“Yakin lah! Sekalian gue nginep lagi kan di rumah lo?” seru Ara lagi ke gue.

“Lo gak takut sama mak lampir di rumah gue?” tanya gue sambil tersenyum kecil mengingat bagaimana cerewetnya Kak Sica kalau gue ketahuan tengah menonton drama korea bersama teman-teman sampai lupa waktu.

“Eh, gak jadi deh!” jawab Ara sambil bergidik ngeri karena dia juga salah satu korban amukan Kak Sica waktu itu.

Gue terkekeh pelan lalu segera memakan Donat yang gue pesan tadi.

“Tumben toping Donatnya keju, biasanya coklat.” celetuk Devin yang duduk di hadapan gue dan sedari tadi hanya diam menyimak pembicaraan kami.

“Pengen coba yang baru aja.” jawab gue.

“Emangnya gak aneh gitu, kan biasanya selama ini selalu toping coklat yang lo beli.” timbrung Ara.

“Gak papa. Gak semuanya yang baru itu mengecewakan. Seenggaknya gue harus mencoba, mencoba terbiasa dengan yang baru karena belum tentu yang lama tetap bertahan di hati gue.”

“Kebanyakan novel romance lo!” Devin mendesis pelan sambil menyentuh kening gue dengan telunjuknya dan memberikan hentakan pelan. “Ngomongin Donat aja pake perasaan.”

Gue tersenyum simpul, “Seenggaknya gue lagi berusaha ngehibur hati.” ucap gue enteng.

“Halah ngehibur hati!” cibir Yuna. “Sono hibur hati degem-degem lo tuh yang kecewa gara-gara ditolak cintanya sama lo!”

“Iya dih! Sok-sok’an nolak degem, eh sendirinya sekarang masih jomblo!” celetuk Ara. Kenapa mulut Ara bisa mengeluarkan kata sepedas itu?

Gue menghela nafas. “Gue jomblo karna gue nyari yang Kw-an Baekhyun!” celetuk gue.

“Kw-an Baekhyun pantatmu neng! Sono noh Mang Asep, dia juga kalo didandanin mirip Baekhyun.” celetuk Yuna sambil membawa-bawa nama Mang Asep, tukang sapu di kampus yang kelakuannya lebih mirip bencong salon.

“Kalo Mang Asep gue dandanin, lebih mirip banci Thailand!” seru gue dan sontak membuat ketiga sahabat gue ini tertawa.

“Lagian ngarep yang Kw-an Baekhyun. Mustahil Natt! Keburu si botak jadi gondrong!” celetuk Ara dan berhasil membuat kami kembali tertawa.

“Ngomong-ngomong yang lain mana?” tanya gue disela tawa gue.

“Kalo Adin sih tadi ada ngabarin gue, katanya dia meriang gara-gara kehujanan kemarin.” jawab Devin. “Kalo yang lainnya, gue gak tau.”

Gue berdecak. “Partner debat gue bisa sakit juga.” ucap gue pelan. “Pacar lo mana, Ra?” tanya gue mengalihkan tatapan pada Ara yang duduk di sebelah gue.

“Dia gak ada kelas hari ini.”

Gue cuma mengangguk-angguk pelan mendengar jawabannya.

“Eh, gue sama Yuna duluan ya. Ada urusan bentar.” seru Ara lalu mulai bangkit berdiri dengan Yuna.

Sontak gue dan Devin menjawabnya dengan anggukan.

“Hati-hati.” seru gue dan dijawab anggukan pula oleh keduanya.

Setelah ditinggal mereka berdua, di sinilah gue, ditinggal berdua dengan Devin. Entah gue yang merasa terlalu percaya diri atau apa, yang jelas, gue merasakan Devin terus menatap gue saat ini. Jujur gue risih, kenapa juga Devin menatap gue seperti itu?

“Kenapa sih natap gue kaya gitu? Ada yang aneh?” tanya gue karena mulai merasa risih dengan tatapan Devin.

“Lo yakin lo gak papa?” tanya Devin.

Gue tahu arah pembicaraan Devin tentang apa, pasti tentang mata gue yang mendadak bengkak seperti ini. Akhirnya gue mengangguk mengiyakan.

“Dan lo pikir, gue semudah itu buat percaya sama alasan lo?”

***

Gue meringkuk sendirian di dalam kamar. Sekarang di luar tengah hujan deras. Dan karena itu, gue rasa keadaan sekarang malah semakin mencekam. Terlebih gue cuma sendirian di rumah. Bukannya gue takut, cuma rasanya tidak mengenakkan saja mengetahui fakta kalau gue kini tengah sendirian di sini, di rumah sebesar ini.

Gue meringkuk sambil merapatkan selimut dan mulai memejamkan mata. Tapi, saat gue memejamkan mata, bayangan wajah Devin sewaktu siang malah melintas di fikiran gue.

Dan lo pikir, gue semudah itu buat percaya sama alasan lo?

Gue terlonjak kaget. Tangan gue yang tadi memegang garpu dan pisau langsung menjatuhkannya perlahan. Apa Devin sepeka itu?

“Lo ngomong apa sih!” seru gue sambil tersenyum tipis lalu segera memalingkan wajah. Gue terlalu takut kalau pandangan gue akan bertubrukan dengan mata sipit milik Devin.

“Gue tau lo lagi gak jujur sama gue Renata...” seru Devin pelan sambil meraih tangan gue yang berada di atas meja. “Tapi, gue gak akan maksa buat lo cerita sama gue. Gue yang akan tunggu sampe kapan lo siap buat cerita ke gue. Tapi seenggaknya, jangan buat diri lo kesepian kaya gini.”

Pernyataan terakhir Devin sontak membuat gue tertohok dan jantung gue semakin berdesir hebat.






Tapi seenggaknya, jangan buat diri lo kesepian kaya gini.







Iya Vin, gue kesepian, sangat kesepian. Tapi, apa bisa kehadiran lo bisa menghapus rasa sepi gue? Rasa sepi yang selama ini menghantui gue? Karena rasa sepi yang gue alami kini hanya bisa terobati dengan pelukan hangat dari Mama.

Tapi pertanyaannya, kapan gue merasakan itu? Kapan Mama bisa memberikan pelukan hangat ke gue seperti itu? Jawabannya adalah, kalau Tuhan memberi hidayah pada Mama, baru gue bisa merasakan itu.

Sekali lagi gue merasakan sesak di dada gue. Kenapa dari sekian banyak umat manusia, gue yang harus merasakan ini. Sebegitu bencikah Tuhan ke gue? Apa salah gue!

Gue menangis, untuk kesekian kalinya air mata ini bobol dari pertahanannya. Tapi, apa yang bisa gue lakukan lagi selain menangis? Tidak ada.

Nyatanya, gue hanya bisa meratapi nasib tanpa bisa merubah nasib. Karena, jika takdir sudah berkehendak seperti itu, gue bisa apa?

***

Gimana part 8 nya??

Next??

Salam dari Kang seulgi😘

XOXO

FIHA IM

Renata Keyla ✔Where stories live. Discover now