[25] : Brotherhood

3.7K 812 35
                                    

Kamar para pelayan Kastil Vlad berada di bagian selatan Kastil, di sebuah lahan luas yang dipisahkan oleh sungai buatan untuk memisahkan wilayah mereka dengan menara utama.

Beberapa rumah kecil dengan satu rumah yang lebih besar untuk kepala pelayan. Aro, sebelumnya sempat berpikir, kenapa mereka butuh rumah? Maksudnya, mereka itu vampire, setahunya vampire tidak butuh tidur, lalu apa yang para pelayan itu lakukan di dalam rumah? Mungkin Aro bisa mengintip sedikit kesibukan mereka di dalam sana. Ya, itupun kalau dia tidak takut kalau-kalau nanti ada salah satu vampire yang tiba-tiba menggigitnya.

“Sepertinya Dexter tidak ada di rumahnya.” Kata Maxime ketika untuk yang ketiga kalinya dia mengetuk pintu rumah Dexter namun tidak ada jawaban.

“Tapi lampunya menyala.” Aro menunjuk pada lampu gantung di atas mereka, lalu dia mendorong gagang pintu, “Tidak terkunci.” Katanya saat menyadari bahwa pintu rumah Dexter tidak terkunci.

“Kau tidak bermaksud untuk masuk ke dalam, kan, Aro?” tanya Maxime.

“Memang itu maksudku.” Jawab Aro.

“Tidak baik masuk ke rumah orang tanpa izin. Dan yang kita masuki rumahnya ini adalah rumah vampire.” Maxime mengingatkan.

Aro memutar bola matanya, sejak kapan Maxime jadi takut hal-hal seperti itu? Apa tidak cukup reaksi Rex yang ketakutan setiap kali berdekatan dengan Helena? Kenapa kedua saudaranya ini jadi seperti tertular sifatnya yang penakut?

“Tapi kita butuh bertanya pada dia, kan? Kau mau Axel marah-marah karena kita kembali tanpa hasil?” Aro membayangkan bagaimana omelan yang akan dia dapat dari Axel, dan dia sedang tidak mau mendengar itu.

Jadi, tanpa menunggu Maxime, Aro masuk ke dalam rumah Dexter. Tak lama Maxime masuk mengikutinya.

Ruangan dalam rumah berlantai dua itu luas dan lengang, tidak banyak barang di dalamnya. Ruangan tengahnya hanya tersedia dua sofa hitam dengan sebuah grand piano berwarna cokelat di tengah-tengah ruangan.

“Sepertinya dia memang tidak ada di sini.” Kata Aro saat menyadari bahwa rumah itu benar-benar sepi, “Max?” Aro menghampiri Maxime yang diam di tempatnya sedari tadi, hidungnya mengerut membaui udara. “Ada apa?”

Maxime menggeleng, “Tidak, hanya saja…”

“Tuan Aro, Tuan Maxime.”

Kedua pemuda itu menoleh, mendapati Dexter masuk melalui pintu depan yang sudah terbuka lebar.

“Ada keperluan apa tuan-tuan masuk ke dalam rumahku?” tanya Dexter.

Maxime menyikut Aro untuk menjawab pertanyaan itu. Aro sedikit mendelik sebelum akhirnya menjawab dengan sedikit terbata dan wajah gugup. “Ah, itu.. sebelumnya kami minta maaf karena langsung masuk ke dalam rumahmu. Tadi, pintu depan tidak terkunci.”

“Saya memang tidak pernah mengunci pintu rumah saya.” Jawab Dexter.

Aro mengangguk-angguk, Maxime kembali menyikutnya memberi kode. “Begini, kami ke sini untuk menanyakan sesuatu.” kata Aro lagi.

Dexter menelengkan kepalanya, lalu tersenyum kecil. “Hal apa yang ingin Tuan-Tuan tanyakan pada saya?”

Maxime mengibaskan tangannya cepat, “Oh, bukan hal serius. Begini, kami butuh alat untuk menumbuk. Apa, kau memilikinya?” tanya Maxime.

Dexter berpikir sebentar, sementara Aro dan Maxime tengah menyiapkan jawaban kalau-kalau kepala pelayan itu menanyakan kenapa mereka membutuhkan alat untuk menumbuk, sesuatu yang rasanya tidak lazim berada di dalam sebuah istana vampire. “Kami tidak punya benda seperti itu di sini, Tuan.” Jawab Dexter akhirnya.

