17

1.5K 103 0
                                    

Zie menunggu bus di halte. Mecca dan Shena sudah dulu pulang duluan karena ada jadwal les. Semua yang duduk di halte pun sudah mulai berkurang saat itu entah di jemput orangtuanya, pacarnya, ataupun ojek online. Dan lagi, sosok itu berada mengejutkannya.
 
"Sendiri aja, gak bosan ya sendiri terus?" tanya laki-laki yang duduk di sampingnya.
 
"Devin kamu gak pulang?" tanya gadis itu
 
"Ini baru pulang," sahutnya.
 
Kini ia menatap lurus ke depan. Tak seperti biasa yang menatap gadis itu terang-terangan.
 
"Zie,” ucapnya.
 
“Iya?” sahut gadis itu.
 
“Kamu masih ingat waktu kamu bilang tentang bulan dan matahari?" tanyanya dengan pandangan yang masih sama ke arah jalan.
 
"Masih," sahut gadis itu lagi.
 
"Apa yang kamu ucap waktu itu benar-benar kan?" tanya laki-laki itu lagi.
 
Zie menatap sosok di sampingnya heran. Devin masih setia menatap jalan.
 
"Setelah ditinggal bintang, bulan tidak kesepian kan karena ada matahari?" tanya Devin.
 
Zie mengangguk-angguk setengah mengerti ucapan dari Devin.
 
"Devin kok tiba-tiba jadi melankolis sih," lirih gadis itu.
 
"Zie, apapun yang terjadi jangan pernah tinggalin Aku ya. Terima kasih ya," ucapnya tersenyum menoleh pada gadis itu.
 
"Kenapa bilang begitu, Devin?" balas Zie yang  menjadi terbawa perasaan mendengar kata-kata itu.
 
"Matahari meski kadang tidak diinginkan akan tetap bersinar kan?" tanya Devin lagi.
 
"Matahari selalu membuat si penikmatnya bahagia," ucap Devin tersenyum kemudian mengangguk sendiri.
 
"Zie, kamu matahariku," ucap Devin mengusap rambut hitam milik Zieva.
 
"Itu ada bus, naik gih. Jangan pulang lama-lama," suruh Devin.
 
Gadis itu mengangguk dengan pertanyaan di otaknya yang masih belum terjawab.
 
"Apa maksud dari perkataan Devin," gumam gadis itu.
 
Kini, gadis itu berada di kamarnya. Ia tak berniat belajar dan membaca novel yang beluu selesai ia tamatkan. Ia mencoba mengingat-ingat ucapan Devin siang tadi. Gadis itu kebingungan melihat Devin mendadak menjadi melankolis seperti tadi.
 
Ia mengecek telepon berhadap ada pesan dari Devin. Nyatanya, tidak ada satu kabar sedikit pun dari laki-laki itu. Biasanya, Devin sangat hobi menganggunya atau sekadar menyapa lewat pesan singkat. Namun, hari ini terasa sangat berbeda.
 
"Padahal dia lagi online," lirihnya.
 
Gadis itu mematikan ponselnya karena tidak ada yang ingin ia lihat di layar ponselnya lagi. Ia menutup mata agar bisa tidur dan melupakan sejenak tentang perkataan Devin sore tadi.
 
"Kak kak," Rehan menggoyang-goyangkan tangan kakaknya hingga membuat Zie terbangun.
 
"Makan dulu," ucapnya.
 
"Gak usah deh. Masih kenyang," sahutnya kemudian menutup matanya lagi.
 
           Paginya, Zie berangkat ke sekolah. Matanya sedikit sayu karena semalaman ia tidak bisa tidur. Gadis itu bergegas ke sekolah karena jadwal berangkat biasanya sudah terlewat. Ia tidak sabar melihat dan menanyakan keadaan Devin. Hal itu adalah salah alasan baginya untuk pergi ke sekolah kali ini.
 
