24. Harapan yang Pupus

91.2K 11.6K 2K
                                    

___

"Halo, Pa?"

Aku menatap Rumi sembari melambaikan tangan padanya yang masih duduk di halte menunggu jemputan. Jemputanku telah tiba dan aku segera masuk ke sana dengan ponsel yang masih kudekatkan ke telinga. Aku dan Papa berteleponan sebelum mobil yang Papa pesankan untukku akhirnya tiba di depan sekolah.

Mobil ini melewati halte. Aku menurunkan kaca jendela dan menatap Rumi yang menunduk. "Rumi!"

Dia hanya melambaikan tangan, lalu kembali menatap ke lain arah. Sejak beberapa hari yang lalu, Rumi terlihat tak bersemangat seperti biasanya. Maksudku, dia sedikit berbeda dari Rumi yang biasanya kukenal. Berkali-kali aku bertanya kepadanya apakah dia tidak enak badan atau ada sesuatu hal berat yang sedang dia pikirkan, dia selalu menjawab bahwa dia baik-baik saja.

"Jemputan udah sampai?" tanya Papa setelah diam cukup lama.

"Udah," balasku.

"Udah di mobil?"

"Iya, Pa."

"Oke, nanti hubungi Papa kalau kamu udah sampai, ya."

Biasanya, jika Papa sudah seperti ini berarti ada sesuatu hal yang penting.

"Papa mau ngomong sesuatu?" tanyaku.

"Kamu tahu aja," kata Papa. Aku tersenyum singkat dan berharap apa yang akan Papa sampaikan adalah sesuatu hal yang menyenangkan. Papa terdengar menghela napas. "Iya, Papa mau ngomongin hal penting sama kamu."

"Papa bilang aja sekarang."

"Nanti ya kalau kamu udah sampai rumah."

"Kenapa kalau sekarang?" tanyaku. Aku tersenyum lebar. "Ada hubungannya sama Mama?" tanyaku, antusias.

Tak ada suara. Papa diam di seberang. Aku masih berharap ini benar-benar ada hubungannya dengan Mama.

"Bukan tentang mamamu. Nanti Papa cerita."

Aku menghela napas panjang. "Papa bilang aja sekarang."

"Sebentar. Papa masih kerja. Sudah dulu, ya?"

Papa mengakhiri panggilan dengan sepihak. Kutatap ponselku nelangsa. Papa tidak akan mengatakan hal-hal yang kurang atau sama sekali tidak menyenangkan, kan?

***

Perasaan tidak enak menyerbuku ketika membuka pintu rumah. Perkataan Papa terus terngiang sejak Papa mengatakan bahwa akan mengatakan sesuatu hal yang penting.

Aku tidak tahu apakah Papa akan mengatakannya langsung atau hanya mengatakan informasi itu lewat telepon. Aku belum memberitahukan kepada Papa bahwa aku sudah tiba di rumah. Kukumpulkan ketenanganku dulu. Aku harus menyiapkan diri untuk segala kemungkinan yang ingin Papa katakan nanti.

Jika Papa sudah membahas sesuatu hal yang menurutnya penting, maka saat itu juga aku takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Papa pernah mengatakan hal yang sama, sepulang aku sekolah, di dalam mobil lain yang menjemputku pulang. Setelah Papa mengatakan hal penting itu, berhari-hari aku menangis di kamar. Tidak menerima keputusan Mama dan Papa yang ingin berpisah.

Aku masih berbaring di sofa. Tenggorokanku rasanya sakit. Aku menarik ponselku dari dalam tas dan menghubungi Papa segera.

Papa langsung menerima panggilan. "Halo, Gi? Udah sampai?"

"Iya, Pa," balasku. "Papa mau ngomong sekarang?"

"Iya."

"Kenapa nggak nanti aja kalau Papa udah pulang?"

Geigi [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang