Piknik

5.7K 158 0
                                    

Aku benar-benar kepanasan di akhir bulan Juli ini. Mukaku mulai terlihat merah dan aku sibuk mengarahkan semua A/C mobil ke arahku ketika Jay memecahkan keheningan.
“Tia, apa artinya aku buat kamu?”
“Kenapa nanya gitu tiba-tiba?”
“Hmm...kamu gak mau jawab, apa gak tau jawabannya?”
“Brutal honesty, ya kan Jay?”
“Iya, selalu. Jadi apa artinya aku buat kamu?”
“Bapak anak aku, roommate aku, orang yang aku sayangi tapi aku gak pernah tau kamu ngerasa apa ama aku.”
“Apa artinya kita buat kamu?”
“Kita?”
“Iya, kamu mau kita kemana?”
“Maksud kamu?”
“Kamu tetap gak mau nikah ama aku, kenapa? Kamu gak mau anak kita punya keluarga normal?”
“Jay, apa pun jadinya kita...kita gak mungkin punya keluarga normal. Aku cukup tau kamu, aku gak bisa nikah ama seseorang yang gak yakin ada Tuhan atau nggak. Gak ada gunanya kita nikah kalau cuma nambah masalah aja.”
“Padahal tadi kamu bilang kamu sayang aku?”
“Iya, aku gak boong.”
“Do you know how I feel?”
“Gak tau, kamu gak pernah bilang.”
“Menurut kamu, aku gimana ke kamu?”
“Menurut aku kamu sayang aku, pe-de gak tuh gue?”
“Hahahaha...tapi salah, Tia. Aku cinta ama kamu, bukan cuma sayang ama kamu. Aku mau bangun tiap pagi ama kamu, mau cerita tentang keseharianku ama kamu, walaupun kamu bengong, aku tetap pengen cerita thesis aku sama kamu,” kata Jay dengan pandangannya lurus ke jalanan. “Aku perlu bertahun-tahun untuk ngambil kesimpulan seperti sekarang, Tia. Bahwa aku percaya ada yang menciptakan ini semua, tapi betapa aku benci dengan terkotak-kotaknya agama. Aku benci karena gak ada satu alasan yang menyebabkan manusia membunuh manusia lain dengan mudahnya selain karena agama. Aku gak ngerti kenapa kamu berpegangan keras dengan peraturan-peraturan agama kamu sehingga membuat kamu begitu sedih dan kecewa dengan diri kamu sendiri. Tapi kalau untuk bersama kamu aku perlu menganggap kesimpulan aku salah, rasanya aku rela.”
Aku hanya tersenyum tipis mendengar Jay yang berbicara panjang lebar.
“Jay, aku yang gak rela.”
“Maksud kamu?”
“Semenjak aku kenal ama kamu, aku penasaran dengan agama aku sendiri. You see, dulu waktu aku kecil aku cuma dicekokin aja yang ini dosa, yang itu dosa, masuk neraka, etc...etc. Aku penasaran ama argumen-argumen kamu dan pertanyaan-pertanyaan kamu. Aku gak pernah mempertanyakan kenapa dulu aku harus sholat. Satu yang beda antara aku dengan kamu, aku yakin banget akan keberadaan Tuhan. Bahkan di tengah-tengah kesedihan aku yang paling dalam, di tengah rasa sakit aku, aku malah makin percaya. Di tengah kesendirian aku, aku merasa yang lari itu selalu aku, bukan DIA yang ninggalin aku. Hmm...mungkin kamu ngeliat aku dan mikir ini pikiran terkebelakang banget. Tapi kadang ada hal-hal yang kita harus dengar dengan hati, Jay...bukan diargumentasiin dengan otak aja. Eniwei, aku sekarang tahu kenapa aku muslim. Ini bukan lagi pilihan orang tua aku, tapi ini pilihan aku. Aku tahu kehidupan aku sekarang jauh dengan yang seharusnya aku jalanin. Jauh banget. Tapi aku juga tahu kenapa peraturan-peraturan itu ada, dan kalau aja aku mengikuti itu semua, hati aku sekarang mungkin gak sehancur ini. Dan kalau aku ngebayangin bahwa aku yang bakal jadi penyebab kehancuran hati orang tua aku, Jay...rasanya aku berharap aku gak pernah ada..” aku buang pandanganku ke arah jendela mobil.
“Aku gak rela kamu untuk mengubah kesimpulan kamu cuma karena aku, Jay. Aku juga melewati banyak pemikiran yang panjang untuk sampai ke kesimpulan aku sekarang. Satu yang pasti, Jay, kita gak bisa mengisi sisa kehidupan kita dengan membohongi diri sendiri. Kita gak bisa pura-pura percaya hanya karena kita ingin menghabiskan hidup kita dengan seseorang yang kita yakin kita cintai. Kamu lebih baik dari itu, dan walaupun aku gak merasa seperti itu saat ini, tapi satu saat aku berhak yang lebih baik dari itu.”
“Tapi bukannya lebih mudah untuk menghadapi orang tua kamu bila kita udah nikah, Tia? Bukankah itu pilihan yang paling mudah diantara pilihan-pilihan yang semuanya sulit?”
“Jay, kalau memilih pilihan yang paling mudah, sungguh aku udah ngeracunin diri ama karbon monoksida ketika pertama kalinya aku tahu aku hamil.”
“Tia, gak boleh ngomong gitu ah!”
“Ya abis kamu ngomongin pilihan paling mudah? Semua ini pilihan yang rasanya gak mungkin untuk aku pilih. Ben bilang ama aku kalau pilihan bunuh diri itu adalah memilih pilihan yang permanen untuk masalah yang sifatnya sementara. Mungkin dia benar. Entah. Jay, kesimpulannya...kalau kamu ngajak aku ngomong sekarang hanya karena ingin tau kamu bisa nge-date orang lain lagi apa nggak, silahkan aja. Asal jangan dibawa ke apartemen kita. Dan jangan tinggalin aku melahirkan sendirian.”
“Ya ampun Tia, siapa yang mau ngedate orang lain? Aku dari tadi bukannya nawarin kamu untuk nikah sama aku? Heran, kayaknya tiap kali aku ngetok pintu kamu, yang kamu lakukan adalah menutup pintu itu berkali-kali di hadapan aku. Walaupun kamu tau perasaan aku, dan aku tau perasaan kamu. Tau gak betapa menyebalkannya kamu itu?”
“Iya, tau.”
“Oke, asal kamu mau ngaku,” Jay tersenyum simpul.

