Rutinitas

7.2K 195 5
                                    

Sudah sebulan kami tinggal di West Lafayette, nama kota tempat universitas ini berada. Dalam waktu seminggu saja, Jay harus memulai program masternya dan bekerja sebagai asisten professor sebagai caranya untuk membayar sekolah dan kehidupannya. Ia juga bekerja sebagai tutor di high school yang letaknya tak begitu jauh dari kampus beberapa jam seminggu. Aku juga menyempatkan sebagai tutor, dan kalau malam aku bekerja di gas station sudut tak jauh dari apartemen. Kalau pagi sampai siang aku bekerja di toko buku seperjalanan kaki dari gedung engineering Jay.

Kami mencoba menghabiskan waktu makan siang bersama, walau itu hanya setengah jam saja. Setiap kali aku ke dokter untuk memeriksa kehamilan, Jay mencoba menemaniku. Tetapi biasanya aku hanya memberi tahu hasil akhirnya saja. Jika ia pulang sebelum aku harus pergi bekerja di gas station, maka kami berusaha makan malam bersama. Aku biasanya pulang dari gas station sekitar jam 12 malam. Jay biasanya belum pulang, sering kali ia menghabiskan malamnya di lab tempatnya bekerja. Terkadang hanya sempat menelepon hanya untuk bercerita sebentar tentang kesehariannya, keseharianku. Waktu kami sama-sama kuliah dulu, kami menghabiskan banyak waktu bertengkar. Mungkin karena kehidupan kami yang amat sangat sibuk sekarang, dan permasalahan yang besar tanpa solusi yang jelas, pertengkaran itu hampir tak ada. Di awal pindah kami, Jay bertanya apakah aku ingin menikahinya tapi aku tak pernah menjawabnya. Aku hanya tersenyum tipis dan melangkah pergi. 

Kencan pertama kami

“So that’s how it is...you’re late for an hour!” dari telepon kafe kumenelepon apartemen Jay.

“Maaf Tia, lima menit lagi, okay? Aku tadi benar-benar tenggelam di ME lab (Mechanical Engineering -- penulis) dengan proyek terakhir. You know how it is.”

“Ugh...bilang kek kalo kamu bakal telat. Kalo lima menit lagi gak dateng aku tinggal ya?”

“Iya, lima menit gak dateng boleh kamu tinggal. I’ll be there.”

Aku sudah hendak beranjak dari tempat dudukku ketika aku melihat sosokmu memasuki pintu kafe yang penuh di Jum’at malam itu. Kamu bercelana corduroy hijau gelap, dengan kaos flanel dan topi baret. Saat itu musim dingin, tapi musim dingin tahun itu begitu mild-nya di kota kami, sehingga tak perlu memakai jaket tebal. 

“And where do you think you’re going, young lady?” katamu tersenyum melihatku yang sudah berdiri dari tempat dudukku.

“Home, actually. Mau pergi nonton ama sahabat-sahabatku,” jawabku dingin.

“Oh come on! Belum juga lima menit?”
“Belum lima menit? Udah satu jam dan enam menit aku tungguin!”

“Maaf, Tia. Maaf. Mau minum apa, udah pesan minuman belum?”

“Hmm, aku mau kopi dingin yang pake vanilla es krim.”

“Es krim? Ini kan winter?”

“Aku paling suka makan es krim di musim dingin. Kamu mau kopi apa?” tanyaku balik.

“Aku gak minum kopi. Aku cuma mau coklat hangat aja.”

Dan Jay pun beranjak memesan minuman kami. Ketika ia datang membawa minuman kembali ke meja kami, live music di kafe itu pun mulai bermain. Suasana yang amat nyaman, walaupun terlalu banyak orang. Karena penuhnya kafe itu, hampir-hampir tidak ada tempat untuk berdiri di antara meja dan kursi yang telah penuh.

“So you’re a muslim?” kata Jay tiba-tiba di tengah percakapan kami.

“Yup”

“Can you date me even though I’m not?”

