14. Fact

724 41 8
                                    

Gue berjalan gontai ke luar kelas. Sudah lebih dari satu minggu gue tidak bertemu Devin. Devin bahkan bisa dibilang seperti menghilang dari bumi. Buktinya, sewaktu gue menanyakan keberadaan Devin pada sahabat-sahabat gue yang lain, mereka cuma menggelengkan kepala. Di pikiran gue saat ini hanya satu, Devin benar-benar menepati ucapannya. Dia benar-benar menepati ucapannya kalau ia akan pergi dari sisi gue.

Jujur, gue khawatir padanya. Gue benar-benar khawatir. Gue takut terjadi sesuatu dengan dia. Dia ke mana? pertanyaan itu terus saja menghantui gue. Devin tidak ada di sisi gue, entah kenapa membuat hati gue jadi semakin miris. Aneh? Jelas! Kenapa juga gue jadi seperti ini. Namun, beribu kali pun pikiran gue menyangkal kalau gue tak khawatir pada Devin, nyatanya hati gue berkata sebaliknya.

Selama satu minggu juga gue memikirkan jawaban yang akan gue berikan pada Kak Juna. Entah ini jawaban benar atau tidak, yang pasti gue harus menjalaninya. Gue yakin, harus yakin!

“Adin!” panggil gue ketika mendapati Adin tengah duduk di kursi tempat biasa kami menongkrong.

Dia sendirian, membuat gue semakin miris mendapati kenyataan ini. Semenjak hilangnya Devin, kami tak pernah sekali pun menongkrong bersama lagi.

“Sendirian aja lo,” celetuk gue sambil memposisikan untuk duduk di depan Adin.

“Lo juga sama aja,” jawabnya sambil menyeruput segelas minumannya.

Gue tersenyum samar. Nyatanya, sekarang gue sudah sendiri. Gue sudah kehilangan sosok yang biasa selalu ada bersama gue, Devin.

“Din,” panggil gue yang membuat Adin mendongak menatap gue sambil memasang raut wajah seolah menyuruh gue melanjutkan perkataan tadi.

Gue menunduk sambil memejamkan mata dan menghembuskan napas perlahan. Setelah dirasa tenang, gue mulai mendongak membalas tatapan Adin. “Kak Juna nembak gue.”

Ucapan gue sukses membuat Adin membelalak tak percaya. Apa Devin belum memberitahunya? Bukankah mereka selalu kompak melarang gue untuk dekat dengan Kak Juna? Tapi, kenapa Devin malah merahasiakan ini dari sahabat gue yang lainnya?

“Lo seriusan?” tanya Adin sambil menggeleng tak percaya.

“Devin belum ngasih tau?” tanya gue balik.

“Lo gila! Gue aja terakhir ketemu Devin waktu dia bilang mau ke rumah lo. Setelah itu, udah, Devin udah gak ada kabar lagi.”

Perkataan Adin sukses membuat gue kembali murung. Benar, Adin benar. Hari itu juga hari terakhir gue bertemu Devin sebelum terjadi pertengkaran besar di antara kami.

“Terus, lo jawab apa sama dia?” tanya Adin.

“Gue belum jawab,” ucap gue. “Bahkan udah lebih dari satu minggu gue belum jawab perasaan Kak Juna.”

“Jadi, apa jawaban lo?” tanya Adin lagi sambil menatap gue intens.

Gue menelan ludah dengan berat sambil memejamkan mata. Gue kembali merenungkan keputusan gue. Apa gue tak akan menyesalinya?

“Gue udah memikirkannya selama satu minggu lebih. Tapi, gue sedikit ragu.”

“Apa jawaban lo?” Adin sama sekali tak memperdulikan ucapan gue. Dia benar-benar terlihat sangat penasaran dengan apa jawaban yang akan gue berikan.

“Gue akui, selama ini perasaan gue cuma sebatas kagum sama Kak Juna,” ucap gue.

Adin menghembuskan napas pelan. “Bagus itu, kalo lo mulai sadar,” serunya seakan pengakuan gue tengah sejalan dengan pikirannya.

“Tapi...” gue menggantungkan kalimat, dan mata gue kini bertatapan kembali dengan mata Adin.

“Tapi apa?” tanya Adin sambil memicingkan mata.

Renata Keyla ✔Where stories live. Discover now