Sesampainya di tempat piknik, kami menurunkan sepeda yang kami bawa dan bersepeda mengelilingi danau. Karena makan pagi yang terlambat, kami belum merasa lapar di siang itu. Setelah bersepeda aku menggelar selimut kecil dan mulai membaca buku yang kubawa. Jay membuka laptopnya dan kembali bekerja. Kami nyaman seperti itu beberapa lama, ketika kemudian Jay membuka keranjang piknik kami dan mulai memakan sandwhich yang kami bawa. Aku jadi lapar melihatnya, dan meraih ke buah apel yang ada.
“Tia, ada yang perlu aku ceritakan ke kamu.”
“Ya cerita aja, cerita apaan emangnya?”
Jay menaruh sandwhichnya dan menatapku serius. Ia kemudian mengulurkan tangannya dan menggenggam tanganku.
“Jay, ngapain sih kamu? Nakut-nakutin aja!” kataku tergelak sambil menarik kembali tanganku. Jay meraihnya kembali.
“Tia, maaf, tapi aku menelepon orang tuamu.”
Untuk beberapa saat rasanya darah di mukaku membeku. Aku terbelalak menatap Jay, menunggu untuk kalimat berikutnya yang ia keluarkan. Tak sadar tanganku kini menggenggamnya erat.
“Aku berbicara dengan ayahmu. Aku perkenalkan diriku sebagai cowokmu. Kemudian aku bilang bahwa kita telah melakukan kesalahan besar, bahwa sekarang kamu hamil. Tapi kemudian ayahmu menutup telepon begitu saja. Aku kira aku akan mencoba menelepon mereka lagi setelah beberapa hari, sesudah orang tuamu gak shock lagi.”

Kubuang pandanganku ke arah bebek-bebek di atas danau. Aku amat dimanja oleh ayahku. Bahkan hingga aku SMA, aku masih kerap menidurkan kepalaku di atas paha beliau di beranda luar ketika hujan. Air mataku keluar begitu saja. Kulepaskan tangan Jay yang tadi kucengkeram erat, dan aku masuk ke dalam mobil. Jay bergegas membereskan tempat piknik kami dan menyetir pulang. Malam itu aku tidak berkata satu pun kepada Jay, sehingga keesokan harinya.

What If?Where stories live. Discover now