“I just can’t marry you” jawabku ringan. Sebelum kencan ini aku pernah memergoki Jay sedang berdebat dengan sesama anak-anak mesin di gedung utama kami. Jay adalah seorang agnostik yang agresif. Bacaannya penuh dengan perdebatan tentang keberadaan Tuhan, tentang sejarah-sejarah keagaamaan. Dia gak pernah terlalu peduli bahwa ucapan yang dia keluarkan menyinggung dan membuat marah orang lain. Yang ia pedulikan hanya satu: orang lain itu harus mendengarkan “kebenaran” menurut dirinya sendiri yang telah ia formulakan dari berpuluh-puluh buku yang ia baca. Dalam kata pendek, ia kurang ajar. Tetapi ia amat sangat pintar, dan ia gak pernah memformulasikan opini dari omong kosongnya atau karena pendapat satu orang lain saja. Terus terang, ini hal yang paling menarik buatku dari Jay. I’m such a sucker for a brainy guy.

“Wow! Kamu kayak ngebanting pintu di depan mukaku, padahal baru juga mau ngetok” katanya tertawa.

“Well, you asked..”

---

Sejak aku melangkah pergi itu, Jay gak pernah lagi mengangkat ide tentang pernikahan. Malam itu, di minggu ke 20 kehamilanku, aku mengira Jay gak pulang ke rumah. Siang tadi aku baru mendatangi ob-gynku yang memberi tahu bahwa kami akan mempunyai anak laki-laki. Jay kali itu datang denganku, karena ia pun penasaran bayi apa yang ada di kandunganku. Semenjak pulang dari ob-gyn, aku menelepon manager gas stationku memberi tahunya bahwa aku gak bisa datang bekerja malam itu. Aku hanya benar-benar merasa gak enak. Seandainya semuanya dalam keadaan normal, bukankah aku akan menelepon orang tuaku dan dengan gembiranya membagi berita ini? Bukankah orang tuaku akan berbahagia denganku, merencanakan kapan mereka akan datang untuk membantu persalinanku? Bukankah ini akan menjadi cucu mereka yang pertama, laki-laki pertama di keluargaku, karena aku dan adikku adalah dua-duanya perempuan? Dadaku terasa sesak semenjak pulang dari dokter tadi. Jay tersenyum-senyum karena ia sendiri merasa senang. Ia genggam tanganku sepanjang perjalanan pulang, dan tanganku terasa dingin. Hatiku dingin. Aku menahan tangis dan tak banyak berkata apa-apa kepadanya.

Malam itu aku gak sanggup makan apa-apa, semenjak Jay drop dari dokter aku mengurung diri di kamar, dan menangis sehingga tertidur. Aku gak tahu bahwa Jay telah pulang satu jam sebelum aku tertidur, dan ia mendengar raunganku. Ia terduduk di depan pintu kamarku, dan matanya menerawang.

Seperti setiap pagi, setelah sholat subuh kusiapkan makan siang dan makan malam untuk kami. Biasanya Jay berangkat sesudah aku berangkat duluan ke pekerjaanku di toko buku. Tugasku di toko buku adalah untuk persiapan opening, jadi dimulai dari jam 7 pagi hingga jam 11 siang. Jay baru berangkat sekitar jam 8 atau lewat dari itu untuk memulai rutinitas harinya sendiri. Tapi pagi itu tiba-tiba kudengar suara pintunya terbuka. Ia muncul dengan muka lebih lelah dari biasanya.

“Aku belum pernah bilang makasih untuk disiapkan makan siang setiap harinya, dan makan malam. Kamu mestinya gak merepotkan diri kamu ama hal-hal ngurusin aku,” katanya.

“It’s alright. Udah jadi rutinitas, gak terasa berat lagi.”

“I know. You shouldn’t have anyway. Tia, kata dokter kemarin kamu kurang tambahan berat badannya. Kamu harus makan lebih banyak dan istirahat lebih banyak.”

“I know. I was there with you, too. Aku perlu nabung banyak untuk biaya-biaya bayi nanti, Jay. Lagian sesudah itu aku masih ingin balik nerusin sekolah aku, gimana pun beratnya nanti.”

“I’ll help you. I promise.”

“Iya, tau. Aku cuma bisa menghadapi ini sehari demi sehari, Jay. Lebih dari itu aku gak kuat. Kata dokternya kemarin bayinya sehat, ya kan? It’s alright. I feel fine,” jawabku dengan tambahan senyum agar Jay gak lagi khawatir.

Jay merangkul pundakku sebentar sebelum aku masuk ke kamar mandi. Yang aku gak tau, Jay mencatat nomor telepon orang tuaku di Jakarta yang tertulis di white board dekat telepon di dapur kami. White board itu berisi nomor-nomor telepon emergency, yang berarti berisi nomor telepon keluarga dan teman-teman dekat kami masing-masing.

What If?Donde viven las historias. Descúbrelo ahora