32. TIM!

96K 11.9K 1.2K
                                    


32. TIM!

___

Malam ini berakhir biasa-biasa saja. Mars mengantarku pulang ke apartemen Mama. Kemudian dia hanya mengucapkan perpisahan, lalu beranjak pergi.

Malam ini aku melihat Mars berbeda. Semenjak cerita panjang kami di rumah Eyang, aku melihatnya agak berbeda. Perubahan yang tidak besar. Hanya saja, dia lebih banyak terdiam dan merenung. Seperti ada sesuatu hal yang sedang dia pikirkan. Sesuatu hal yang mungkin berat, tapi Mars tidak cerita. Dia lebih memilih untuk mendengarkan cerita-ceritaku, apa pun tentangku, seperti ucapannya saat mengajakku ke loteng rumah Eyang.

Sementara dia, aku tidak tahu apa-apa lagi. Aku juga ingin tahu segala hal tentangnya. Aku hanya tahu adiknya yang imut, Eyang, kemudian mamanya. Selebihnya aku tidak tahu. Aku sudah menceritakan semuanya sementara di sisi lain, aku berharap dia juga membuka kehidupannya lebih dari apa yang aku tahu.

Itu hanya harapanku untuk mengenalnya lebih jauh. Seperti dia yang ingin mengenalku lebih jauh.

Sudah lewat pukul 1 dini hari dan aku belum bisa tidur. Aku keluar menuju balkon. Memandangi bangunan pencakar langit yang menghalangi sedikit pandanganku dari langit malam. Aku belum pulang ke rumah Papa. Sejak dua hari yang lalu Mama bilang bahwa Papa terus menanyakan kabarku. Aku belum mau pulang. Di sini juga rumahku, bersama Mama. Andaikan waktu berputar beberapa tahun ke belakang, andaikan bisa, aku ingin menikmati waktu-waktu yang kulewatkan lebih banyak di kamar untuk berkumpul dengan Mama dan Papa yang saat itu masih baik-baik saja.

Aku menghela napas panjang. Apa begini perasaan Mama dulu kepada Papa saat awal-awal mereka bertemu?

Aku takut. Hanya itu yang aku rasakan sekarang saat aku makin yakin bahwa aku menyukai Mars. Di perjalanan pulang tadi, aku memerhatikannya. Terkadang senyumku terbit saat melihat tatapannya yang fokus ke jalanan. Tatapan yang selalu membuatku tak berani menatapnya lama.

Kemudian sebelum aku turun dari mobilnya, dia memanggil namaku. Saat kutanya kenapa, dia hanya memandangku dalam diam meskipun aku sempat melihat bibirnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu. Kemudian dia menggeleng dan keluar membukakan pintu untukku.

Aku yakin dia ingin mengatakan sesuatu, tapi entahlah.

Tak ada yang aku lakukan lagi selain mengambil ponsel dan mengecek semua pesan-pesan masuk. Tak ada hal yang penting selain percakapan-percakapan tak bertopik pada grup kelas dan ekskul. Aku menuju balkon, memotret apa yang ada di bawah sana. Kepalaku sedikit pening dengan ketinggian ini dan aku segera menegakkan tubuh. Aku mengirimnya di cerita WhatsApp. Memang kurang kerjaan. Tapi aku suka fotonya, gelap dan ada sedikit sinar cahaya lampu.

Aku duduk di kursi saat sebuah pesan masuk dari Dirgam muncul.

Dirgam

Belum tidur?

Seperti yang lo lihat hehe. Lo kenapa belum tidur, Gam?

Baru bangun, sih. Lo?

Belum bisa tidur

Eh! Gue keinget sama lomba!

Oh iya, dari kemarin kemarin mau gue bahas bareng lo. Tapi kita gak sempet ketemunya.

Gimana? Gimana? Lo udah nemu satu orang??

Em.. belum, sih. Lo ada saran?

Temanya sains dan komputer, kan?Adaa yaampun pas banget. Dia anak olimpiade astronomi. Namanya Mars. Setuju nggak? kalau lo setuju, besok gue kenalin. Eh, lo pernah ketemu sih. Mungkin sekali. Tapi kayaknya lo belum kenalan kan sama dia?

Geigi [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Where stories live. Discover now