02. Angan

182K 16.4K 633
                                    

___

Hanya ada aku dan Papa di meja makan. Selalu seperti ini. Sepi. Jika Papa berbicara, pasti hanya seputar sekolahku karena memang tidak ada hal lain lagi yang bisa kami bicarakan.

"Gimana olimpiade kamu?" tanya Papa di tengah acara makan malam kami. "Kapan jadwalnya?" 

"Beberapa hari lagi," balasku singkat. 

"Udah sering latihan soal, kan?"

Aku mengangguk. Entah kenapa. Setiap melihat Papa mengingatkanku dengan masa-masa dan pertengkaran singkat di antara Papa dan Mama dulu. Tak bisa aku lupakan. Rasanya sulit bicara dengan leluasa, ceria, atau sifat-sifatku dulu yang entah kenapa berubah ke arah yang aku justru benci.

Aku jadi orang yang selalu meremehkan hubungan pacaran remaja lain, menganggap mereka hanya benalu dan orang-orang lebay yang datang ke sekolah bukan untuk belajar dan malah memilih pacaran. Aku benci dengan pemikiran itu di diriku. Kenapa pemikiran itu muncul begitu saja tanpa aku inginkan? Setidaknya, harusnya aku bisa menghargai atau setidaknya aku bisa menganggap semua itu urusan mereka, bukan urusanku. Namun, kenyataannya sulit. Pikiranku selalu mengatakan, mereka belum merasakan apa itu pernikahan.

"Tadi Mama kamu nelepon, nanyain kenapa kamu nggak jawab telepon dari dia."

Aku memang baru melihat panggilan masuk yang tidak aku jawab karena ketiduran tadi sore.

"Mama kamu bilang, dia menuju daerah pedalaman untuk proyek kerjanya. Sinyal nggak bakalan ada makanya dia titip ke Papa tadi katanya beberapa hari ini nggak bisa ngobrol sama kamu," kata Papa lagi.

Aku mengunyah pelan makananku. "Tadi Mama bilang apa lagi?" tanyaku, tanpa sedikit pun menatap Papa.

"Mama cuma bilang jaga kesehatan. Tadi juga nanyain, kamu kapan lomba olimpiade. Papa cuma ngira-ngira mungkin bulan ini."

Aku mendongak ingin memandangi Papa dengan leluasa. "Mama sama Papa ngobrol berapa lama?"

Mungkin, Papa heran dengan pertanyaanku itu sehingga Papa langsung mengangkat alisnya. Tapi pada akhirnya, Papa menjawab. "Hampir setengah jam, Gi."

Aku menunduk menahan tangis. Andaikan Mama dan Papa mau menikah lagi.

Sayangnya, di sini aku hanya sebagai anak. Tidak bisa melakukan apa-apa. Pilihan ada pada mereka. Aku hanya bisa berharap dan sepertinya harapanku itu tak akan mungkin bisa terwujud.

Tak ingin Papa melihatku menangis, aku segera berdiri meski makananku masih ada setengah. Aku sengaja menunduk untuk menutupi air mataku yang perlahan turun ke pipi.

Selalu saja seperti ini jika aku membayangkan tentang mereka.

"Makananmu belum habis."

"Aku udah kenyang," balasku. Terkesan dingin. Aku juga tidak tahu harus membalas seperti apa. Sesak di dadaku selama ini yang membuatku berkata terlalu tak sopan.

Aku ke kamar dengan tergesa-gesa. Menutup pintu kemudian duduk di kursi belajar sambil menumpukan kepala di atas meja. Tangisanku pelan, tapi rasanya sakit entah kenapa.

Beberapa tahun yang lalu, sebelum Papa dan Mama bercerai, aku selalu memaksa Mama untuk menceritakan bagaimana masa lalunya dengan Papa. Bagaimana mereka bertemu hingga akhirnya aku ada. Mama selalu membanggakan Papa. Laki-laki dengan segala mimpi untuk menjadi seorang insinyur. Mengidolakan B.J Habibie sebagai panutan dalam pendidikan. Kuliah di Jerman dari S1 sampai S3 mengambil Fisika murni dan teknik Mesin. Sempat bekerja di Jerman selama beberapa tahun hingga Papa memutuskan untuk menetap di Indonesia karena Mama bekerja di Indonesia. Melihat pendidikan Papa, itu yang membuatku berambisi untuk bisa lebih tinggi daripada Papa. Nyatanya, aku tidak sejenius Papa. Otakku pas-pasan yang kupaksa untuk jenius. Aku memang suka dengan angka-angka, tapi aku sadar bahwa aku hanya sebatas suka, otakku lamban untuk mencerna. Aku tak seperti pandangan teman-teman kelasku yang mengatakan bahwa aku pintar. Setidkanya, itu yang aku rasakan.