Sesampainya di kelas. Ia melihat dua sahabatnya yang tengah asik berbicara.
 
"Hai Zie," sapa Mecca.
 
"Hai," sahutnya.
 
Kedua sahabatnya tersenyum pada gadis itu kemudian dibalas oleh Zie yang duduk di sebelah Shena. Zie duduk diam di kursinya. Pikirannya sudah menyusun kata-kata untuk menanyakan banyak pertanyaan untuk Devin nanti. Ia tidak sabar untuk pergi ke kantin. Tentu saja di sana ada Devin dan Rasyid seperti biasa.
 
"Kantin yuk," ajak gadis itu pada Shena dan Mecca.
 
"Wih tumben banget seorang Zieva yang duluan ajak ke kantin," ucap Mecca.
 
Zie tersipu malu dan berjalan keluar kelas.
 
Mereka duduk dan memesan makanan. Matanya mencari-cari sosok Devin di setiap sudut kantin. Namun, tidak ada tanda-tanda kedatangannya di tempat itu.
 
“Zie?” ucap Mecca.
 
"Cari Devin ya?" tanyanya.
 
Zie diam sebentar. Kemudian mengangguk pelan.
 
"Ya udah, gue coba panggil Rasyid ke sini ya," usulnya yang selalu mengerti.
 
Tidak lama setelah Mecca memberi pesan, Rasyid datang. Namun tidak bersama Devin. Zie yang melihat itu mendadak sedih mengetahui Devin tidak ikut ke kantin bersama Rasyid.
 
"Devin mana?" tanya Mecca pada Rasyid.
 
"Dari tadi udah Gue ajak tapi gak mau. Gue juga bingung sama tu orang. Sejak pagi gue perhatiin wajahnya kayak banyak pikiran gitu. Kalian ada masalah ya?" Rasyid menoleh ke arah Zieva menyelidiki.
 
Gadis itu menggelengkan kepala pelan.
 
"Hm, mungkin aja Devin lagi ada masalah. Masalah sekolah atau keluarga," sahut Shena.
 
Shena ikut menimbrung percakapan itu. Ia tahu betul wajah sahabatnya yang tampak kebingungan dan sedih. Zie yang mendengar ucapan Shena membenarkan dan mengangguk. Namun, ada satu perkataan yang ia tidak bisa lupakan.
 
"Tapi apa dari maksud perkataan Devin kemarin ya?" gumamnya.
 
"Ada apa Zie?" tanya Shena memecahkan pikiran keheningannya.
 
"Ada kalimat dari Devin yang gak bisa aku mengerti, " sahutnya.
 
"Apa?" tanya mereka serempak.
 
"Jangan tinggalin dia, tetap bersinar, gitu,” ucap menoleh pada ketiganya.
 
"Ya udah, nanti Gue cari tahu Zie," ucap Rasyid.
          
"Makasi Syid," balasnya.
 
"Santai. Gue percaya sama tu anak. Lo itu berharga di mata Devin. Dia sayang banget sama Lo. Percaya deh. Sebagai cowok, tatapannya itu dalam banget kalau sama lo. Devin itu sama kayak Lo, Zie,” ujar Rasyid.
 
Gadis itu tersenyum mendengar ucapan Rasyid.
 
Zie diminta oleh Rasyid untuk menunggu di parkiran. Ide Rasyid cukup bagus karena Devin selalu membawa motor ke sekolah sehingga Zie bisa bertanya langsung padanya nanti. Usai pelajaran terakhir, Ia bergegas pergi ke parkiran. Bahkan lebih cepat dari yang pemilik motor itu.
 
Zieva menunggu Devin di sana. Ide Rasyid berhasil. Devin menampakkan wajahnya. Gadis itu menatap Devin bahagia.
 
"Devin," panggilnya.
 
Ia hanya menoleh pada gadis itu sesaat tanpa membalas sapaan darinya. Zie menyamakan langkahnya di samping Devin.
 
