghubungi nomor Devin. Namun hasilnya tetap sama, tak ada jawaban.

Hati gue miris lagi. Kembali miris jika kembali mengingat percakapan terakhir dengan Devin. Gue menyesal. Sungguh gue menyesal. Gue menyesal kenapa dulu tak coba mempercayai Devin. Karena nyatanya, dulu juga gue sempat satu pemikiran dengan Devin tentang Kak Juna.

Ingatlah, dulu gue pernah memergoki Kak Juna tengah jalan bersama seorang gadis. Dan itu tidak hanya sekali, dua kali. Bahkan mungkin lebih, hanya saja gue tidak mengetahuinya.

Gue terlalu terbawa emosi waktu itu sehingga gue tak bisa berpikir jernih. Gue malah menyalahkan Devin. Dan alhasil, gue sendiri yang membuat Devin pergi.

“Devin belum ada hubungin lo?” tanya Ara karena sedari tadi dia mungkin melihat raut wajah gue yang terlihat lesu.

Gue menggeleng dan otomatis menimbulkan helaan napas panjang dari mulut Ara dan juga Sesil.

“Devin ke mana sih? Kenapa dia hilang seolah ditelan bumi?” gerutu Sesil.

Gue cuma tersenyum miris. Benar, Devin seolah menghilang dari bumi. Mungkin dia tengah berkunjung ke planet lain agar keberadaannya tak diketahui oleh gue? Mustahil!

Seolah mengerti bagaimana keadaan gue sekarang, Ara menepuk pelan bahu gue. “Gak usah khawatir. Gue yakin Devin gak papa. Dia kan cowo.”

Gue cuma mengangguk mengiyakan.

“Yuna mana?” tanya Sesil.

Gue dan Ara cuma refleks mengangkat bahu tanda tak tahu.

***

Gue semakin mempercepat langkah ketika menyadari hujan seolah mengejar gue saat ini. Sial! Kenapa juga harus turun hujan di hari yang cerah ini? Di drama My Girlfriend Is Gumiho, jika turun hujan di hari yang cerah itu tandanya sedang ada rubah yang menangis. Gue terkekeh mengingatnya. Bukan, kali ini bukan rubah yang menangis. Tapi gue, hati gue. Apa hujan juga mengetahui isi hati gue yang sekarang hingga dia ikut iba lalu menurunkan hujan agar gue ada yang menemani?

Gue menghela napas. Pemikiran macam apa itu!

Sambil berteduh menunggu hujan mereda, gue mengedarkan pandangan ke sekeliling melihat orang orang yang sibuk berlari untuk meghindari hujan. Bahkan ada juga yang seolah mengabaikannya dan memilih badannya terguyur oleh hujan saat ini.

Termasuk gue. Gue langsung melangkah membiarkan hujan membasahi gue ketika gue melihat sepasang kekasih yang berseberangan dengan gue tengah berpelukan dengan mesranya.

Waw! Satu kata yang saat ini muncul di pikiran gue. Sekarang gue sudah tak butuh bukti. Karena mata kepala gue sendiri yang sudah membuktikannya. Akhirnya gue berjalan mendekat hingga sekarang posisi gue sudah berada di hadapan mereka.

“Waw! Kali ini siapa?” tanya gue sambil tersenyum miring.

Mereka menoleh. Dan dapat gue lihat ada raut keterkejutan dari pria itu.

“Natt! Aku....”

“Temen, sahabat, mantan, pacar, atau...” gue menghentikan ucapan gue sambil memandang dengan anarkis ke arah pria itu. “Selingkuhan.”

Raut wajah terkejutnya kini terganti dengan kekehan kecilnya. Gue mengeryit bingung. Kenapa dia malah terlihat seperti iblis saat ini?

“Kaget?” tanyanya. “Dia pacar gue, lebih tepatnya...” dia mendekatkan wajahnya pada telinga gue lalu berbisik. “Salah satu gadis gue.”

“Brengsek!” umpatan itu langsung otomatis keluar dari mulut gue.

Gue bahkan belum menjawab perasaannya waktu itu, tapi dia sudah seenaknya bermain dengan gadis lain saat ini. Berengsek memang julukan yang cocok untuknya. Terimakasih Adin, karena dia gue tidak salah mengambil keputusan.

“Kenapa? Lo marah?” tanyanya lagi. “Lo gak berhak marah karna lo bahkan belum jadi siapa-siapa gue. Lo bahkan belum jawab perasaan gue waktu itu. Jadi, gue masih bebas kan jalan sama cewe lain?” ucapnya sambil melirik gadis di sampingnya yang dijawab dengan senyuman kikuk oleh gadis itu.

