The Plan

25K 488 14
                                    

Waktu terasa berjalan untuk selamanya, dan kita duduk berdua, terdiam.  Aku sibuk menghapus setiap tetes air mata yang tidak mau berhenti dari mataku.  Sempat teringat janjiku dengan seorang sahabat ketika kutinggalkan negeriku, “Jangan pernah menangis depan orang lain,” katanya.  So much for that...so much for not changing...so much for anything...   Untuk pertama kali semenjak ku kenal Jay, ia kehabisan kata-kata.  Memecahkan keheningan, aku berkata, “Aku gak hendak meminta kamu untuk melakukan apa-apa.  Aku cuma pikir kamu harus tau...” 

“Apa rencana kamu ke depan?” tatapanmu nanar ke mataku. 

“Gak tau...kill myself? Itu rencanaku yang paling bagus sampe sekarang.” 

Kamu memandangku dengan agak bergidik, “Kamu gak serius kan Tia?” 

“Aku gak tau, Jay.  Sebagian dari diriku sungguh-sungguh memikirkan pilihan itu.  Aku telah melakukan sesuatu yang benar-benar malu-maluin untuk seorang Indonesia yang masih punya harga diri!” 

“Tapi ini Amerika, Tia!  Dan ini bukan tahun 50-an lagi!” katamu setengah bercanda.  Aku memandangnya balik, dengan pandangan bercampur antara rasa benci dan cinta.

“Tapi seluruh keluargaku bukan orang Amerika. Dan aku tidak diatur dengan norma Amerika!”  “Okay...okay...tapi kamu gak boleh serius tentang rencana itu, okay?  Kamu bilang ini ke aku karena sebenernya kamu masih gak pengen mati, ya kan?” 

“Aku gak bunuh diri karena aku gak ingin di neraka selama-lamanya setelah ngelakuin this foul shit too!”  Aku bertambah marah.  Sebagian besar marahku ditujukan ke diri sendiri, karena situasi ini ada karena pilihanku.  Tetapi aku juga marah kepadanya, Jay.  Why the hell didn’t he use condom that night!  Dia kan tau dia ngelakuin apa!  Walaupun umurku yang telah dewasa, aku belum pernah mengambil sex education in what so ever form before!  Yang aku tahu cuma satu, aku gak boleh berhubungan sex sampai aku menikah.  Yup, so much for THAT plan! 

“Aku belum masuk ke kelas-kelas kuliahku minggu ini, muntah-muntah terus,” lanjutku.  “Aku search di web engine katanya ini yg namanya morning sickness or whatever..” 

“Udah bilang ke orang tua kamu?” tanyanya. 

 “Nope. Gak tau mau bilang apa. Aku mikir buat ngarang bilang aku diperkosa or something, tapi gak bisa. Aku dah ngelakuin dosa besar, aku gak bisa aja nambahinnya dengan segala macam lagi kebohongan. Cape.” 

“Ngomong apaan sih kamu tentang dosa dan segalanya, Tia? Kamu tau aku gak percaya segala bullcrap itu!” 

“Aku tau kamu nggak percaya, tapi aku iya. So deal with it.” 

 “Tapi kan malah bikin kamu jadi ngerasa lebih buruk dari yg udah kamu rasain sekarang, Tia? Ngapain sih?” 

 “Aku udah bilang yg aku perlu bilang, Jay. Aku gak perlu kamu tambah-tambahin dengan menghina kepercayaan aku.” Aku berdiri terlalu cepat dan membuatku sedikit pusing dan harus berpegangan sebentar di lenganmu. 

 “Please, duduklah, Tia. Aku harus mikir dulu, gak bisa bikin keputusan sekarang, okay?” katamu lembut. 

 Jay memelukku erat. Untuk sementara aku merasa tenang. 

Jujurnya, aku amat, sangat lelah. Berita hamil ini telah aku bawa sendirian selama 8 minggu. Satu-satunya tempat yg telah aku datangi hanya klinik kampus untuk memastikan kehamilanku. Dan satu-satunya orang lain yg telah tau keadaanku adalah teman satu apartemenku yg juga sahabatku, Crystal. Beberapa skenario telah kujalankan ulang di kepalaku: bunuh diri? Aborsi? Adopsi? Tapi aku benar-benar kebingungan. Ini adalah tahun ketiga kuliahku di fakultas tehnik mesin. Kejadian seperti ini seharusnya gak pernah terjadi padaku. Gak untuk keluargaku. Aku dibesarkan di keluarga muslim yang cukup liberal. Tetapi dari kecil aku selalu lurus-lurus aja. Walaupun orang tuaku gak pernah melarang aku pacaran, tapi aku gak pernah meng-iyakan ajakan untuk itu. What the hell happened? Kayaknya aku baru aja mengerdipkan mata, dan tiba-tiba aku berada di setengah belahan dunia yang lain, sendirian, dan tersasar.

“Look, sebenarnya sore ini seharusnya aku pergi ke San Antonio. Tapi aku akan menelepon pamanku dan bilang aku berangkat besok aja, ya? Kamu tidur disini aja malam ini. Nanti aku masakin kamu makan malam. Udah makan belum?” Aku bilang padamu bahwa aku belum lapar. Tapi kamu merasakan dinginnya tanganku sebelumnya. “Istirahat dululah kamu Tia, please.” Terus terang kamu kelihatan jauh lebih tenang dari sore ketika aku membaca hasil pregnancy kit di apartemenku 8 minggu lalu. “Kamu gak freak out, Jay?” “Ya iyalah, Tia. Tapi aku bisa bilang bahwa kamu lebih parah keadaannya dari aku. Jadi gak nolonglah kalau kita jadi bunuh-bunuhan karena sama-sama freak out kan?” “It wouldn’t?” tanyaku sarkastik. Kamu tersenyum tipis dan mempererat pegangan tanganmu sebelum melepasnya. 

Aku mengikutimu ke dapurmu. “Udah bicara sama orang tuamu?” tanyamu lagi. “Belum, kan aku udah bilang kalau berita ini bisa membunuh mereka. Aku masih berharap aku akan keguguran yg bukan aku sebabin sendiri. Some miracle.” 

 “Tia...”

 “Aku serius, Jay.”

 “Iya, aku tahu kamu serius. Tapi kalau keajaiban itu gak ada, gimana?”

 “Aku gak tau, Jay. Aku gak bisa mikir nyelesein kuliah kayak gini caranya. Gimana kalau teman-teman Indonesiaku melihat aku? Bilang apa mereka? Aku mikir mau ngambil sabbatical aja. Tapi terus aku gak tau mau pergi kemana? Gak taulah. Aku sempat mikir aborsi juga, tapi aku gak bisa rasanya ngebunuh. Gak bisa aja. Ini kan salah aku, kenapa jadi bayinya yang aku bunuh? Kayaknya kalau mikir pilihan-pilihan, rasanya gak ada yg bisa aku ambil. Seandainya aja aku gak pernah ngelakuin apa yang kita lakuin... Ini semua karena aku ngelanggar aturan kepercayaan aku sendiri...” dan aku kembali menangis. Aku tahu kamu sebenarnya ingin sekali mulai ceramah tentang betapa bodohnya untuk percaya dengan struktur agama, dst, dst...tapi kamu menahan diri. Sebaliknya kamu kembali memelukku dan mengayun badanku ke kiri dan ke kanan, perlahan.

 Matahari mulai tenggelam, dan setelah aku sholat aku berjalan menemuimu di ruang tamumu. “Udah legaan?” tanyamu. Aku gak jelas kau tuh sebenarnya bertanya sinis atau benar-benar ingin memastikan aku lebih baik atau nggak. 

 “Nih, aku bikin ayam goreng. Mau gak?”

 “Yeah...” gak sengaja perutku terdengar berbunyi, ternyata aku lapar banget!

 “Kok bisa kejadian ya, Tia? Aku kan narik” katamu membawaku kembali ke kenyataan.

 “Aku bilang hal yang sama ke dokter di klinik. Tapi dia bilang bahwa sebelum ejakulasi akhir, selalu ada aja sperma yang udah keluar. Jadi narik gak pernah menggaransi apa-apa,” jawabku pelan.

 “Maafin aku, Tia.”

 “Salah aku juga, Jay. Aku kan juga udah dewasa.”

 “Aku mikir, kalau kamu emang mau melahirkan bayi itu, kenapa kamu gak sama aku aja? Aku bisa bantuin kamu melewati semuanya. Dan mungkin ngebantuin kamu ngegedeinnya.”

 “How?”

 “Well, kan kamu mikir ngambil sabbatical kan? Ambil aja. Aku kan udah lulus dan udah diterima untuk Master Program di Purdue. Ikut aja ama aku. Kamu cari pekerjaan sementara, we’ll make it. Ya pasti berat, tapi senggak-nggaknya kamu gak harus menghadapi semuanya sendirian.”

 Aku langsung menyetujui usulmu. Udah putus asa abis rasanya...dan nggak ada lagi yang mengikat aku untuk tinggal di kota kuliah kecil ini.

 “Aku bakal semingguan di San Antonio, okay? Nih nomor telepon paman aku kalau kamu perlu menghubungi aku. Kita ke Purdue di akhir bulan ini. Kuliah aku mulai di Fall semester tahun ini. Summer ini kita settle dulu aja, cari kerjaan buat kamu. Kita punya waktu sekitar tiga minggu untuk bersiap-siap.” 

 Aku menengadah dan menatap matamu.

 “Don’t worry okay, Tia?” senyummu sambil meng-cradle mukaku di kedua tanganmu. Aku tersenyum. Bukan karena aku gak lagi khawatir. Aku cuma capek untuk terus menerus mikirin hal yang sama. Aku udah gak tau lagi mau ngapain.

What If?Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin