Percakapan Eric dan Imam

11.7K 199 3
                                    

“Assalammu’alaikum Syeikh,” ketuk Eric di kantor imam mesjid kami.
“Oh, wa’alaikumsalam wa rahmatullah yaa brother Eric!” dengan senyum lebar imam muda yang kami panggil brother Namir mempersilahkan Eric masuk.
“To what do I owe this pleasure?” lanjut brother Namir sambil tak lepas tersenyum. Mendatangi kelas-kelas brother Namir adalah obat untuk hati. Ia selalu begitu lembut mendatangi kami. Bersama dengan brother-brother dan sister-sister yang dituakan di kota kami, mereka tak lelah belajar dan mengajar, tumbuh bersama kami.

“Brother Namir, menurut anda, pantaskah saya menikah?”
Brother Namir tersenyum dan menjawab, “Alhamdulillah kalau sudah ada niatan kesana. Mau saya bantu carikan?”
“Sudah ada seseorang yang saya pikirkan, brother” jawab Eric pelan.
“Hmm...siapa?”
“Mungkin brother belum kenal dengan dia, namanya Tia.”
Brother Namir terlihat terkejut untuk sesaat. “Oh! Tia? Hmm...single mother yang orang Indonesia itu?”
Eric menunduk dan mukanya berkulit gelap terlihat berona,”Iya, brother.”
“Hmm, Eric...kenapa dia? Kamu yang seorang convert, suci tanpa dosa ketika kamu memutuskan untuk mengucapkan syahadat, sungguh, saya yakin banyak yang lebih baik untuk kamu.”
“Maksud brother?”
“Hmm...dalam masalah selain pernikahan, Eric, kita wajib untuk saling menutupi kesalahan orang lain. Tetapi mengenai pernikahan, kita justru diwajibkan untuk menceritakan keburukan yang mungkin dapat mempengaruhi pernikahan itu sendiri. Tia mempunyai anak, tapi ia belum pernah menikah, kamu tahu itu?”
“Iya, saya tahu itu, brother Namir.”
“Kamu tahu itu? Dan kamu masih hendak menikahinya?” brother Namir terlihat terkejut.
“Brother Namir, saya kenal Tia sudah lama. Jauh sebelum saya mengenal Islam. Brother Namir, dibanding oleh Tia, sungguh kesalahan-kesalahan saya dulu saya rasa jauh lebih dalam.”
“Brother Eric, tetapi engkau kemudian mengenal Islam, dan mengubah cara hidup kamu. Sister Tia sudah mengenal Islam ketika ia melakukan kesalahan-kesalahan besar itu di kehidupannya.”
“Brother Namir, hanya karena orangtua Tia seorang muslim, apakah berarti Tia mengenal Tuhan dan mengenal Islam? Dia mungkin tahu bahwa yang ia lakukan adalah salah, tapi saya dulu sebagai seorang Kristen, juga tahu bahwa yang saya lakukan bukanlah sesuatu yang dicintai olehNYA. Bukankah itu inti bertobat yang engkau ajarkan di kelasmu, brother Namir? Dengan rasa bersalah kita bersungguh-sungguh mengubah kesalahan kita dengan kebaikan-kebaikan. Bukankah inti tobat hanya Tuhan yang tahu?”
Brother Namir mengangguk mendengarkan.
“Brother Namir, sister Tia tak pernah menceritakan ini pada saya, tapi pada satu dini hari saya kebetulan datang ke mesjid untuk sholat subuh lebih pagi dari yang lain. Waktu itu dia sedang hamil tua dan masuk ke dalam mesjid mendahului saya. Tak lama saya dengar suara vacuum di bagian perempuan. Saya sengaja tak segera pulang setelah sholat subuh selesai, dan setelah semua pergi, saya dengar lagi suara air di kamar mandi dan wudhu bagian perempuan dan laki-laki. Tak lama ia masuk memergoki saya di bagian sholat laki-laki. Ia kira sudah tak ada lagi orang disana. Saya pun berpamit keluar segera, melihat ia bersiap memvacuum ruangan sholat itu. Keesokan paginya saya datang di waktu yang sama, dan saya melihat ia melakukan seperti itu lagi. Ketika saya tanya untuk apa, dia menjawab ‘bila saja pekerjaan membersihkan mesjid ini mampu membersihkan hati saya, Eric...bila saja itu benar-benar terjadi...’ Begitu yang ia lakukan sehingga bayinya lahir, brother Namir. Dan begitu juga yang ia lakukan setelah ia diperbolehkan lagi aktif setelah bayinya lahir.”
“Brother Eric, pikirkan lagi yang engkau hendak lakukan. Pulanglah, sholat istikharah, nanti kita bicarakan lagi hal ini.”

