23. Terima Kasih

92 9 0
                                    


Setelah masuk ke dalam stand, Atha segera memesan pesanannya dan mengajak Thalia duduk agar tidak merasakan pegal.

"Nggak apa-apa 'kan, kalo kita makan di sini?" tanya Atha setelah berhasil mendapatkan tempat duduk dan memesan dua mangkuk bakso urat.

Thalia menatap ke sekeliling tempat makan itu, lesehan, ia dan Atha pun duduk di bawah beralaskan tikar anyaman dan dihadapannya terdapat meja bundar.

Thalia menggelengkan kepalanya.

"Nggak masalah. Bunda udah sering bawa gue ke tempat makan kaya gini."

Mendengar jawaban dari Thalia, Atha hanya mengangguk. Setelahnya tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Keduanya hanya fokus pada kegiatan masing-masing.

Thalia yang memainkan ponselnya. Dan Atha yang memperhatikan raut wajah Thalia.

Sekarang Atha sadar satu hal, di setiap ucapan Thalia, cewek itu tidak pernah menyebut kata Ayah. Semua melulu sang Bunda. Entah kenapa, Atha malah penasaran dengan sosok Ayah Thalia. Berbeda dengan dirinya yang mempunyai orangtua lengkap bisa bebas memilih ingin bersama Mamanya atau bersama Papanya.

Seorang pria paruh baya mengantarkan dua mangkuk bakso, pesanan Thalia dan Atha. Sebelum pria paruh baya itu berlalu Thalia mengucapkan terima kasih.

"Habis ini pulang 'kan?" tanya Thalia sebelum menyeruput kuah bakso di sendoknya.

Atha berdecak, "lo takut banget gue culik?"

"Ya... Bu-bukan gitu. Gue takut ketahuan sama Tasya," ringis Thalia.

Atha mengernyitkan dahi, "Kenapa emangnya, kalo Tasya lihat kita lagi makan di sini?"

Thalia hendak menjawab, mulutnya susah terbuka, namun ia urungkan karena ia sudah berjanji akan merahasiakan semuanya dari Atha. Akhirnya Thalia hanya bisa menggelengkan kepala sebagai jawabannya.

"Lo kenal Tasya dari kapan?" Tanya Atha di tengah kegiatan memakan baksonya.

Thalia berpikir sejenak, "pas MPLS, gue sama dia satu gugus, tau-tau sampe sekarang satu kelas terus."

"Lo nggak suka?"

Thalia menatap ke arah Atha, "Apa?"

"Lo nggak suka kalo terus-terusan satu kelas sama Tasya?" Ujar Atha memperjelas ucapannya.

"Nggak, gue malah ngerasa beruntung bisa temenan sama dia."

"Karena?"

"Yaaaa, dia anaknya baik, nggak pandang bulu. Walaupun gue dari kalangan standar, nggak kaya lo sama Tasya yang serba cukup."

Atha menganggukan kepalanya tanda ia mengerti, "walaupun serba cukup. Semua itu punya Papa gue. Dia rela kerja banting tulang buat ngebiayain gue sama Darel."

Thalia membulatkan mulutnya, seketika ia menurunkan pandangan dari Atha. Jika dipikir-pikir, hidup Atha nyaris sempurna, jika ia bisa berdamai dengan Papanya.

"Eung... Kak? Eh, maksud gue, Atha. Gimana sih rasanya punya Ayah?" Tanya Thalia pelan, seolah ia tidak ingin orang sekitar tahu apa yang ia tanyakan kepada Atha.

Atha mengernyitkan dahinya, tangannya mengusap tengkuk. Ia merasa tidak enak hati kepada Thalia, karena mereka malah membahas tentang orang tua, padahal tadi sedang membahas Tasya.

"Kok, nggak dijawab?" Desak Thalia.

Atha terkekeh, berusaha mencairkan suasana, "gue harus jawab apa? Lagian pertanyaan lo aneh banget."

Thalia menghela nafasnya, "nggak aneh, Kak. Wajar gue tanyain hal itu ke lo."

"Itu nggak wajar," ujar Atha seraya menatap lekat ke arah Thalia. "Semua orang pasti punya ungkapan rasanya masing-masing terkait orang tua yang mereka punya."

Thalia terdiam.

Ucapan Atha memang ada benarnya. Jika saja Atha berkata, bahwa memiliki seorang Ayah itu tidak menyenangkan, maka berbeda dengan Thalia yang akan terasa menyenangkan. Ataupun sebaliknya.

Thalia menatap ke arah Atha, "sorry, Kak," ujarnya pelan. Ia merasa tak enak hati kepada Atha. Entah karena apa, padahal ia hanya ingin tahu rasanya seorang anak yang memiliki ayah. Berbeda dengan dirinya.

Ia tidak memiliki Ayah.

"Nggak masalah," jawabnya diiringi senyuman. "Cuma, gue saranin. Lo nggak usah mikirin hal, yang seharusnya nggak perlu lo pikirin. Lo cuma perlu fokus ke satu hal, yaitu kebahagiaan Bunda lo."

Thalia tersenyum ke arah Atha.

Ternyata, Atha memang tidak seburuk yang ia kira pada awalnya.

Terima kasih, Atha... Seenggaknya lo bikin gue tenang, untuk kali ini.

***

Sebenernya BAB ini lanjutan dari BAB sebelumnya. Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini :)

Makin ngaret update ya? Mohon maaf ya...

To be continue...

Comblang! Where stories live. Discover now