“Devin, kamu kenapa?” tanya Zie berharap Devin memberi tahu.
 
“Devin, hari ini aku mau ke toko buku. Kamu mau kan ke toko buku bareng?” tanyanya meski tak ada balasan dari laki-laki itu.
 
“Ya sudah tidak apa. Aku gak papa kok pergi sendiri aja ke toko buku. Tapi kasih tahu dulu kamu kenapa? Kamu sakit ya?” tanya gadis itu lagi namun masih belum ada balasan dari Devin. Ia hanya memasang helm miliknya.
 
“Apin,” lirih gadis itu.
 
Devin lalu pergi bersama motornya tanpa sepatah kata pun. Jelas dari raut wajahnya, ia sedang memikirkan sesuatu. Sebuah kenyataan pahit datang kembali. Sosok yang sudah semakin lama ia kenal, untuk pertama kalinya mengabaikan gadis itu. Devin yang tak pernah membuatnya sedih, selalu tersenyum lembut, selalu banyak topik bicara padanya, namun sekarang, membalas saja tidak.
 
“Apa yang ada dipikiran Devin kali ini? Apa Devin punya masalah yang membuatnya terpukul?”
 
“Lalu mengapa dia tidak bercerita padaku,”
 
"Mengapa sikap Devin berubah-ubah seperti ini?" lirihnya lagi.
 
           Gadis itu berjalan ke arah toko buku dekat sekolahnya. Ia terus memikirkan sikap Devin yang berubah padanya. Kini, pikiran buruk datang lagi pada dirinya.
 
"Apa Aku hanya sebuah matahari untuknya sebagai pengganti saja? Apa Devin bertemu bintang barunya?" ucapnya.
 
"Mengapa saat Aku mulai bahagia, Devin berubah secepat ini?"
 
"Apa Aku tak pantas untuk bahagia?"
 
"Untuk apa menimbun luka jika untuk menambah luka yang semakin dalam?”
 
"Atau takdir emang berjalan seperti ini? Aku tak layak untuk bahagia?"
 
"Apa Devin mengatakan semua hal baik tentangku hanya untuk belas kasihan?”
 
Tak terasa gadis itu sampai di toko buku tadi. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menjadi lupa alasannya pergi ke toko buku hari itu.
 
           Zieva menelusuri rak-rak buku satu per satu. Tatapannya kosong. Dia ingin berlama-lama di sana. Menenangkan pikiran tanpa ada seorang pun tahu ia sedang bersedih. Ia melihat sekelilingnya, sepintas dia melihat bayangan Devin melihatnya di kejauhan.  Gadis itu tak kuasa menahan tangis. Ia tidak berniat membeli buku dan berlari keluar dari tempat itu.
 
           Gadis itu kembali ke halte bus sekolah, menunggu bus untuk pulang. Kini, tempat itu sepi. Hanya sedikit orang di sana. Gadis itu bebas menyendiri, menangis, dan berbicara dengan pikirannya sendiri lagi. Hingga akhirnya, sebuah mobil putih berhenti di depannya. Seseorang di dalam mobil itu menurunkan kaca. Ia memberikan tatapan pada Zie yang sedang bersedih di halte itu. Ternyata sosok itu adalah Rasyel.
 
                                            ***
Zie menghabiskan waktunya di kamar. Ia memikirkan sifat Devin padanya yang berubah dan juga kemunculan Rasyel yang tidak ia duga.
 
"Apa menjauhnya Devin ada sangkut pautnya dengan Rasyel?" ucapnya.
 
"Tapi mengapa bisa?" Gadis itu bertanya-tanya dalam hati.
 
Ia menutup mata mencoba menghilangkan pertanyaan-pertanyaan dari pikirannya, namun cara itu tidak mempan menghilangan kerisauan hatinya. Kini, ia tidur di rumah, ia memutuskan tidak sekolah karena badannya kurang enak.
 
