04. Familiar

166K 16K 1.8K
                                    

____

Jeep merah Papa berhenti tak jauh dari gerbang SMA Nusa Cendekia. Beberapa murid berlarian masuk melewati gerbang, sebagian lagi tergesa-gesa, dan sebagiannya lagi melangkah dengan santai. Aku sama untuk opsi terakhir. Untuk kali ini, di hari ini.

Sebelum aku benar-benar turun dari jeep, aku menatap Papa selama beberapa detik. Tak ada yang bisa keluar dari bibirku selain ucapan salam lalu mencium punggung tangannya. Padahal, banyak yang ingin aku katakan. Sangat banyak yang berputar di kepalaku, tapi aku tidak bisa mengungkapkan semuanya bahkan mengungkapkannya hanya dengan satu perihal pun.

Aku memandangi suasana SMA Nusa Cendekia di menit demi menit sebelum bel. Ramai. Untuk waktu mendekati bel masuk, sepertinya bukan hanya Nuski yang seperti ini, tapi sekolah lain juga pasti sama. Aku bingung apa yang ada di pikiran siswa-siswi lain mengenai keterlambatan. Mereka sudah tahu akan terlambat, tapi tidak buru-buru juga ke sekolah.

"GEIGI SAYANGKU! CINTAKU!"

Aku nyaris menghentikan langkah setelah mendengar suara cempreng Rumi dari arah belakangku.

"HAH? TUMBEN LO BARU DATANG! ASTAGA GEIGI! NGGAK NYANGKA GUE YA AMPUN."

Leherku terjerat oleh rangkulan tangannya yang bergerak dengan agresif. "Biasanya lo kalau datang tuh pagi banget. Motor anak-anak di parkiran belum ada dan lo udah nangkring di balkon lantai dua sambil ngelamunin sang pangeran berkuda putih yang terbang dari kayangan buat ngejemput lo."

"Ngaco."

"Tumben. Dan heran," katanya lagi.

"Iya, lambat bangun," balasku jujur.

Semalam aku tiba di rumah hampir pukul 12 malam. Lalu aku lanjut mengecek ponselku kembali dan termenung menatap sebuah nomor baru yang entah kenapa aku simpan begitu saja di kontakku, menemani nomor-nomor lain yang tak seberapa. Hanya ada nomor Mama, Papa, Rumi, beberapa keluargaku. Teman-temanku yang lain selain Rumi tidak ada. Semua tersimpan di dalam media sosial yang memerlukan internet. Aku tidak akan membicarakan tentang Dirgam kepada Rumi karena pasti Rumi akan memberikan pertanyaan yang bercabang dan hanya akan membuatku pusing.

Dirgam. Aku baru mengenalnya kemarin. Cowok pendiam—aku tidak tahu dia itu pendiam atau cuek atau dua-duanya—yang membuatku memikirkannya setibanya aku di kamar. Maksudku, permintaannya yang ingin aku menyimpan nomor ponselnya itu membuatku bingung. Pertanyaanku tidak dia jawab dan dia mengalihkan pertanyaan yang aku tujukan kepadanya. Berakhir dengan ucapan selamat malam yang ... menurutku itu aneh.

Aku dan Rumi melangkah ke koridor bagian Barat untuk bisa langsung ke tangga yang dekat dengan IPA 4.

Di tangga, aku melepaskan tangan Rumi yang menggandengku karena tali sepatuku terlepas sementara Rumi sudah menaiki tangga-tangga selanjutnya. Setelah selesai, aku melangkah lagi dengan melangkah di tiap dua anak tangga berikutnya. Sebelum aku menginjak tangga teratas, langkahku refleks berhenti setelah tanpa sengaja tatapan mataku bertemu pandang dengan tatapan mata Dirgam.

Aku tidak tahu apa yang dilakukannya di sini. Namun, aku bisa menebak dia sedang berbincang dengan anggota olimpiade Komputer lainnya yang salah satunya aku tahu adalah siswa IPS 1 yang memang kelas itu berada di dekat tangga.

Entah kenapa, semuanya terasa canggung.

Saat aku ingin memberi senyum tanda pertemanan dan berharap dia membalasnya, dia justru tidak membalas senyumanku. Cowok itu langsung menatap temannya kembali dan berbincang seolah-olah dia tidak pernah melihatku di beberapa detik yang lalu.

Setelah menunggu beberapa saat kemudian sambil menatap Dirgam, Dirgam tak pernah menoleh ke arahku lagi.

Lalu, kulihat Rumi kembali ke arahku dengan mulut maju.

Geigi [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang