Purdue

8.1K 213 0
                                    

Untuk mencegah ada masalah di tengah jalan dengan kehamilanku, maka mobil kecilku di tow oleh truk besar Jay dengan U-haul. Mobil kecil itu sekarang berisi barang-barang kami yang gak terlalu banyak. Aku penuh senyum pagi itu, entah karena apa. Mungkin karena aku tak merasa sesepi biasanya. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 15 jam itu tertempuh tanpa terlalu membosankan. Karena kehamilanku yang masih sangat muda, kami menyetir bergantian walau aku banyak merasa mengantuk dan sering harus digantikan lagi oleh Jay.

Jay mendapatkan apartemen dua kamar yang tak jauh dari kampus pusat Purdue. Setelah kuperhatikan, kota ini tak begitu jauh berbeda dengan kota kecil universitas kami dulu. Mungkin sedikit lebih besar, tapi ada rasa kefamiliaran yang sama. Jalan-jalan yang lurus dan datar, dan rasa panas dengan kelembaban yang gak jauh beda di tengah-tengah musim panas ini.

Setelah kami selesai memasukkan barang-barang kami ke kamar kami masing-masing, Jay bertanya, “You’ll share my bed, right?”

“Huh? Nggak, gak mau. Aku tidur di kamar aku sendiri aja.”

“Pake apa? Aku gak lihat kamu bawa kasur?”

“Pake terpal, sama selimut. Susah pindah-pindahan sama kasur. Makan tempat.”

“Kalau hamil kamu tambah besar, kamu tetap tidur di atas lantai? Nanti kamu sakit.”

“I’ll be fine. Don’t worry.” 

“Hey, there’s a baby there” kata Jay lembut sambil memeluk pinggangku.”

“Hey, siapa bilang kamu boleh meluk aku?” kataku mengeles.

“Hmm, what’s up with the cold treatment? Bukannya ini fringe benefitnya tinggal bareng?” tanya Jay tambah iseng.

“Aku mau tinggal bareng ama kamu karena aku udah gak tau lagi mau lari kemana, tau?” jawabku sambil menahan keras air mata yang udah menggantung, siap tergelincir. “Shit!” ketika air mata itu mengkhianatiku dan terjatuh tepat di atas lengan Jay.

“Tia, what’s wrong?”

“Arrghh! Shit!” hapusku kasar ke mukaku dan mencoba menghindari pandangan Jay yang bingung menatapku.

“Tia?” dan tangannya tak melepas pergelangan tanganku.

“Inget gak kalo kamu cerita tentang keluarga kamu yang mestinya nyayangin kamu, tapi  kenyataannya gak gitu? Gimana om kamu merkosa kakak perempuan kamu pas dia masih kecil, gimana kakek kamu ngelakuin hal yang sama? You know, those bad things?”

Jay gak menjawab apa-apa, dia hanya menarik tanganku untuk duduk di atas box-box yang kini memenuhi ruang tamu kecil kami.

“Anyway, tapi kamu pasti masih kangen ama mereka, kan? Makanya kamu suka terbangun di tengah malam marah-marah? Iya, kamu kecewa, kamu marah, tapi kamu masih kangen, ya kan?” 

Jay kemudian memelukku erat dan berkata, “So you miss them now, is that it?”

“I miss them so much I can die, Jay,” dengan begitu aku mengeluarkan suara tangis yang sudah lagi tak jelas. Rasa sakit yang entah dari mana, seperti ada ular yang harus keluar dari perutku, entah.

“Yang lebih sakitnya lagi, aku gak bisa menemui mereka. Pilihannya menemui mereka sebagai pembunuh atau menemui mereka sebagai perempuan murahan. Either way, I can’t face them anymore...and I miss them! I miss them!”

“Hey! Kamu bukan perempuan murahan!” Jay mencengkeram bahuku.

“Not according to American value, but certainly according to our culture! I got knocked up outside marriage, didn’t I?”

“Tia...”

“Jangan salah, Jay. Beneran, aku gak nyalahin kamu. Don’t you dare feel guilty on me karena aku ngerasa begini. I don’t need your pity. Aku marah, tapi aku marah ke aku sendiri, bukan ke kamu. Shit! Aku gak tau gimana jalan keluarnya!”

Tumpah, tumpah semuanya. Aku gak gitu peduli lagi sama gengsi. Aku kangen Crystal, kangen Ben. Aku sendirian! Sendirian!!!

Malam itu kami makan sandwich dan ngobrol semalaman. Tentang apa saja, tentang hal-hal gak penting. Aku menyempatkan menelepon Crystal dan Ben memberi tahu mereka bahwa aku sudah sampai dengan selamat di kota kecil ini. Di tengah-tengah ruang tamu kecil, kotak pindahan, dan selimut yang merangkap menjadi karpet sementara, kami tertidur.

What If?Where stories live. Discover now