“Oh, begitu.” Mereka berdua sudah menduga bahwa Dexter akan menjawab demikian.

“Tapi saya bisa mencarikannya, kalau anda mau.” Dexter melanjutkan.

“Benarkah? Kau bisa mencarikannya untuk kami?”

Dexter mengangguk seraya tersenyum pada Maxime, “Tentu Tuan, saya akan mencarikan benda itu dan akan mengantarkannya ke kamar Tuan begitu saya mendapatkannya.”

“Terima kasih Dexter, kalau bisa segera bawa ke kamar kami. Kami sangat membutuhkannya.”

“Baik Tuan Aro.” Dexter mengangguk.

“Kalau begitu kami permisi dulu.” Aro menarik Maxime pergi setelah membungkuk sedikit sebagai salam pada Dexter.

Dalam perjalanan kembali ke menara utama, Aro memperhatikan Maxime yang seperti tengah berpikir, terlihat dari kerutan di keningnya dan ekspresi wajahnya yang terlihat serius. Membuat Aro akhirnya menghentikan langkahnya, menarik lengan Maxime untuk berhenti juga. “Apa yang sedang kau pikirkan?”

“Aku seperti pernah mencium aroma itu di suatu tempat.” Jawab Maxime.

“Aroma apa?” Aro mengendus tubuhnya sendiri, “Aku tidak bau.”

Maxime berdecak, “Bukan kau, tapi aroma di rumah Dexter. Aku pernah mencium aromanya di tempat lain. Tapi aku lupa.” Maxime menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Aro menarik bahu Maxime, memberinya rangkulan erat. “Itu pertanda, kau sudah berumur Maxime Lynch.” Ejeknya.

Maxime tertawa sumbang, “HAHAHA, kau membahas tentang umur di tempat yang isinya makhluk yang hidup abadi Tuan Aro Verlander. Sudahlah,  lebih baik kita cepat kembali pada yang lain." Maxime menarik Aro untuk mempercepat langkahnya.

***

"Apa benar ini akan berhasil?" tanya Puteri Irene pada River ketika keduanya melihat Axel dan Rex sibuk di dapur kastil dengan alat penumbuk yang diberikan Dexter beberapa saat lalu. 

River bersandar pada tembok di samping pintu masuk dapur,  melipat kedua tangannya ke perut sembari menatap pada saudarinya yang terlihat gelisah,  "Kau mencemaskan mereka?" tanyanya,  "Terlihat bukan seperti sifat Irene Clow."

"Apa maksudmu?"

River mengangkat bahu,  "Aku hanya merasa kau sekarang jadi lebih memperhatikan teman-temanku." River menegakan badannya,  "Atau aku harus bilang bahwa kau terlihat lebih sering memperhatikan dia sekarang?" River menunjuk Arsen yang sedang menggantikan Axel menumbuk Datura.

Puteri Irene memalingkan wajahnya ke arah lain,  dia tidak bisa mengelak,  namun juga tidak ingin mengiyakan.  Harga dirinya masih terlalu tinggi. Puteri Irene tersentak saat River tiba-tiba saja menepuk-nepuk puncak kepalanya pelan,  "Arsen pemuda yang baik,  dia pemimpin yang baik.  Aku harap kau mempertimbangkannya." lalu River melangkah hendak membantu teman-temannya,  saat Puteri Irene memanggil namanya.

"Apa yang akan kau lakukan kalau ternyata Vernon benar-benar ada di kastil ini?"

River diam sebelum akhirnya mengulas senyum tipis,  "Aku akan mengajaknya berkemah di danau, kita berempat.  Kau,  aku,  Helena dan Vernon.  Bukankah akan menyenangkan?"

Puteri Irene mengerucutkan bibir,  "Tidak menyenangkan kalau dia masih jahat."

River kali ini kembali menumpangkan tangannya pada kepala Puteri Irene,  namun kali ini ia mengusap rambut sang Puteri,  "Kalau begitu,  aku akan membuatnya tidak jahat lagi."

Puteri Irene membalas senyum itu,  "Kita akan membuatnya menjadi tidak jahat lagi."

River tertawa renyah,  "Aku menantikan hari itu tiba."

River merangkul Puteri Irene,  menariknya untuk ikut membantu yang lain. 

Ya,  saat hari itu tiba,  sang Puteri hanya berharap mereka akan menjadi saudara yang akan saling menjaga satu sama lain.

Tbc

Constantine #2 : Bangkitnya Illuminati ✔Where stories live. Discover now