[26] : Helena Vladimir

3.6K 813 26
                                    

Helena Vladimir, masih mengingat dengan jelas bagaimana ia bertemu dengan Aura, ibu angkatnya dan membawanya ke kastil Vlad setelah diubah menjadi makhluk abadi.

Dia berasal dari luar Ignored, lahir dan tumbuh besar di daerah yang keras dengan seorang ayah yang pemabuk dan ibu yang tidak berdaya ketika melihat anaknya disiksa setiap malam saat suaminya pulang dalam keadaan mabuk.

Helena bertemu dengan Aura ketika dia berniat untuk mengakhiri hidupnya di sebuah jembatan yang membentang di atas sungai besar tanpa riak. Wajahnya penuh memar, sudut bibirnya robek, dia bisa merasakan tulang rusuknya yang terasa sakit akibat tendangan yang diterima berkali-kali dari sang ayah.

Bagi Helena, bertemu dengan Aura adalah sebuah anugerah. Dia tidak pernah menyesal membiarkan Aura mengubahnya. Bagi kebanyakan orang, vampire adalah monster yang terkutuk, tapi bagi Helena Aura bukanlah monster yang terkutuk. Aura adalah jalannya menuju kebahagiaan yang abadi, bersama keluarga Vladimir.

Helena sudah melihat banyak hal di dalam keluarga Vladimir, termasuk kejadian terburuk dan terkelam sepanjang sejarah Vlad. Dia banyak melihat klannya terbunuh, rumah-rumah penduduk terbakar, juga ketika mereka harus kehilangan  tiga anggota keluarga Vladimir. Troy, Audrey, dan Vladimir itu sendiri. 

Namun agaknya, masih banyak misteri yang belum Helena ketahui, termasuk salah satunya adalah tentang ramalan yang sejak dulu sering dia dengar.

“Helena.” 

Helena menoleh ke belakang, Aura sudah berdiri di belakangnya, entah sejak kapan. Perempuan itu lalu duduk di samping puterinya, “Sedang apa kau di sini?” tanya Aura.

Helena menggedikan bahu, “Hanya mengingat masa lalu, dan juga memikirkan sesuatu.” Jawab Helena jujur, dia memang tidak pernah menyembunyikan apapun dari Aura.

Aura mengusap rambut Helena yang sekarang sudah tidak ikal lagi, ya, berkat Puteri Irene. “Kau merindukan keluargamu?” tanyanya, “Sudah lama kau tidak berkunjung ke sana, apa kau ingin pergi ke sana?”

Helena menggelengkan kepala, “Aku pergi ke sana pun tidak ada yang bisa aku temui, Ibu. Selain nisan mereka berdua. Yang entah, masih ada di sana atau sudah tertutup bangunan-bangunan lain.”

Aura menatap Helena sendu, ada rasa bersalah yang menjalar di hatinya. Yang terkadang membuatnya menyesal sudah merubah Helena menjadi sepertinya, menjadi makhluk abadi.

“Ibu tidak usah sedih. Aku tidak pernah menyesal ibu sudah merubahku. Bukankah kita bisa selalu bersama untuk waktu yang lama?” Helena memeluk Aura erat.

“Lalu, apa hal lain yang kau pikirkan?” Aura mengalihkan pembicaraan.

Helena melepaskan pelukannya, “Tentang ramalan itu.”

Air muka Aura berubah terkejut, mereka terbilang jarang sekali membahas perihal ramalan kuno itu. Sekalipun Philip sering kali membahasnya selintas lalu tapi tidak pernah bisa memancing ketertarikan Helena untuk bertanya.

“Kenapa tiba-tiba kau bertanya tentang ramalan itu? Apa karena ada River di sini?” tebaknya, “Kau juga ingin menyangkut pautkan ramalan itu dengan River?”

“Bukan, Ibu. Aku tidak ada masalah dengan adanya River di sini.” Jawab Helena, “Aku hanya penasaran, apa ibu pernah melihat dia?” tanya Helena hati-hati, dia tidak ingin membuat ibunya tersinggung.

Aura menghela napas, melemparkan pandangannya sejenak pada  taman bunga miliknya, lalu kembali menatap Helena. “Tidak pernah, ibu tidak pernah melihat dia.”

“Tentang pintu itu? Ibu juga tidak tahu?” tanya Helena lagi.

Aura menggeleng, “Saat itu terjadi, ibu bersama Audrey,Troy dan Daryn tidak diperbolehkan berada di dalam kastil. ” Aura kembali mengenang kejadian berabad-abad silam itu, “Saat ibu kembali, ibu hanya tahu bahwa Calista sudah meninggal.” Dia teringat akan ibu angkatnya, seorang wanita yang sangat keibuan, yang sayangnya disaat-saat terakhir wanita itu Aura tidak ada di sana. “Yang mengetahui keberadaannya hanya Philip, Redmund dan Calista.” 

