59. 又一次没绷住-Tidak Diam Lagi

1.1K 111 7
                                    

Setelah kelas berakhir, Bai Luoyin langsung bergegas, tidak lagi seperti biasa yang selalu menunggu Gu Hai, dia berjalan menuruni tangga tanpa menoleh ke belakang.

Sementara seperti biasa Gu Hai naik seoedanya, berjalan perlahan.

Seorang bibi sedang menyapu jalan melihat Bai Luoyin lalu berhenti dan tersenyum.

"Saya masih ingat, bukankah kamu selalu mengendarai sepeda ke sekolah. Tapi hari ini kenapa kamu berjalan?".

Bai Luoyin tersenyum, "Karena sepeda sedang rusak, ini kesempatan buatku untuk latihan olahraga".

Selain memiliki ingatan yang Bagus, bibi ini juga memiliki penglihatan yang tajam. Saat Bai Luoyin menyelesaikan kalimatnya, bibi menunjuk ke belakang Bai Luoyin lalu berkata, "Apa yang rusak? Bukankah pria itu menaikinya?".

Bai Luoyin tidak melihat ke belakang, cedera pada wajah membuatnya kaku.

"Kau salah, itu bukan sepedanya".

"Mustahil". Bibi itu tertawa lebar, "Kalaupun benar sepedanya rusak, tapi bukankah pemuda itu selalu bersamamu? Saya sangat yakin, setiap hari saya selalu melihatnya selalu bersamamu ke sekolah".

Akhirnya Bai Luoyin melirik melihat Gu Hai.

Gu Hai sengaja tidak berpaling, dia membuang muka.

"Eh, kenapa dengan wajahmu?".

Ketika Bai Luoyin menengok, bibi itu melihat wajah Bai Luoyin yang terluka.

"Tidak apa-apa, Bibi, kau sedang bekerja, saya pergi dulu".

......

Setelah setengah jalan, Gu Hai melihat ada yang aneh dengan kaki kiri Bai Luoyin, semakin cepat dia berjalan maka semakin jelas terlihat. Apalagi ketika dia menyeberang jalan dengan terburu-buru, di tengah keramaian, tertatih-tatih.

Gu Hai bertarung dengan perasaannya, akhirnya merasa kalah.

Gu Hai segera mengayuh cepat sepedanya, ketika sampai di dekat Bai Luoyin, Gu Hai langsung meninggalkan sepedanya.

"Apa yang kau lakukan?". Bai Luoyin memutar alisnya.

Tanpa berkata apa-apa, Gu Hai langsung membungkuk dan mengangkat celana kiri Bai Luoyin.

Sebuah memar besar merah keunguan, darah membeku, menutupi daging di dalamnya.

Gu Hai segera berdiri dan mengangkat sepedanya. "Cepat naik!".

Bai Luoyin tidak menghiraukannya, dia terus berjalan dengan dingin.

Sekali lagi Gu Hai menarik Bai Luoyin, karena dia menggunakan terlalu banyak kekuatan, membuat Bai Luoyin hampir terjatuh.

 "Kenapa sih?". Bai Luoyin marah.

"Aku menyuruhmu naik sepeda!". Gu Hai berteriak.

Mereka saling mempertahankan ambisinya, tidak ada yang berbicara. Selang beberapa detik, akhirnya Bai Luoyin berubah, dia naik ke sepeda.

Sepanjang jalan tidak ada kata yang dilontarkan, sampai akhirnya tiba di ambang pintu rumah, segera Bai Luoyin masuk, Gu Hai dicampakan.

Setelah Bai Luoyin turun dari sepeda dia mengira bahwa Gu Hai akan mengikutinya masuk. Harapan Bai Luoyin sia-sia, Gu Hai benar-benar pergi.

......

"Pa, saya pulang".

Ketika Bai Hanqi melihat anaknya, dia terkejut, mangkuk di tangannya hampir saja jatuh.

"Anakku, ada apa dengan wajahmu?".

Bai Luoyin menjawab samar. Lalu dia masuk ke kamar, Bai Hanqi mengikuti dari belakang.

Setelah sesi interogasi selesai, Bai Hanqi akhirnya keluar dengan terburu-buru, mengingat dia sedang merebus sayuran.

Bai Luoyin yang menyendiri di kamar, dia merenung, memikirkan Gu Hai. Apa dia sudah gila? Tidak ada ucapan satu kalimat pun? Apa dia begitu marah? Kalau tidak mau masuk ya terserah, dia kan punya banyak uang, tidak akan mati kelaparan!.

"Yinzi, ayo makan". Bai Hanqi berteriak dari luar.

"Saya belum lapar. Makanlah duluan!".

Bai Hanqi menghampirinya, "Bagaimana bisa tidak lapar? Kemana Gu Hai? Dia tidak pulang bersamamu?".

"Dia sudah mati!".

"Mati?". Bai Hanqi bingung, "Kenapa bisa mati?".

"Sudahlah Pa, jangan terus memikirkannya, cepat makan...". Bai Luoyin mendorong ayahnya keluar.

Sementara dia sedang memainkan komputernya, tiba-tiba terdengar suara yang tak asing dari luar.

"Paman, hari ini makan apa?. Kenapa tidak menungguku?".

"Kata Yinzi kamu sudah mati".

Gu Hai, ".....".

Bai Luoyin terpaksa keluar dari kamarnya, seperti ada percikan api dalam setiap langkahnya.

"Siapa yang menyuruhmu datang? Bukankah kamu sudah tidak mau berurusan denganku lagi?".

Gu Hai menampakkan senyum sinisnya, "Jangan terlalu berkhayal,  saya kesini bukan untuk menemuimu, saya kemari hanya ingin menemui Paman dan Nenekku. Nenek, bukankah begitu?".

 "Betul... Betul...".

Nenek Bai sudah tidak tahu lagi siapa cucunya.

Bai Luoyin kembali ke kamarnya, di sudut mulutnya yang terluka, ada senyuman yang tidak bisa disembunyikan.

Diam-diam Gu Hai mengikutinya lalu melemparkan sekantong obat ke tempat tidurnya. Bai Luoyin tersadar kenapa tadi Gu Hai pergi.

"Aku sudah membeli obat di klinik, kenapa kamu membelikanku lagi?".

"Kamu mendapatkan obat itu kan dari orang lain, kalau ini sengaja saya beli khusus untukmu, apa itu bisa disebut sama?".

Sambil berbicara, tangan Gu Hai aktif membuka tas milik Bai Luoyin, tanpa menunggu perintah, Gu Hai segera mengambil obat-obatan yang ada di dalamnya dan membuang semuanya ke tempat sampah.

KECANDUANWhere stories live. Discover now