Eric pun keluar. Saat itu dia ada kelas sore, tetapi ia bukan berjalan ke gedung kelasnya, ia berjalan ke gedung tempat Tia bekerja. Micah Ellington, bayi yang sudah berumur enam bulan itu sering ia titipkan di tempat istri Brother Namir ketika ia harus bekerja dan Jay tak bisa menjaganya.

“Assalammu’alaikum, Tia” senyum Eric masuk ke kantor Dr.Webb.
“Wa’alaikumsalam wa rahmatullah, Eric” jawab Tia sambil tersenyum lebar. “Ada apa, Eric? Tumben kesini?”
Semenjak Eric masuk Islam, ia memang menghindari ngobrol hanya berdua dengan Tia. Dan semenjak Tia mulai belajar Islam lagi sembilan bulan yang lalu ketika diajak Runi, kemudian memakai hijab tiga bulan yang lalu, ia pun tak lagi mencari Eric hanya untuk ngobrol seperti dulu.

“Tia, aku ngeganggu gak?”
“Nggak sih kalau cuma sebentar aja. Banyak kerjaan yang aku harus kejar karena aku tinggal 3 bulan.”
“Tia, kamu sampai kapan tinggal di West Lafayette?”
“Hmm...sampai Jay selesai dengan masternya, Eric. Setelah itu aku yang menerusikan sekolahku balik ke CS lagi, insya Allah.”
“Dan Jay?”
“Rencananya sih dia mau ngedaftar ke program PhD di CS juga.”
“Kalian mau ngikutin satu sama lain terus-terusan, Tia?”
“Kamu ngapain nanya-nanya, Eric? Ini kan masalah personal, bukan?”
“Dulu kayaknya kamu cerita-cerita aja masalah personal kamu.”
“Well, iya juga sih...tapi kayaknya gak perlu lagi cerita ini ke kamu,” jawabku dengan senyum.
“Tia, tapi kayaknya aku perlu tahu rencana kamu kalau aku ingin menikahi kamu.”
“Nikah? Ama aku?” Aku memberhentikan ketikan di keyboardku.
“Well, itu cuma kalau kamu mau nerima aku.”
“Eric? Kan banyak sisters lain yang bisa kamu dekati?”
“Kamu apa nggak tau dari dulu aku suka ama kamu?”
“Eric, aku ibu beranak satu. Ditambah lagi dengan perjanjian sama Jay yang aku usahain sekuat tenaga untuk aku penuhi.”
“Janji sama Jay?”
“Iya, aku janji sama dia kalau kita gak bakal tinggal jauh dari satu sama lain agar kita bisa tetap membesarkan Micah bareng-bareng, walau kita gak nikah. Micah seharusnya gak harus memilih antara aku dan Jay, Eric. Dan Jay ingin sekali ada di kehidupan anaknya, agar Micah gak kayak dia yang gak mengenal ayahnya sendiri. Aku tahu kehidupan kami gak akan mengenal kata “normal” untuk berpuluh tahun ke depan, tapi seperti kata Runi, seharusnya satu kesalahan besar gak menjadi pembenaran untuk melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya.”
“Oke kalau gitu. Aku janji kita akan selalu berusaha, dan terus berusaha untuk memenuhi janji itu.”
“Eric?”
“Aku tahu kamu perlu waktu untuk mikirin ini semua, Tia. Kalau kamu perlu ngomongin juga sama Jay, silahkan. Formula kehidupan kamu emang rumit, dan aku tahu bahwa aku nambah-nambahin variabel satu lagi. Tapi kata Brother Namir, nikah itu ibadah. Kalau ibadah, bukankah emang udah seharusnya gak mudah?”
Aku tersenyum menjawab Eric. “Eric, kasih aku waktu, ya? Kayak kamu bilang, kehidupan aku rumit, banyak yang harus aku pikirin.”

What If?Where stories live. Discover now