Gue mengumpat dalam hati. Menyesal karena pernah mengagumi dirinya waktu itu.

“Lo tentunya udah tau jawaban gue,” seru gue sambil menatap tajam ke arahnya.

“Apa? Lo mau nolak gue? Silahkan! Masih banyak gadis lain yang mengantri mau jadi pacar gue.”

Gue tertawa sinis. “Ternyata zaman sekarang, buaya sama manusia udah gak bisa di bedain, ya?” seru gue menyindirnya.

Dia tersenyum miring. “Jangan bodoh, Natt. Lo fikir gue bakal nunggu lo? Lo bahkan gak beri kepastian ke gue. Lo pikir dunia selalu berputar di sekeliling lo?” serunya sambil meraih pergelangan tangan gadis itu lalu segera membawanya pergi.

Tubuh gue langsung melemas. Bukan, bukan karena gue merasa kehilangan Kak Juna. Tapi, karena gue terlalu percaya pada pria berengsek itu, gue jadi kehilangan orang yang benar-benar sudah tulus sayang ke gue.

Gue menangis. Dan tangis gue ini berlomba-lomba dengan suara hujan yang sejak tadi malah semakin terlihat deras, seolah mengatakan jika dia juga ikut bersedih karena gue. Gue berjalan tanpa tujuan. Seolah pikiran gue juga ikut mati bersama dengan hati gue. Tapi gue mensyukuri saat ini hujan turun, seenggaknya, dia berhasil menghapus air mata gue.

Gue terus berjalan dan gue langsung menghentikan langkah ketika menyadari air hujan sudah tak mengguyur gue lagi saat ini. Bukan, bukan karena hujan telah berhenti. Tapi, seseorang yang menghentikan rintik hujan itu hingga tak lagi membasahi gue.

Gue mendongak menatap sebuah jaket yang berhasil membuat gue tak lagi kebasahan karena air hujan ini. Dan gue menoleh melirik pemilik tangan kekar yang menggenggam jaket itu. Hati gue menghangat. Karena gue pikir, dia orang yang selama ini gue cari. Namun nyatanya, bukan.

“Lo gila! Kenapa hujan-hujanan!” teriaknya sambil langsung membawa tubuh gue untuk kembali berteduh di salah satu toko yang sudah tutup.

Gue tersenyum miris. Biasanya, Devin selalu ada disaat gue terpuruk seperti ini. Tapi kali ini, dia tidak ada. Dia telah pergi. Pergi selamanya dari sisi gue.

“Natt, lo kenapa? Kalo lo ada masalah, lo bisa cerita semuanya ke gue,” seru Adin sambil mengguncang pelan bahu gue.

Gue menunduk tak berani menatap mata Adin.

“Jawab gue Natt, gue mohon...,” pinta Adin seolah dia tak tega melihat gue yang terlihat sangat terpuruk ini.

“Juna brengsek! Dia cuma mempermainkan gue!” teriak gue pada akhirnya.

Adin diam. Karena gue yakin dia sudah mengetahui tentang hal ini. Ingatlah, mereka dulu selalu kompak melarang gue dekat dengan Kak Juna. Dan ini alasannya.

“Gara-gara dia Devin pergi...,” lirih gue. “Gue terlalu percaya sama dia sampe Devin memilih pergi dari gue....”

Gue merasakan tubuh gue menghangat karena dekapan Adin. Dan gue semakin menangis kencang mengingat biasanya Devin yang selalu mendekap gue jika gue tengah menangis seperti ini.

“Devin pergi....”

“Nggak, Natt. Dia nggak pergi,” sela Adin sambil melepaskan pelukannya lalu menangkup kedua pipi gue. “Dia gak pernah pergi dari sisi lo. Dia cuma butuh waktu.”

“Tapi, dia sendiri yang bilang akan pergi dari sisi gue.”

“Natt! Percaya sama gue. Suatu saat, Devin pasti balik lagi ke sisi lo. Biar waktu yang menjawabnya,” seru Adin lalu mulai menghapus air mata gue dengan lembut. Dia lalu beralih menggenggam tangan gue. “Biar gue antar lo pulang.”

***

Hayo looh, ketahuan kan kalau Juna Playboy. Nyesel, Natt?
Emang penyelesaian selalu datang di akhir...

Next?




XOXO

FIHA IM

Renata Keyla ✔Where stories live. Discover now