Mama dan Papa bertemu pertama kali di Jepang. Sama-sama orang Indonesia. Papa sedang meneliti di sana sementara Mama sedang kuliah S1. Saat itu mereka melihat Geisha, seniman tradisional Jepang dan katanya Mama suka melihat seniman itu. Hingga akhirnya, Papa langsung berpikir tentang nama Geigi atau Geisha dan suatu saat akan dijadikannya nama untuk anaknya nanti.

Ya, Geisha Ghania Izora. Geigi. Itu aku.

Pada akhirnya, mereka berpisah. Semua itu membuatku berpikir cinta saja tak cukup untuk sebuah hubungan sakral. Mama dan Papa pisah padahal dari cerita Mama, aku sangat tahu mereka saling mencintai. Papa selingkuh, hal itu membuatku sampai sekarang belum bisa melupakan bayang-bayang tiga tahun lalu sampai akhirnya Mama memutuskan untuk bercerai.

Papa menyesal telah selingkuh dan sampai sekarang Papa tidak menikahi selingkuhannya dulu. Mungkin, mereka sudah tidak berhubungan lagi atau kemungkinan-kemungkinan lain yang aku tidak tahu. Mama menikah lagi dengan orang lain setahun setelah bercerai dengan Papa, tapi setahun pernikahan Mama dan suaminya, suaminya meninggal karena kecelakaan.

Aku menghela napas. Merasa hidupku yang paling sengsara padahal masih banyak yang lebih buruk dari aku di luar sana.

Kuangkat kepalaku dengan pipi yang basah. Aku segera menghapus air mataku dengan tangan. Jendela kamar adalah objek yang aku pandangi lama.

Aku ingin keluar mencari udara segar atau menangis seperti biasanya di luar sana.

Tok Tok Tok

"Geigi...."

Itu Papa. Memanggilku sambil mengetuk-ngetuk pintu. Aku menyeka pipiku untuk menghilangkan semua bekas-bekas air mata.

"Sayang, kamu udah tidur?"

Aku cepat-cepat ke tempat tidur dan berbaring asal-asalan di sana saja karena gagang pintu sudah bergerak. Kupejamkan mataku dan berusaha bernapas senormal mungkin. Aku bisa merasakan suara langkah kaki Papa beserta suara-suara lain yang membuatku nyaris menahan napas.

"Kamu udah tidur?"

Papa bersuara lagi. Aku bisa merasakan selimut menutupi tubuhku sampai leher. Tangan Papa mengelus pipiku tanpa mengatakan apa-apa.

Rasanya aku ingin menangis lagi, tapi aku tahan. Pasti bekas air mata itu masih ada di sana dan Papa sadar aku sudah menangis.

"Mimpi indah, Gi," kata Papa dan setelah itu aku bisa merasakan Papa mencium puncak kepalaku dan cahaya terang yang masih terpantul di kelopak mataku yang tertutup sudah berubah menjadi remang-remang.

Setelah kurasakan pintu tertutup, aku pelan-pelan membuka mata. Lampu kamarku mati, hanya tersisa lampu tidur di meja kecil yang ada di samping tempat tidur.

Aku membuka selimut dan beranjak menuju pintu kamar. Pelan-pelan kugerakkan kunci hingga pintu itu terkunci. Aku mengambil sweter di dalam lemari kemudian membuka jendela dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara yang bisa mencuri perhatian Papa.

Aku hanya ingin pergi sebentar saja.

***

an:

Aku nggak begitu tahu tentang Jepang. Ini cuma hasil cari di internet dan kebetulan baru tahu ternyata Geigi itu sama aja Geisha di Jepang CMIIW ya makanya aku jadikan bahan dan alasan kenapa namanya bisa dipanggil Geigi

Padahal pas cari nama panjangnya supaya bisa disingkat Geigi, aku nggak tahu sama sekali Geisha, Geigi, Geiko. Kayak kebetulan gitu wkwk

Kalau aku pakai google translate dan dengar suara, Geigi yang tulisan Jepangnya = 芸妓 itu dibaca Gegi

Bagi yang lebih tahu bisa koreksi yaa,

- Sir

Geigi [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang