Makan Siang

5.8K 168 2
                                    

Aku menatap jam yang rasanya lambat sekali bergeraknya hingga berubah menjadi 11 siang. Begitu jam panjang tepat berada di pukul 12, aku gak menunggu semenit lagi untuk meninggalkan SBS. Teman kerjaku Matt bertanya, “Is Jay waiting for you? You look like you’re in a hurry.”

“Nahhh, not Jay. I gotta lunch date with another friend,” kataku sambil berlari ke pintu keluar.

Aku cukup berjalan ke taman tempat kami akan bertemu itu. Dari jauh telah kulihat sosok Eric yang tak terlalu tinggi, tapi pas banget untuk pemain defense American football karena badannya yang berotot. Aku hampir gak pernah melihatnya dengan kacamata, tapi kali itu dia berkacamata. Kebetulan ia menengok ke arah tempatku datang.

“Hey girly!” serunya sambil berjalan ke arahku.

“It’s okay, stay there!” kataku sambil mempercepat langkahku.

“So...kok kamu jadi ada disini?” kataku setelah melepas rangkulannya.

“Sebenarnya waktu masih di McKinney aku juga udah melamar scholarship untuk kesini, tapi waktu itu belum ada kepastian diterima. Aku baru dapat kabar bahwa semester ini aku dapat full scholarship di fakultas psychology setelah kamu pergi.”

“Ya ampun, kok bisa sih?” kataku dengan senyum yang tak lepas. “It really is good to see you again, Eric. Truly. It’s like having an early birthday present. Oh iya, kemarin kita ke 20 week appointment di ob-gyn. Kata dokternya kita bakal punya anak laki-laki.”

“Hmm...congratulation is in order, then. Kamu sendiri gimana?” suara Eric merendah dan pandangan matanya menangkap mataku.

“Ah, gak taulah. It’s a complicated feeling,” jawabku sambil menunduk.

Gak lama aku buka kotak makan siangku dan dengan ekstra piring kertas dan sendok plastik dari kafetaria kampus yang tak begitu jauh dari tempat kami, kubagi makanan sederhana yang kumasak pagi tadi. Eric bercerita berbagai macam hal, membuatku tertawa seperti biasanya. Ia selalu mampu membuatku tertawa terbahak. Selalu. Gak terasa waktu hampir mencapai 12:40 siang. Eric harus masuk ke kelasnya siang itu. Kita bertukaran nomor telepon rumah dan email. Kuberi tahu schedule kerjaanku dan nomor telepon SBS jika ia ingin mengontakku dari waktu ke waktu.

Kulangkahkan kaki ke arah gedung mechanical engineering, tempat lab Jay berada. Langkahku seperti ada per-nya, pengaruh perasaan hati yang senang tertawa lagi bersama Eric. Untuk sesaat aku lupa rasa rindu keluarga di Jakarta. Aku tetap menelpon mereka, tapi mereka masih belum tahu bahwa aku gak lagi kuliah, bahwa aku gak lagi di kota kecil di Texas, bahwa aku dalam hitungan bulan akan menjadi seorang ibu. Sungguh, rasanya aku memendung DAM yang sebentar lagi akan pecah.

“Knock! Knock!” seruku sambil mengetuk pintu lab Jay.

“Come in, Tia” dari dalam kudengar suara Nicky, salah satu kolega Jay yang juga kukenal. Aku tahu Jay sering membawa masakan percobaanku ke labnya. Walaupun mereka tak terlalu mengenalku karena schedule pekerjaanku yang juga penuh, tetapi mereka mengenal dekat masakanku.

“Is Jay in?”

“Dia lagi dipanggil sama Dr.Webb, sebentar lagi dia juga kesini. Bawa apa?” tanya Nicky iseng melihat lunch boxku di pegangan tangan.

“Oh, udah kosong yang ini. Nanti ya kalau aku masak apaan lagi aku titip Jay,” jawabku tersenyum.

“You spoil him rotten! Tapi gak papa sih, kita juga jadi kebagian,” kata Nicky lagi.

“Hey gorgeous!” dengarku tiba-tiba sambil tangan Jay merengkuh bahuku dan mencium rambut belakangku.

Kumembalik ke belakang. Jay gak seperti biasanya. Dia bukan sejenis laki-laki yang biasa memperlihatkan perhatiannya di hadapan orang lain.

“What’s up with you? You’re in a good mood today.”

“Yep, kita dapat tambahan funding untuk project yang aku kerjain. Dan kayaknya aku makin pasti thesis aku akan tentang apa.”

Jujur, aku juga ngambil tehnik mesin, sama persis dengan Jay. Tapi kalau dia sedang bercerita detail tentang projectnya, tentang thesisnya sampai mana, aku hanya bisa memandangnya dengan pandangan kosong. Sampai dia biasanya nyeletuk, “Kamu gak ngerti satu pun apa yang aku ceritain ya?”

“Nggak. Tapi tetap nolong kamu, kan?” jawabku nyengir.

“Nolong apaan? Yang ada mata kamu kayak melanglang buana ke negeri yang lain gitu!” sambil menoyor kepalaku.

“Yee, kamu kan cerita thesis kamu ke aku buat ngebantu kamu mikir logika kamu sendiri, bukan perlu pendapatku!” aku membela diri.

Begitulah biasanya pembicaraan thesis Jay di siang hari sambil makan siang denganku.

“Jadi gimana tuh kabarnya Casanova?” goda Jay.

“Baik, dia ternyata dapat beasiswa penuh disini. Dasar tu orang, gak bilang-bilang waktu di McKinney kalau dia juga ternyata ngedaftar kesini. Aku kira dia bakal nerusin di Prairie View.”

“Ouch! Jadi dia bakal disini bertahun-tahun dong? Aku kira dia cuma kebetulan aja lagi disini.”

“Iya, asik ya? Aku seneng banget dia pindah!” seruku dengan sedikit berjingkat.

“Ih, kayaknya kamu kalau ngeliat aku pulang dari kampus aja gak seseneng ini? What’s up with that?”

“Ya iyalah seneng, dia tuh selalu bisa ngebuat aku ketawa dalam keadaan apa pun. I will need that more than anything now,” kalimat terakhir ini kukatakan sepelan mungkin, tapi karena Jay ada di sampingku sambil memakan makanan siangnya, ia mendengar juga.

“Kebalikan dari aku ya, yang cuma bisa bikin kamu nangis?” katanya serius. Jay biasanya selalu mampu menyembunyikan perasaannya dengan kalimatnya yang penuh godaan. Tapi kali ini matanya membohonginya, ia sedih menatapku.

Aku tersenyum membalasnya dan berkata, “Siapa bilang? Kamu bisa membuat aku cinta sama kamu.”

Cahaya iseng di matanya kembali, “See, you ARE a player! Siapa lagi coba yang ngebales perkataan orang dengan kalimat kayak kamu?”

Kami berdua tertawa terbahak. 

Mendekati pukul 2 siang, Jay harus membuka office hournya untuk kelas lab yang ia ajar. Aku pun meninggalkannya sambil membawa lunch boxnya yang telah ia habiskan. “Istirahat dulu ya Tia? Kayaknya dokter itu benar, kamu kelihatan makin kurus, bukannya tambah terlihat hamil. Oh iya, aku hampir lupa! Aku tadi bicara sama Dr.Webb dan kayaknya ada lowongan sekretaris untuk mengurusi grad students kayak aku ini. Jamnya agak fleksibel dan full time. Kalau kayak gitu kan berarti kamu gak perlu kerja di gas station sampai jam 12 malam? Pulang dari sini kalau aku sempat, bisa aku antar pulang jadi kamu gak pulang malam-malam sendirian. Lagian kalau kerja di gas station itu lebih berbahaya daripada disini, ya kan? Kalau kamu mau, kasih ke aku resume kamu, Dr.Webb pasti gak keberatan nerima kamu kalau aku rekomendasiin.”

“Oh ya? Oke, nanti aku omongin sebentar sama manajer gas station aku ya, kasian kalau dia ditinggal begitu aja. Resumenya besok pagi insya Allah aku kasih ke kamu. Makasih ya Jay, udah ngebantuin aku.”

“Tentu aja! Aku boyfriend yang baik, iya kan?”

“Boyfriend? What boyfriend?” celotehku iseng dan melangkah pulang.

Ketika malam itu aku bekerja di gas station, tiba-tiba kudengar manajer gas stationku berkata, “Assalammu’alaikum, hey brother!” ke seorang pelanggan yang baru masuk. Selama ini aku tahu manajer stationku adalah orang Pakistan, dan walaupun ia seorang muslim, aku tak pernah melihatnya sholat. Ia sendiri tak pernah berkata apa-apa bila aku minta ijin untuk sholat sebentar. Karena perutku yang masih tak terlihat hamil, ia tidak menduga apa pun.

Pelanggan itu pun menjawab “Wa’alaikumsalam. How are you, brother?” Karena aku baru selesai membersihkan toilet, aku tidak melihat jelas pelanggan yang baru datang itu. Tapi suaranya aku kenal, karena baru siang tadi aku makan siang dengannya. Suara itu adalah suara Eric. “Brother?” pikirku dalam hati. “Sejak kapan dia dipanggil orang “brother”? Dia kan bukan orang muslim?” Aku baru menaruh alat-alat pembersih toilet ketika kudengar suara pintu terbuka lagi, dan pelanggan itu melangkah keluar. “Hmm, aku harus tanya sama Eric kenapa dia dipanggil orang ‘brother’?” 

What If?Where stories live. Discover now