Ribet!

5.1K 160 7
                                    

“Assalammu’alaikum!” teriakku sambil masuk ke dalam rumah. Aku tak mengharapkan ada yang membalas salamku. Hanya kebiasaan dari kecil yang selalu diajarkan orang tuaku. Jay tahu cara membalasnya, tapi kutebak ia masih ada di kampus dengan percobaannya. Namun tiba-tiba terdengar suaranya dari kamarnya, “Wa’alaikumsalam, dear Tia.” Dan dengan senyum kepalanya muncul dibalik pintu.

“Aku kira kamu udah di rumah dari tadi?” katanya.

“Iya, tapi aku harus mampir beli ini, gak sempat terus,” kujunjung belanjaanku ke arahnya.

“Apaan itu?”

“Baju, celana, ama pakaian dalam buat orang hamil. Sempit semuaaaa,” jawabku dengan tampang “exasperated.”

“Hahahaha!” tawanya sambil memelukku.

“Hmm, mungkin karena udah lama aku gak meluk kamu, tapi hmmm...this is nice...” katanya mempererat pelukannya ke tubuhku.

“Jay! You’re such a perv!!” dorongku melepaskan pelukannya.

“Enak aja. Kalo pervert itu kayak begini ke setiap orang, aku kan gak kayak gini ke setiap orang? Hmm, lagian kenapa sih Tia kamu sekarang selalu dingin sama aku?”

“It’s complicated, Jay...” aku melangkah hendak menaruh kumpulan pakaian baruku ke ember pakaian kotor.

“Aku gak nanya tentang ML ama aku. Aku ngerti itu gak ada lagi menu kita. Tapi kenapa kamu gak mau aku peluk, atau aku sentuh sama sekali?”

Kutatap langsung ke matanya Jay, “Karena hati aku lelah, tau gak Jay? Aku gak cukup punya tenaga untuk tetap ngejaga perasaan aku ke kamu. Aku terlalu lelah untuk melakukan lebih dari bertahan hidup aja.”

“Fine, then! Terserah kamu,” jawabnya dingin. Ini Jay yang aku tahu. Jay yang dingin, yang selalu mengubur perasaannya, dan selalu membuatku menebak perasaannya.

“Anyway, bentar lagi kita harus nelepon orang tuaku. Aku mau mandi dulu, panas banget diluar.”

“Oke, sana gih mandi” jawab Jay masih dengan nada tidak peduli. Senyum ramahnya yang ada ketika aku sampai rumah tadi telah hilang sama sekali.

“Assalammu’alaikum, ma, pa” sapaku gemetar di telepon. Tanganku dingin dan berkeringat. Jay duduk di lantai memeluk lututnya di hadapanku. Tangannya kemudian meraih tanganku yang sedari tadi sibuk kugosok-gosok ke celanaku.

Tak ada suara di sambungan teleponku. Aku tahu mereka ada, mendengarkan suaraku berikutnya.

“Ma, pa, Tia hamil.”

Masih tak ada suara.

“Tia sekarang udah lima bulan, anak kami laki-laki.”

Masih diam.

“Jay ingin menikah dengan Tia, tapi Tia gak mau. Kita sekarang tinggal di West Lafayette, dia dapat assistantship untuk master ME di Purdue.” Dan dengan kalimat ini aku bercerita tentang aku yang berhenti sekolah sementara, tentang Jay yang membantu persiapanku melahirkan, tentang pekerjaan sementaraku, dan segala hal yang belum aku ceritakan ke orang tuaku.

“Mama gak mau denger lagi, Tia. Udah cukup, sampe sini aja. Mama gak punya anak bernama Tia. Mama gak ngegedein anak yang malu-maluin keluarga sendiri. Urus aja masalah kamu sendiri mulai sekarang. Gak usah lagi kabarin mama ama papa.”

Dan kini yang terdengar hanya suara “tuuuutttt....” yang berkepanjangan.

Aku sudah berlatih beratus kali untuk mendengar kalimat itu dari ibuku, tapi setelah kututup teleponku dengan lemas, keluar juga air mata dari mataku.

“Are you okay, Tia?” tegur Jay pelan. Ia tak tahu satu kata pun yang kuucapkan di telepon. Tapi dari ekspresi mukaku, ia cukup mengerti.

Kuangkat mukaku menatapnya, dan kali ini aku tak menolak ketika ia memelukku dan memberikan bahunya untuk tempatku menumpahkan perasaanku.

What If?Where stories live. Discover now