Perhatian || Levi Ackerman

3.3K 253 8
                                    

Levi X Reader

.
.
.

Musim gugur yang dingin akan menjadi sangat dingin lagi jika sudah berganti musim. Musim dingin, dimana akan ada salju-salju bertaburan di daerahku. Putih, dingin dan kecil. Itulah kenapa banyak orang menyukainya. Aku salah satunya. Tapi aku lebih mencintai sesuatu yang mirip dengan salju ini. Dingin, perhatian dan ketus. Itulah Levi Ackerman, suami sahku.

Kami menikah sebulan yang lalu. Levi sangat menyayangiku. Meskipun kata-katanya cukup kasar, arti yang sebenarnya sangat mendalam. Ketika ia sedang bekerja di kantornya, ia sering kali menelponku untuk menanyakan keadaanku. Ia takut aku telat makan karena aku punya riwayat sakit maag akut.

Levi adalah seorang CEO terkenal. Cabangnya ada dimana-mana. Rumah sakit dan apotik. Kadang Levi suka lembur kerja di kantornya, kadang juga ia bisa pulang lebih cepat dari dugaanku.

Saat ini aku sedang duduk di kamar tidurku sambil menunggu Levi, aku meminum secangkir coklat panas. Aku memperhatikan butiran salju yang turun tanpa hentinya. Udara hari ini bertambah dingin seiring salju-salju itu turun. Kendaraan yang semakin sedikit dan orang yang berlalu-lalang sudah memakai pakaian hangat mereka.

Aku jadi teringat kisah tentang salju pertama turun pada pengalamanku. Seperti judulnya, hari ini--hari dimana salju pertama turun. Ketika itu, aku sedang bekerja sebagai pengantar makanan di sebuah cafe ternama. Awalnya, semuanya terlihat baik-baik saja dan juga nomal. Sampai aku di kejutkan dengan sebuah pesanan aneh.

"(y/n), tolong antarkan kopi dingin itu untuk meja nomor 5." Kopi dingin di cuaca yang seperti itu. Tentu saja aku sangat kaget. "Em, Christa, kopi.. dingin?" Christa mengangguk. "Ada apa memangnya?"

"Bukankah cuaca sekarang sangat dingin?"

"Tapi orang itu mengatakan kopi dingin kok. Coba kamu antar dulu saja. Kalau salah kamu ganti kopinya jadi hangat." Aku mengambil kopi dingin itu dan mengantarkannya ke meja nomor lima. Hanya ada satu orang yang sedang menunggu disana. Seorang laki-laki berkulit putih—pucat dengan tatapan yang sangat dalam.

Pria itu hanya memakai kemeja untuk atasannya. Aku semakin bingung dengan pakaiannya. Tapi aku mencoba tidak mempedulikan hal itu dan tetap mengantarkan kopi dingin itu padanya. Setelah aku meletakkan kopi itu, pria itu dengan sopannya berterimakasih padaku. Aku membalasnya dengan senyuman hangat.

Sepertinya orang ini sedang ada pikiran. Lebih baik aku kembali ke kasir saja

Lalu akupun melanjutkan pekerjaanku kembali seolah tidak ada apa-apa yang terjadi. Dari pagi sampai malam aku berkerja. Tak terasa langit ini sudah kembali menjadi gelap. Cafe inipun tutup dan aku berserta pekerja lainnya pulang ke rumah masing-masing.

Sebenarnya jarak rumahku dengan cafe ini sangat-sangat-sangat benar-benar jauh. Jalan kaki tiga puluh menit lalu naik kereta tiga puluh menit lalu jalan kaki lagi dua puluh menit. Dan parahnya aku tidak mendengarkan siaran berita pagi ini yang menyebutkan salju mulai turun.

Aku memeluk diriku dengan erat sembari berjalan. Lampu-lampu jalanan menerangiku. Mengusir rasa takutku yang menggebu-gebu akan kegelapan itu. Aku berjalan dan akhirnya sampai di stasiun kereta. Tempatnya kosong tapi kereta apinya masih beroperasi.

Selama di kereta api, aku terus-terusan memikirkan laki-laki itu.

Kenapa laki-laki itu hanya memakai kemeja saja? Kenapa ia memesan kopi dingin? Kenapa ia tidak memakai pakaian hangat? Apa dia tahan dingin? Ohh—apa dia itu vampir? Iya! Kulitnya pucat sekali. Pucat pasi! Sepertinya ia tidak mempunyai darah. Hii, itu menyeramkan.

Ting!

Pintu kereta api ini terbuka. Tidak terasa sudah sampai. Ini pasti gara-gara aku terlalu memikirkan laki-laki tadi. Aku buru-buru keluar dari kereta api ini lalu berjalan dengan tenang kembali sambil memeluk diriku erat. Banyak tumpukan salju yang bertebaran dimana-mana. Salju yang turun sudah sangat banyak.

Anime X ReaderWhere stories live. Discover now