Minggu ke 36 kehamilan...

8.7K 188 3
                                    

“Wow, bundar banget aku sekarang ya, Jay?” tanyaku sambil menemaninya makan siang seperti biasa.

Jay tersenyum, “Hmm, you look nice still.”

“Cape banget naik tangga kesini, nanti turunnya kamu gelindingin aja ya? Kayaknya gampangan begitu daripada disuruh jalan,” jawabku dengan nafas yang pendek.

“Hahahahaha! Kenapa sih kamu hobinya ngejekin diri sendiri?”

“Daripada diejekin orang lain, kan mendingan aku duluan yang ngomong? Jadi kalau aku denger ada yang bilang aku gendut, aku udah siap mental,” jawabku cuek sambil mengelus perut bundarku.

“Orang bodoh mana yang pernah mikir orang hamil itu mestinya tetap kurus dan berperut rata, Tia? Aku cuma senang akhirnya berat badan kamu bisa normal juga. Aku udah takut kalau bayi kita nanti lahirnya dibawah rata-rata.”

“Tenang Jay, Runi lebih cerewet lagi daripada kamu kalau tau aku sampai skip waktu makan. Lagian dia lebih jago masak dari kamu, jadi aku cepat naik semenjak temenan ama dia,” kataku dengan senyum lebar.

Sudah dua minggu kutinggal dengan Runi. Ia teman yang amat menyenangkan, dan gak pernah menghakimi sama sekali. Lewat obrolan kita sampai ke tengah malam, ia tahu keadaanku semua. Dan tanpa memaksa, tanpa tatapan mata jijik, ia mendengarkan dengan setia. Ia pula yang menawarkan tempat tinggal di rumahnya, setelah kalimatku yang mengatakan bahwa aku ingin kembali...betapa aku ingin kembali bisa benar-benar bersujud ketika sholat. Runi lebih muda daripadaku sebanyak dua tahun, tapi ada waktu-waktu dimana ia terasa jauh lebih tua dariku. Aku ingat perkataannya di tengah nelangsaku: “Mbak Tia, jangan jadikan satu kesalahan besar menjadi pembenaran untuk melakukan kesalahan demi kesalahan berikutnya.”

Di satu waktu subuh ku bangun di saat yang sama dengan Runi. Ia terlihat bermukenah putih bersiap keluar dari kamar yang kami bagi. “Mau ke mesjid, Run?” tanyaku mengantuk. Biasanya memang begitu, Runi sholat di mesjid, dan aku sholat di rumah. Runi menjawab dengan mengangguk. “Aku ikut, Run” tiba-tiba saja rasa rindu itu menarikku lebih keras. Kami berdua melangkah ke mesjid bersama. Angin dingin musim gugur mulai terasa mengelilingi kami. Tapi rasa hatiku hangat, sehangat genggaman tangan Runi yang tanpa kata menguatkanku. Kuingat lagi puisi Abu Nuwas,  “Tuhan...bila Engkau tepiskan tanganku, siapakah lagi yang mau mengasihani?”

Mesjid di kota kami ini tak terlalu besar. Ada karpet merah di bagian perempuan dan bagian laki-laki. Di antara tempat sholat laki-laki dan perempuan dipisahkan dengan  kaca besar yang hanya bisa dilihat dari satu arah, hanya dari bagian perempuan saja. Tempat masuk bagian perempuan adalah di sayap selatan gedung sementara bagian laki-laki dimasuki di sayap utara gedung.

Di waktu subuh selain dari Runi, ada satu sosok perempuan tua yang sholat di samping kami. Ketika sholat selesai, aku memperhatikan barisan shaf laki-laki di balik kaca pemisah. Kumelihat sosok yang begitu familiar, yang telah lama tak kulihat, Eric. 

“Eric? Sholat?” pikirku bingung.

What If?Where stories live. Discover now