***

Sekarang gue tengah duduk di sofa ruang tamu dikelilingi sembilan sahabat gue yang kini tengah menatap lekat ke arah gue. Dan keadaan lampu di rumah juga kini sudah menyala kembali, sehingga membuat gue sedikit merasa lega. Hujan di luar masih mengguyur bumi tapi suara petirnya sudah tak terdengar lagi. Gue bersyukur punya sahabat seperti mereka, seenggaknya mereka benar-benar ada disaat gue butuh. Mereka rela datang bahkan disaat petir tengah meletup dengan kencang-kencangnya di luar sana. Ternyata sahabat gue selalu ada, bukan ada sewaktu gue merasa senang saja.

Tadi, setelah gue mengirim pesan seperti itu ke Grup Chat, Yuna yang datang terlebih dulu ke rumah gue, karena kebetulan rumah kami yang memang berdekatan. Karena gue tak mengunci rumah, akhirnya Yuna langsung menghampiri gue dan langsung memeluk gue yang tengah meringkuk sambil menangis sendirian di dalam kamar. Gue bernafas lega, seenggaknya ada yang membaca pesan dari gue. Dan gue semakin bernafas lega karena semua teman gue membacanya, dan semuanya juga ikut datang ke rumah gue.

"Gue gak nyangka, ternyata lo bisa setega itu sama gue, Natt!" pekik Yuna. "Kita udah temenan dari orok, dan lo masih tega-teganya ngerahasiain ini dari gue?!"

Gue menghembuskan nafas pelan, berusaha menahan air mata yang hendak keluar lagi. Tadi, gue baru saja menceritakan tentang masalah pribadi gue. Iya, tentang sikap Mama selama ini. Benar kata Devin, setelah meluapkan semuanya, gue perlahan mulai tidak merasa sepi lagi. Seenggaknya ada orang yang mampu memberi gue solusi saat ini.

Gue lihat Yuna juga menghela nafas berat. "Sejujurnya gue ngerasa marah sama lo Natt. Tapi, apa gue bisa marah setelah mendengar semua masalah lo yang bahkan bikin gue miris sendiri?" ucap Yuna dan langsung menghambur ke pelukan gue.

Melihat Yuna yang memeluk gue, sontak Ara dan Sesil juga ikut memeluk gue. Gue dengar isakan-isakan pelan dari mereka. Air mata gue jatuh lagi. Untuk kesekian kalinya jatuh lagi. Tapi gue bersyukur, kali ini air mata gue jatuh bukan karena untuk meratapi nasib, tapi karena rasa terharu memiliki sahabat-sahabat yang begitu mengerti gue seperti ini.

"Gue ikutan ah!" seru Joshua hendak ikut memeluk gue juga, namun pergerakannya langsung terhenti ketika mendapat tatapan mengintimidasi dari Sesil.

Perlahan mereka mulai melepas pelukannya. Gue pun mengusap air mata begitu pun dengan mereka.

"Pantes dari kecil gue gak pernah lihat lo jalan sama nyokap!" celetuk Yuna. "Bahkan pas TK lo lebih sering diantar sama bokap dari pada nyokap!"

"Bukan sering lagi Yuna, tapi tiap hari." jawab gue. "Nyokap gue gak pernah sekali pun antar gue sekolah."

Sesil berdecak pelan. "Ternyata bukan cuma ibu tiri yang berlaku kejam pada anaknya."

Mendengar ucapan Sesil, sontak Adin dan Malik langsung bernyanyi-nyanyi kecil. "Ibu tiri... hanya cinta... kepada... aduh-aduh!!" nyanyian mereka langsung terhenti karena mendapat pukulan di kepalanya dengan keras secara bergantian oleh Ara.

"Dia bukan nyokap tiri!" teriak Ara sambil mendengus kesal.

Gue tersenyum. Seenggaknya dengan adanya mereka, gue bisa tersenyum kembali untuk saat ini.

"Udah lega sekarang? Udah gak merasa kesepian lagi?" tanya Devin yang duduk di sebelah gue dan sedari tadi hanya diam saja karena lebih memilih menatap lekat ke arah gue.

Gue tersenyum lalu mengangguk. "Udah Vin, makasih sarannya."

Devin tersenyum lalu mengelus rambut gue dengan pelan.

"Sayang banget rumah segede ini cuma dihuni sama satu orang." celetuk Malik. "Kalo gue ubah jadi tempat clubbing, pasti bakal rame."

Sontak ucapannya langsung dihadiahi lemparan bantal sofa dari Ara dan tepat mengenai wajahnya. Gue cuma terkekeh pelan melihat pertengkaran kecil dari mereka, begitu pun yang lainnya.

Renata Keyla ✔Where stories live. Discover now