Mama mengetuk pintu kemudian masuk.
 
"Zie, minum obat dulu nak," ucap Mama membawa obat.
 
Gadis itu mengambil obat dari tangan mamanya dan meminumnya.
 
"Apa Mama perlu hubungi dokter Nadira?" tanya Mama.
 
"Gak usah Ma. Zie lagi lelah aja. Nanti juga bakalan sembuh," sahutnya lagi.
 
"Ya sudah, Istirahat ya Nak. Jangan banyak pikiran dulu." kata Mama.
 
"Iya Ma," balasnya.
 
Selang beberapa saat, Mama memanggilnya lagi.
 
"Zie, teman kamu mau jenguk nih," sorak Mama padanya.
 
Ternyata teman yang dimaksud Mamanya adalah kedua sahabatnya, Mecca dan Shena. Kedua sahabatnya itu bersorak dan menerobos masuk kamarnya.
 
"Zieeee," sorak Mecca.
 
"Gue kangen lo," ucap Mecca lagi.
 
"Baru sehari kok," sahutnya lagi.
 
"Emang mau nambah?" Mecca menatapnya tajam.
 
"Kalau lulus nanti gimana?" tanya Zie menatap sahabatnya itu.
 
"Ya tinggal main ke sini lagi dong," sahut Shena membela Mecca.
 
"Sehari tanpa lo kayak ada kurang-kurangnya gitu," ucap Mecca melirik sekeliling kamarku.
 
"Buku Lo udah nambah banyak ya Zie," ucap Mecca yang sudah lama tidak berkunjung ke kamarnya.
 
"Iya dong," sahutnya.
 
"Ca lihat nih. Lukisan hujannya kayak asli ya," tunjuk Shena pada dinding kamar milik Zieva.
 
"Iya, kamarnya kalem-kalem gitu. Kayak orangnya," ucap Mecca.
 
Gadis itu tertawa mendengar ocehan mereka. Ternyata yang dibutuhkannya saat ini adalah hiburan dan ocehan dari sahabatnya yang tidak pernah kehabisan topik. Kedua sahabatnya berhasil mengubah kesedihannya menjadi tawa.
 
"Makasih ya udah mau jenguk aku," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
 
"Aduh, pakai makasi segala ih," ucap Shena memeluknya diikuti oleh Mecca.
 
"Kami sayang Lo Zie, jangan sakit lagi," ucap Mecca.
 
"Besok aku sekolah kok, tenang aja," sahutnya.
 
Kedua sahabatnya sudah pulang karena senja muncul menyuruhnya pulang. Gadis itu kembali merasa kesepian di kamarnya. Sesekali ia menghidupkan instrumen hujan dari pernak-pernik yang ia beli saat di jogja. Namun bukannya bahagia, ia malah menangis mendengar rintikan itu. Dia menganggap hujan segalanya. Hujan mengerti suasana yang tepat bagi si penikmatnya. Gadis itu menutup mata mendengar instrumen yang ia bunyikan sendiri. Ia melihat bayangan Devin di benaknya. Dari pertama dia bertemu, surat dari Devin saat itu, saat laki-laki itu tertawa lepas, dan juga saat-saat bahagia naik bianglala. Namun segalanya berubah semenjak hari itu. Hari di mana Devin mengabaikannya, meninggalkan dirinya sendirian tanpa adanya alasan.
 
Suara ketukan pintu kembali terdengar. Kenangan-kenangan manis itu buyar seketika. Ketukan pintu itu berasal dari adik satu-satunya. Adiknya melangkah masuk ke kamarnya membawa roti dan segelas susu untuknya.
 
"Kak, kak," ucapnya menyodorkan makanan yang dibawanya.
 
"Gak usah repot-repot Han, kakak baik kok," ucapnya.
 
"Kakak Rehan itu cuma satu Kak, jangan bikin Rehan kepikiran deh. Nih makan," sahut adiknya lagi.
 
"Jangan sakit lagi, Rehan bosan gak ada yang bisa diganggu," celetuknya.
 
"Adik nakal," ucap gadis itu mencubit pipi Rehan dan mulai memakan roti yang diberi adiknya.
 
"Kak besok temenin Rehan ke toko buku ya?" ajak Rehan.
 
Gadis itu teringat beberapa hari yang lalu, ia belum jadi membeli buku incarannya. Gadis itu pun langsung meng-iyakan ajakan itu.
 
"Tumben mau ke toko buku," sahutnya.
 
"Ada yang mau Rehan cari di sana. Tapi sebelum ke toko buku, temenin Rehan main basket dulu ya. Udah lama gak main basket," ucapnya.
 
"Banyak permintaan ya," balas kakaknya mendumel.
 
Usai obrolan manis bersama tadi, adiknya pergi dari kamar dengan alasan ada janji dengan temannya di kafe. Rehan sangat berbeda dengan kakaknya, ia sangat suka bergaul dan bertemu dengan orang banyak. Tak heran juga, banyak orang yang mengagumi dirinya seperti Devin. Gadis itu kemudian berubah menjadi sendu lagi.
 
“Ternyata aku salah, membayangkan seseorang sebagai pelindung dan sayap yang sempurna setelah papa,” ucapnya sendu dan tersenyum tipis.
 
“Aku bahkan akan senang jika kamu memberi tahu alasan menghilang, Vin. Namun nyatanya, kamu bungkam. Sikap itu...” Gadis itu terhenti.
 
“Lebih baik berkata jujur daripada diam tak ada kabar seperti ini, Devin. Sikap itu bahkan lebih menyakitkan, aku serba salah,”
 
“Aku benci tapi aku sadar aku bukanlah siapa-siapa. Aku merindu pun, untuk apa?” ucap gadis itu pada dirinya. Tak terasa bantal di kamar itupun terkena air mata yang sedari tadi jatuh dalam diamnya.
 
“Aku memang ingin perlakuan manis, tapi untuk apa semua itu datang jika pada akhirnya terasa begitu menyakitkan,” ucapnya.
 
Kini, gadis itu tersenyum dengan ucapan-ucapan yang sedari tadi keluar dari mulutnya. Ia tersenyum namun hatinya menangis.
 
“Maaf Devin. Hatiku memang tidak tahu malu. Bodohnya aku berharap lebih,”
 
“Meski aku tahu, banyak perempuan lain yang berusaha mendekati,”
 
“Kini, akan kututup rapat-rapat pintu hati. Toh, dirimu sudah pergi jauh, tak tahu akan kembali atau tidak,”
 
 
           Gadis itu merasakan sesak yang begitu dalam.  Dia merasa bersalah karena dengan mudahnya membawa perasaannya pada sosok Devin yang belum lama ia kenal. Sosok yang bahkan menjadi incaran banyak orang. Ia merasa dirinya tak pantas untuk seseorang yang sesempurna Devin untuknya.
 
 
Gadis itu terpaksa berangkat ke sekolah karena tidak mau ketinggalan terlalu jauh dengan semangat yang tidak seperti biasanya. Langkahnya lamban pagi itu. Dulu, sebelum Devin berubah dia adalah alasan bagi Zie untuk semangat lagi ke sekolah itu. Namun sekarang, semuanya telah berubah.
                               
"Ayo Kak," ucap Papa.
 
Zieva mengikuti langkah Papa dan masuk ke dalam mobil. Di mobil pun, ia hanya diam berpikir dengan pikiran mereka sendiri. Usai sampai di depan sekolah, gadis itu berpamitan pada Papa dan masuk ke sekolah itu lagi. Di perjalanan ia tidak sengaja menangkap sosok laki-laki yang selama ini memenuhi pikirannya.
 
Zie berusaha menahan sesak datang pada dadanya, ia berlarian ke arah kelas untuk menghindari laki-laki itu seolah tidak pernah kenal sebelumnya. Namun, ia tidak bisa. Gadis itu kembali menoleh pada sosok laki-laki itu.
 
Devin menatap Zie yang sedang berlarian dengan begitu dalam. Mulutnya seperti ingin berkata pada gadis itu namun ia tahan.
 
Zie yang tidak tahan, berlari ke belakang menuju Devin yang masih membeku di sana.
 
"Kenapa Kamu menjauh?" tanya Zie.
 
Devin masih diam menatap Zieva yang dulu ia bilang first girl nya.
 
"Devin jawab," ucap gadis itu sekali lagi.
 
"Dulu kamu kan yang bilang, jangan pernah tinggalin Aku untuk kedua kalinya. Tapi sekarang, Kamu yang jauhi aku, kamu yang tinggalin Aku duluan," kata gadis itu terbawa perasaan.
 
Devin masih diam, terus menatapnya.
 
"Devin, Aku bukan mataharimu," ucap gadis itu kemudian berlari menjauhi Devin.
 
Sebelum berlati, ia mendengar Devin berkata namun samar. Gadis itu berharap laki-laki itu mengejarnya, namun tidak. Tidak ada lagi genggaman hangat dari tangan lembut milik Devin yang menenangkan. Bulir air mata yang jatuh dari mata manis gadis itu terus saja berjatuhan walau tidak ia inginkan. Gadis itu duduk di bawah pohon sekolahnya, menghapus air matanya, membiarkan emosinya reda, hingga akhirnya masuk ke kelas seperti biasanya.
 
"Zie," sorak Mecca.
 
"Gue seneng lo sekolah," ucap Mecca.
 
"Lo habis nangis?" tanya Shena pada gadis itu.
 
           Sehebat apapun ia menutupi, jika bersama sahabat yang sudah bertahun-tahun bersamanya pasti saja ketahuan.
 
"Kamu kepikiran Devin ya?" tanya Mecca.
 
"Udah jangan terlalu di pikirin. Aku percaya kok, sama dengan Rasyid. Pasti ada alasannya Devin menjauh. Nanti juga, Devin bakalan nemuin Lo," ucap Mecca dengan percayanya.
 
Bahkan sahabatnya lebih mempercayai Devin dibanding dirinya.
 
"Kamu gak tahu Ca, Devin benar-benar berubah," ucap gadis itu menyangkal.
 
"Tapi kamu belum tahu masalahnya kan? Jangan negative thinking dulu Zie," sahut Mecca kemudian percakapan itu terhenti.
 
Setelah mendengar bel pulang, gadis itu langsung keluar kelas. Ia menuju halte agar segera dapat bus untuk pulang. Hari ini, ia tak berniat untuk menemui Devin, baginya semuanya sudah cukup jelas. Devin benar-benar berubah.
 
Ketika menunggu di halte itu dengan perasaan sendu, datang sosok yang sudah lama tidak ia lihat. Sosok itu adalah Rian. Laki-laki yang ikut lomba dengannya saat itu.
 
“Hai,” sapanya.
 
Gadis itu hanya menoleh padanya sesaat kemudian diam, ia tak berniat membalas.
 
“Apa kabar? Gue udah lama gak lihat lo di sekolah,” ucapnya tersenyum.
 
Zie masih tak berniat membalas. Ia kesal Rian datang saat dirinya masih sendu.
 
“Lo lagi ada masalah ya?” tanya Rian padanya.
 
“Enggak, duluan ya,” sahut Zie padanya kemudian beranjak ketika melihat bus berhenti di halte itu.
 
