• 35 •

66.4K 2.8K 23
                                    

"Berhati-hatilah dengan ucapanmu sendiri.
Kadang, sepenggal kalimat bisa jadi sangat berbahaya.
Akibatnya bisa sangat fatal jika tidak digunakan dengan baik."

- Raffa Putra Nandathama -

--------------------------------------------------------

'Bener, 'kan? Jangan-jangan lo anak haram?'

Perkataan Varo masih berputar-putar di kepalanya. Entah mengapa, efeknya lebih terasa sekarang, saat suasana sedang hening seperti ini. Raffa jadi gusar sendiri hanya karena mengingatnya. Anak itu mengusap pelipis dan dahinya dengan raut yang sulit didefinisikan.

Pandangannya lurus ke depan, kosong. Meski, berjuta pertanyaan tengah menyerang pikirannya sendiri. Pertanyaan yang saat ini bahkan jadi terasa lebih sulit ketimbang soal olimpiade matematika yang sering diikutinya.

"Ahs!" Raffa memukulkan tangannya yang terkepal kuat itu ke pagar besi yang ada di hadapannya, berusaha menyalurkan kekacauan yang tengah ia rasakan.

Pikirannya masih berkelana kemana-mana, diliputi kekhawatiran yang tak kunjung mereda, malah kian menjalar setiap kali pertanyaan baru itu muncul dalam benaknya.

...

...

Gimana kalau apa yang Varo bilang itu benar?

Gimana kalau ternyata gue beneran bukan anak kandung ayah?

Apa karena ini Kak Reynand benci sama gue?

Raffa mengejapkan matanya, terhenti memikirkan hal lain saat pertanyaan itu baru saja terlintas. Bola matanya membulat seketika, kali ini pertanyannya berada pada point yang dapat dijadikan kunci penting.

Kenapa ia baru menyadarinya? Reynand tak pernah menganggapnya sebagai seorang adik mungkin karena ia memang bukanlah adiknya.

Flashback Mode : On

BRAKK!!

"Aduh!"

Sepeda yang Raffa naiki tiba-tiba saja oleng dan terjatuh karena pengendaranya tak sengaja melindas kerikil besar di jalan. Mendengar bunyinya, jemari Reynand segera menarik rem untuk menghentikan sepedanya. Anak itu refleks menengok ke belakang, melihat Raffa sudah dalam posisi pelukan bersama sepeda barunya.

"Kakaak! Bantuin!" pinta Raffa, kesal karena Reynand tak melakukan apa-apa untuk menolongnya. Kakaknya itu bahkan tak turun dari sepeda.

Masih enggan membantu, Reynand hanya melihat Raffa dengan raut dinginnya. Ia malas membantu karena Raffa terlihat melebih-lebihkan ekpresi sakitnya. Reynand pikir, itu hanya akting untuk menarik perhatiannya.

"Kak!"

"Ish! Bantuiiin!"

"Ini sepedanya beraat!"

"Kakaaak!"

Raffa masih anteng dengan teriakan-teriakan yang ia tujukan pada kakaknya. Anak kelas dua SD itu tak peduli sudah membuat berisik jalan depan gerbang rumah orang. Toh, kawasan itu memang selalu terasa sepi.

ReynandhitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang