Minggu ke-37 Kehamilan

7.9K 180 2
                                    

Di suatu malam aku mengejar kerjaanku untuk Dr.Webb karena menurut dokter ob-gyn sekarang-sekarang ini bayiku bisa saja lahir pada waktu kapan pun. Jay yang kali ini menemaniku sambil membawa flashdrive-nya dan mengerjakan papernya di komputer sebelahku.

“Jay, kenapa kamu sulit sekali untuk percaya kalau Tuhan itu ada?”

“Kamu tau masa kecil aku, Tia. Aku sulit untuk percaya bahwa anak seumur kakakku dulu diperkosa berkali-kali oleh anggota keluarga sendiri, dan Tuhan gak berlaku apa-apa.”

“Tapi bukankah kelakuan kita adalah kumpulan pilihan, Jay? Kalau Tuhan kemudian mencegah pilihan-pilihan itu karena mereka adalah pilihan yang salah, bukankah kita kemudian bukan lagi menjadi manusia?”

“Hmm, yeah...I guess you’re right.”

“Kamu masih marah, Jay?”

Jay sepertinya tahu apa yang kumaksud. Yang kumaksud bukanlah apakah ia marah denganku, tapi apakah ia masih marah dengan keadaan keluarganya.

Sambil matanya tetap memperhatikan erat simulasi eksperimen yang dia akses lewat network sekolah, ia tersenyum dan menjawab, “Udah gak terlalu, Tia. Semenjak kamu ada di keseharian aku, aku gak terlalu marah lagi sama keadaan. Kamu seharusnya punya setiap alasan untuk benci denganku, tapi kamu ada di samping aku. Kamu masih tetap menanyakan keseharian aku, makan bareng dengan aku. Untuk pertama kalinya aku gak merasa kesepian.”

Ada yang terasa menusuk di dadaku mendengar penjelasan Jay. Terkadang ia terasa seperti anak kecil yang ingin aku lindungi.

“Jay, kalau aku gak pernah menikahi kamu, gimana kita membesarkan anak kita nanti?”

Ia tetap tersenyum, “Berarti kita gak boleh tinggal jauh dari satu sama lain.”

“Walaupun kita nanti menikahi orang lain?” tanyaku.

“Iya, itu harus perjanjian kita sampai anak kita dewasa nanti,” katanya pasti.

“Oke, jadi kita harus diskusi terus untuk keputusan ngambil kerjaan, pindah rumah, dan yang lainnya.”

“Yep. Harus begitu, harus janji.”

“Jay, aku bakal ngajarin anak kita tentang Islam.”


“Oke, aku gak keberatan. Mendingan daripada aku ngajarin dia tentang ke-nggak pastian.”

“Serius?”

“Iya, serius.”

“Jay, kamu sadar kalau kehidupan kita berpuluh tahun ke depan bakalan complicated?”

“Tia, aku udah tahu itu semenjak hari kamu ngasih tau aku bahwa kamu hamil. Udah malam, Tia. Ayo kamu aku anterin pulang,” tarik tangannya membantuku yang mulai sulit membawa beban badanku sendiri.”

What If?Where stories live. Discover now