Mencari Jalan Sendiri

13.8K 339 3
                                    

Menunggumu? Tentu aja nggak. Aku udah cukup pengalaman untuk gak melakukan hal bodoh itu, menunggu dan mengharapkan kamu. Date pertama kita, kamu telat selama lebih dari satu jam. Aku udah melangkah bersiap pulang ketika kamu kemudian masuk ke cafe tempat kita janjian. Bukannya menunggu, aku malah membuat rencana baru dengan Crystal untuk sementara tinggal di rumah orang tuanya di kota kecil utara sedikit dari Dallas, Texas. Niatnya sih aku hanya akan disana beberapa minggu sebelum mencari tempat tinggal sendiri yang tidak begitu jauh dari mereka. Untung juga aku dekat dengan keluarga Crystal. Mereka udah diberi tahu oleh Crystal duduk masalahnya. Ibunya yang lembut itu sudah menyediakan tempat tidur Crystal untukku. Aku harus berbagi kamar dengan 2 saudara perempuan Crystal yang lain. Mereka dari keluarga yang amat besar, Crystal mempunya 9 saudara kandung, dan ia anak kedua. Aku hanya bersyukur akan ada tempat dimana aku gak ketemu dengan seorang pun orang Indonesia yang aku sudah kenal sebelumnya. A new place to start over. Where ever that is. Seperti biasa, Jay tidak meneleponku sesudah balik dari San Antonio. Aku gak kaget, tapi seperti selalu, aku gak bisa gak kecewa. Seakan selalu ada bagian diriku yang mengharap lebih darinya. Perpetual Optimist. Tapi perubahan gak pernah datang. *sigh*

Seminggu setelah semestinya kamu sudah balik dari San Antonio, aku sedang memeluk kedua orang sahabatku, Crystal dan Ben.  Akhirnya aku memberi tahu juga satu orang lain di samping Crystal. Seorang sahabat yang lebih seperti abang untukku, Ben. Dia melihatku sedih. Crystal mencium keningku dengan air mata yang menggenang.
“Mestinya aku ikut sama kamu, tapi gimana dong...ada test gede banget dua hari lagi...”
“Aku tau, Crystal. Udahlah...gak usah khawatir, okay? Makasih udah bicara ama orang tua kamu, jadinya aku ada tempat tinggal untuk sementara.”
“Tia, bilang aku sayang kamu tuh hampir-hampir percuma. Aku bakal kangen banget ama kamu, ampe sakit nih dada aku. Kenapa kamu gak tinggal disini aja sih ama aku? Aku pasti ngurusin kamu. Hell, Ben aja bakal ngurusin kamu, ya gak Ben?”
“Iya, Tia...”
Yang aku bisa lakukan hanya tersenyum tipis dan mengeratkan pelukanku ke Ben. Kepalaku seperti tenggelam di dadanya yang bidang, sementara tangannya yang besar seperti menyelimutiku dari segala hal yg rasanya menyempitkan ruang pernafasanku.
“Kalau Jay datang, kasih tau aja yah alamat aku dimana...ya Crystal?”
“Kenapa? Mendingan kamu sendiri aja daripada ada hubungan lagi ama bangsat satu itu! God, aku benci banget ama dia!”
“Dearest Crystal, tolong dong kamu kasih tau dia informasi aku, ya? Aku tau kamu benci banget ama orang satu itu...tapi dia masih ayah bayi ini.”
“Iyaaa! Fine! Asal jangan mengharap tinggi-tinggi aja ya Tia, kalau dia akan datang dan nanyain tentang kamu. Kamu pasti udah nebak kalau dia udah gak peduli ama kamu.”
“Iya, Crystal..”
Aku tahu Crystal benar. Rasa tulus bencinya sama Jay itu datang dari rasa tulus sayangnya ke aku. Ben nggak berkata banyak, tapi dia gak melepaskan pelukannya ke aku. Terkadang hanya itu yang kita perlu. Pada saat itu, hanya itu yang ku perlu.

What If?Where stories live. Discover now