Aura merangkul bahu anaknya, mempersempit jarak mereka, “Tidak perlu cemas, semua akan baik-baik saja, Helena. Tidak akan terjadi apa-apa sekalipun ada darah campuran Vladimir di sini.” Aura menenangkan puterinya yang dia tahu sedikit gelisah. “Ah, bagaimana kalau kau membantu seseorang?”

Helena mengerutkan kening menatap ibunya bingung, “Membantu siapa?”

“Tadi, ibu melihat Rex sedang berlatih pedang sendirian di dekat istal. Kenapa kau tidak membantunya berlatih?” Aura mengerling pada Helena.

“Benarkah? Dia sendirian?” tanya Helena antusias.

Aura mengangguk menanggapi, lalu tertawa kecil saat Helena buru-buru bangun.

“Aku akan membantunya sekarang,” Helena kemudian mencium pipi ibunya, “Terima kasih, Ibu.” Ucapnya sebelum melesat menuju istal.

Aura menatap kepergian Helena yang sudah melesat dengan cepat, pandangannya tertuju pada bulan yang hampir sempurna di atas langit Vlad. Haruskah dia berkata bahwa kata-katanya tadi juga untuk menenangkan dirinya sendiri? Meyakinkan hatinya bahwa tidak akan terjadi sesuatu pada keluarganya.

***

Sudah berapa lama Rex tidak berlatih? Sepertinya sangat lama, bahkan Rex tidak dapat mengingat kapan terakhir kali dia memegang pedang Aresnya.

Pedang itu lebih berkilauan terkena cahaya bulan yang bersinar. Tubuhnya berputar-putar mengayunkan pedangnya ke sana kemari, membuat gerakan menusuk, menangkis, dan melompat.

Sialnya, pada gerakan yang terakhir dia harus kehilangan keseimbangan ketika tiba-tiba saja Helena sudah berada di depannya, begitu saja, tersenyum padanya. Rex terjerembab jatuh, pedang Aresnya terlepas  dari tangannya, terpental ke arah kaki Helena.

Gadis vampire itu mengambil pedang milik Rex, memutar-mutarnya, mengamati pantulan dari pedang itu lalu menyerahkannya kembali pada Rex yang berhasil bangun meski sekarang jantungnya yang terasa jatuh sampai ke perut.

“Pedangmu bagus.” Puji Helena.

“Ini pedang ayahku.” Rex berusaha setenang mungkin.

Helena mengangguk-angguk, “Ayahmu pasti sangat hebat, dewa perang.”

Rex mengangkat bahu, “Ya, begitulah.” Lalu dia berdehem, kenapa udara jadi sangat panas di sekitarnya? “Bagaimana dengan ayahmu?” tanya Rex berusaha mengalihkan pikirannya dari udara yang mendadak panas, namun setelahnya dia ingin mengubur dirinya sendiri, bagaimana bisa dia menanyakan hal itu pada Helena?

Helena terdiam sebentar, sebelum mengulas senyum tipis namun terlihat sedih di mata Rex, “Ayahku, sudah pasti tidak sehebat dewa perang.” Jawabnya, “Saat aku masih menjadi manusia, ayahku hanya memberiku banyak pukulan ketika pulang ke rumah dalam keadaan setengah mabuk.” Suaranya seperti tercekat.

Oh, apa vampire bisa menangis juga? Rex jadi serba salah, “M-maaf, aku tidak bermaksud.”

Helena mengangkat wajahnya, senyum kecil itu masih terukir di sana, senyum yang sepertinya sekarang tidak lagi membuat Rex merasa takut. “Tidak apa-apa, lagi pula itu sudah lama sekali. Mungkin saja bahkan waktu itu kau belum lahir.”

Rex mengerutkan keningnya, menatap Helena horror. “Helena, berapa umurmu sekarang?”

Pertanyaan Rex mengundang tawa Helena yang bergema di lapangan luas dekat istal itu, “Kenapa? Kau ada masalah dekat dengan gadis yang lebih tua darimu?”
Helena melangkah dua kali mendekati Rex.

Rex mematung di tempatnya, walau samar dia bisa menhirup wangi mawar yang diterbangkan angin malam menggelitik penciumannya, membuat perutnya melilit. Ini tidak benar! Rex menelan ludah.

Helena melangkah lebih dekat,“Bagaimana kalau aku membantumu berlatih?” tanya Helena.

“Ya?” Rex berhasil memperoleh kesadarannya lagi.

“Aku sedikit ahli dalam bermain pedang,” katanya, “Aku bisa jadi teman berlatihmu, Rex.”

Lagi, Rex meneguk ludah saat Helena tiba-tiba saja mengambil sebuah pedang pendek dari sarung pedang yang Rex simpan di belakang punggungnya.

Helena benar-benar berbahaya, bagaimana dia bisa tahu aku menyimpan satu pedang lagi di sana?

Constantine #2 : Bangkitnya Illuminati ✔Where stories live. Discover now