Selepas pulang, Rehan memaksa kakaknya untuk memenuhi janjinya ke toko buku. Zie mengangguk dan bersiap-siap pergi dengan adiknya yang sudah menunggu di teras rumah bersama motor kesayangannya. Sebelum ke toko buku, adiknya merayu untuk menemaninya bermain basket sebentar. Rehan membelikan es krim pada kakaknya sebagai ucapan terima kasih.
 
Gadis itu menghabisi es krim coklat yang di beli Rehan. Meski dilarang Mama untuk memakannya, ia tetap saja tidak tahan dengan es krim jika melihatnya. Tak cukup waktu lama, es krim itu habis. Gadis itu pun meminta Rehan berhenti main basket.
 
"Rehan, udahan main basketnya," soraknya.
 
Rehan menghentikan shooting yang ingin ia lakukan. Dan pergi menghampiri kakaknya.
 
"Ayo deh," ucapnya.
 
Mereka sampai di toko buku. Gadis itu berpisah dengan Rehan karena adiknya ingin mencari buku pelajaran sedangkan dirinya lebih memilih mencari novel terbaru.
 
Zie mengelilingi susunan novel-novel di toko buku. Rasanya, ingin sekali dirinya memborong semuanya.Ia suka semua kisah dalam cerita novel. Ada yang berakhir manis dan kadang berakhir pahit hingga membuatnya menangis. Cerita dalam novel membuat si penikmatnya hanyut dalam kisahnya. Entah dirinya yang terlalu terbawa perasaan, atau si pengarang yang terlalu hebat merangkai kata.
 
Usai  selesai menimbang-nimbang buku yang ingin dibeli, mereka pun bergegas membayar. Kakak dan adik itu duduk di luar toko buku itu. Ada tempat duduk di sana berwarna putih dengan tanaman hijau sebagai hiasan yang dibuat untuk tempat membaca.
 
           “Kak, makan yuk, ke sana,” ucap Rehan menunjuk ke salah satu kafe dekat toko buku itu.
 
           Gadis itu meng-iyakan ajakan tersebut. Mereka menikmati hidangan dan musik di kafe itu dengan senang. Saat menikmati hidangan itu, Zie melirik di kejauhan ada sosok yang membuatnya terkejut tak percaya. Ia melirik ke arah itu untuk memastikan, ternyata benar. Mereka adalah Devin dan Rasyel.
          
           “Devin, Rasyel,” lirihnya tak percaya dengan apa yang ia lihat.
 
           Rehan yang mendengar itu, langsung menoleh ke arah mereka. Rehan berniat menghampirinya namun langsung dicegah oleh kakaknya. Zie memperhatikan mereka dari kejauhan. Rasyel tampak menangis terisak-isak dihadapan Devin. Zie melirik ke arah Devin yang menatap Rasyel dengan dalam. Zie tidak sanggup berlama-lama di tempat itu dan pergi mengajak Rehan pulang. Meninggalkan semua pertanyaan yang semakin menumpuk di benaknya.
 
           “Ada apa sebenarnya?” ucap gadis itu dengan mata berkaca-kaca.
 
           Di perjalanan, Rehan berusaha menenangkan hati kakaknya. Ia mengatakan hal yang sama dengan ketiga sahabatnya di sekolah. Rehan masih mempercayai Devin. Memang, Ia marah melihat kejadian tadi, namun Rehan berpikir semua itu pasti ada alasan.
 
           Gadis itu hanya mendengarkan ucapan Rehan yang berada di depannya. Ia tak ingin ucapan-ucapan itu masuk ke dalam telinganya.
 
           “Tidak ada alasan, semua sudah cukup membuktikan,”
 
           “Rasyel berhasil mendapatkan yang dia mau,”
 
           “Setidaknya, Rasyel bahagia dengan kemauannya,”
 
Gadis itu membiarkan semua kalimat-kalimat yang ingin ia utarakan di perjalanan saat itu. Ia tak lagi mendengar ucapan adiknya, semuanya penuh dengan pikiran yang menyakitkan hati.

Satu Hari Bahagia [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now