Pusiiinggg 2

5.9K 145 0
                                    

Sepenuh siang dan sore itu aku bekerja di tempat Dr. Webb tanpa henti. Aku yang biasanya mulai sering merasa lapar dan selalu menyempatkan untuk memakan snack kecil yang kusiapkan dari rumah, tak mempunyai nafsu makan sama sekali. Jauh ketika Dr. Webb sudah pulang, aku masih berkutat dengan proof-reading paper-paper murid-murid Dr. Webb. Aku mulai beranjak pulang ketika perutku terasa amat mual, mungkin karena terlalu lama kosong dan bayi di dalam perutku telah lama meminta makan. Kupaksakan kayuh sepedaku lebih cepat dari biasanya untuk pulang.

Sesampai di apartemen kami, telah tercium bau enaknya masakan. Entah apa lagi yang dimasak Jay, tapi aku harus berlari langsung ke kamar mandi karena aku benar-benar ingin muntah.

Di depan pintu kamar mandi yang tak sempat kututup, Jay berdiri melihatku terduduk muntah-muntah di toilet. Perlahan ia masuk, memijati leher dan pundakku dan bertanya pelan, “Kemana aja kamu seharian? Kok gak mampir ke lab? Masih marah ama aku?”
Kemudian ia ke dapur dan memberiku minum. Aku masih terduduk lemas di lantai kamar mandi. Tanpa banyak kata ia mendukungku ke sofa tua kami, dan ia siapkan sepiring makanan untukku.

“Makasih,” kataku pelan dan mulai melahap piring berisi oatmeal dan madu yang disiapkan Jay.
“Jangan kecepetan makannya, Tia, nanti muntah lagi.”
“Iya.”
“Masih marah?”
“Nggak. Kamu kan tahu aku kalau marah gak lama.”
Jay tersenyum dan satu per satu menaruh rambutku yang menutupi mukaku ke belakang telinga.
“Masih inget pertama kali kita ketemu, Tia?”
Aku mendongak menatapnya dan tersenyum, “Kenapa tiba-tiba nanya itu?”
“Kamu tau kenapa aku suka ama kamu?”
“Tentu aja karena kamu gak bisa dapet yang lebih bagus dari aku,” olokku sambil tertawa terbahak-bahak hingga tersedak.
“Ya ampun, pelan-pelan dong!” serunya sambil menepuk-nepuk halus punggungku.
“Lagian, sejak kapan kamu jadi nanya “corny stuff” kayak gitu?” balasku.
“Hmm, semenjak aku gak tau gimana harus ngeyakinin kamu biar kamu mau nikah ama aku.”
“Udahlah Jay, gak usah omongin itu sekarang ini,” balasku dengan senyum tipis.
“Well, I’ll tell you anyway. Aku bakal cerita kenapa aku suka ama kamu.”
“Oke, cerita deh.”
“Aku pertama kali ngeliat kamu di lab ME. Kamu lagi sibuk ngomongin pe-er kayaknya sama teman kamu.”
“Loh bukannya pertama kali kita ketemu tuh di perpustakaan?”
“Nggak, itu pertama kali kita bicara dan kenalan, tapi bukan itu pertama kalinya aku lihat kamu. Kita skip aja ampe yang kita ketemu di perpustakaan ya?”
“Oke”
“Kamu senyum ke arah aku duluan.”
“Iya, muka kamu familiar banget jadi aku kira aku udah pernah kenal ama kamu sebelumnya.”
“Tapi kamu gak jalan ke arah aku, aku tungguin tapi kamu malah ngobrol ama gak tau berapa orang lagi yang kamu kenal.”
“Ya abis gimana dong? Masa orang-orang yang aku kenal gak aku tegur?”
“Kayaknya kamu bisa jadi ibu RT, semua kamu kenal.”
“Yee...”
“Aku belum sampai di alasan kenapa aku mulai suka ama kamu, Tia.”
“Ya makanya jangan panjang-panjang kalau cerita...” gelakku.
“Aku suka karena setelah kita ngobrol di perpustakaan itu, kamu cerita macem-macem tentang hal-hal yang aku sama sekali gak tau. Aku bahkan gak pernah kenal sama orang-orang yang tau hal-hal yang kamu ceritain. Kamu cerita tentang Romeo-Julietnya orang Hindu: Rama dan Shinta.”
“Oh iya, aku emailin ke kamu ya, Jay?”
“Iya...kamu ngartiin buku atau kamu hafal ceritanya sih, Tia?”
“I wish aku bawa bukunya...kayaknya buku-bukunya itu udah ilang deh. Aku belinya waktu  masih SD.”
“Jadi kamu emailin berhari-hari itu luar kepala?”
“Ya iyalah, kan aku udah cerita kalau cerita itu salah satu dari cerita yang aku paling suka.”
Jay tersenyum dan mencium kening kepalaku. “Itu yang ngebuat aku suka ama kamu, kamu gak pernah berusaha jadi pura-pura gak tau kayak kebanyakan cewek biar cowok gak ngerasa keintimidasi. Kayaknya kamu lebih sering sok taunya daripada pura-pura gak taunya. Hahahaha! Dan aku suka karena kamu suka ngedongeng. Dan betapa udah lamanya kamu gak pernah lagi bercerita, Tia. Cerita tentang berbagai macam hal yang menarik buat kamu, yang membuat mata kamu berbinar-binar. Kayaknya semenjak berita yang mengubah jalan hidup kamu dan aku, mata kamu seperti bintang yang udah mati.”
Aku gak berkata apa-apa, hanya menghabiskan piring oatmeal di pangkuanku.

“Makasih untuk udah masakin aku, Jay,” kataku mengalihkan topik pembicaraan.
“Perut kamu udah mulai ada,” senyum Jay sambil pelan menaruh tangannya di atas bundaran kecil perutku.
“Kinda ugly, don’t you think?” rengutku.
“Ugly? Siapa bilang? Menurut aku lucu banget, sexy malah.”
“Ih! Dasar pervert!” gelakku sambil memindahkan tangan Jay.
“Udah ngedaftar ke kelas kamu untuk semester ini belum?”
“Udah, aku ngambil kelas di college kecil aja, aku udah periksa bisa ditransfer ke Universitas kita di Texas,” jawabku dari dapur.
“Ngambil kelas apa?”
“Kelas Dynamics. Aku gak gitu bagus di kelas model ini, Jay. Bantuin ya?”
“Iya. Emang yang menarik buat kamu di ME kelas-kelas model apaan?”
“Yang banyak thermonya.”
“Oh...hmm, mungkin nanti pas senior-senior kamu perlu ngambil banyak kelas heat transfer sama fluid untuk kelas-kelas alternative pilihan.”
“Ah, masih jauh banget...nanti aja aku pikirin,” di tengah suara air mencuci piring kujawab.

“Jay, Jum’at sore ini kamu sibuk gak?”
“Aku ada percobaan yang aku jalanin dari Kamis malam sampai Jum’at dini hari, tapi kalau sore kayaknya gak ada apa-apa.”
“Kok harus dini hari?”
“Kebagian mesinnya baru waktu itu. Ada apaan Jum’at sore emangnya?”
“Aku mau nelepon orang tua aku. It’s time, isn’t it? Kayaknya aku perlu moral support.”
“Oh. Iya, pasti aku temenin. Jam berapa?”
“Jam 5 sore di rumah ya?”
“Oke.”

Jadwalku kini gak sesibuk sebelumnya. Setidak-tidaknya aku gak harus lagi bekerja jauh ke tengah malam di gas station. Minggu depan kelasku sudah mulai, dan walaupun aku merasa khawatir, aku merasa tak sabar juga untuk memulainya. Ada kemungkinan aku gak bisa menyelesaikan hingga final akhir untuk melahirkan, tapi setelah berbicara dengan professorku, ia bersedia memberikan final essay yang bisa kukerjakan dari rumah. Aku hanya berharap Jay mau membantuku, karena sungguh, dynamics dan multi-degree of freedom models lebih sering memberiku sakit kepala daripada perasaan exhilirated karena mengerti dari tidak mengerti.

“Excuse me, is Dr.Webb in?” tanya seorang perempuan muda cantik yang mendekati mejaku. Dia berkulit putih, dan ada yg terlihat familiar dari mukanya. Senyumnya ramah, ia berjilbab, dan kurasa ia sama-sama orang Indonesia sepertiku. Berarti ia orang Indonesia pertama yang kutemui di kota ini. Terus terang aku tak pernah mencari orang Indonesia lain semenjak kusampai di West Lafayette, tapi melihat wajah rupawan perempuan ini, ada perasaan lega di hatiku.
“Yes, he’s in. Can I help you with anything?” tanyaku.
“Orang Indonesia bukan?” tanyanya kemudian.
“Iya, orang Indo juga ya? Aku mau nebak gitu, tapi takut salah” jawabku dengan senyum lebar.
“Iya, namanya siapa? Kayaknya belum pernah ketemu.”
“Namaku Tia, nama kamu siapa? Aku belum terlalu lama disini, baru pindah dari CS.”
“Namaku Runi. Ini aku ada titipan paket dari Dr.Twain, boleh tolong disampaikan sekarang gak? Kata Dr. Twain, Dr. Webb udah nungguin.”
“Oh. Tentu aja. Bentar ya, aku panggil Dr. Webbnya.”
“Makasih Tia.”
Menjawab dengan senyum kuberanjak berjalan ke ruangan Dr. Webb yang tepat di belakangku. Aku harus menarik celanaku yang sempat kedodoran karena kancing atasnya gak bisa tertutup lagi. “Ugh, harus ingat untuk beli celana atau rok baru, karena sekarang gak ada lagi celana atau rok yang bisa aku kancing!” pikirku.

Setelah Runi dan Dr.Webb bertemu dan berbicara sejenak entah tentang apa, Runi mendatangi mejaku kembali.
“Hari Sabtu depan ini ada welcoming party untuk anak-anak Indonesia baru, mau datang?” katanya ramah.
“Oh, hmm...gak tau bisa apa nggak, aku kerja di beberapa tempat dan hanya ngambil satu kelas di community college. Makasih ya udah ngasih tau,” tolakku halus.
“Oke kalau gitu. Ini nomor telepon rumahku ya, dan aku kerja buat Dr. Twain, jadi kamu bisa kan cari nomor telepon kantor Dr. Twain di registry? Oh iya, ini alamat emailku. Boleh minta email kamu gak?”
Entah kenapa, aku merasa langsung tertarik dengan sosok Runi ini. Maka kuberikan alamat emailku. Mungkin karena aku pun rindu punya sahabat perempuan. Crystal sudah begitu jauh, dengan segala kesibukanku dan kesibukannya, sulit sekali untuk kami berkomunikasi.

What If?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang