Student Book Store

6K 179 0
                                    

“Good morning. How can I help you today?” ketika suara toko buku kami berdenting menandakan ada pelanggan baru masuk. Aku sendiri masih menunduk mencoba mengatur pajangan-pajangan khas Purdue University yang juga kami jual di toko ini.

“Aku mencari buku Criminal Profiling untuk kelas PSYC 402, ada?”

 “Oh bentar ya aku cari di komputer kami” jawabku sambil memutar badan menghadap pelanggan ini. 

 Hampir-hampir aku terjatuh ketika kulihat siapa yang datang.

“Eric! What are you doing here? When did you come?”

 “Tia! Kamu kerja sini tokh? I’ve been looking for you all over this town,” kata Eric dengan muka sumringah. Giginya yang berbaris putih rapi terlihat indah kontras dengan kulitnya yang seperti tembaga berkilat.

 “Bentar ya aku bantu kamu cari buku itu, kalau gak salah kita masih punya yang ‘used’, aku kemarin ingat mengatur buku itu di lemari belakang. Sebentar ya.”

 “Oke,” kata Eric.

 Setelah kami menyelesaikan semua transaksi, Eric bertanya apakah aku ada waktu ketika makan siang nanti. Aku tentu saja tersenyum lebar dan berkata aku akan menemuinya di taman dalam kampus. 

 “You can share my food, so you can taste some Indonesian food,” kataku. Sungguh melihat Eric pagi ini seperti secercah matahari di tengah mendung yang berkepanjangan. 

 Tak lama sesudah Eric pergi, aku menelepon ke kantor Jay untuk memberi tahu aku gak bisa menemuinya untuk makan siang hari ini. Dengan muka berbinar ku memberi tahu Jay bahwa Eric datang ke toko buku dan akan makan siang sebentar denganku. Kudengar Jay sedikit mendesah dan kemudian berkata, “I guess he’s braver than I thought.”

“Apa tuh maksudnya?”

“Aku kira aku gak harus ketemu lagi sama dia. Aku kira kamu gak akan lagi ada kontak sama dia, kecuali mungkin lewat telepon. Tapi bahkan kamu gak pernah cerita kalau kamu pernah dapat telepon dari dia.”

“Emang dia gak pernah telepon. Aku juga kaget banget ngelihat dia pagi ini. Hey, are you jealous?”

“Jealous? Enak aja, ngapain jealous? You are such a player, though,” Jay menahan tawa.

“Player? What player? Kalau aku nyeleweng aku kan gak bakal bilang-bilang?” kataku.

“I know. He likes you, though. Kamu tahu itu kan?”

“Ya aku juga suka ama dia. He’s a good friend.”

“Bukan, bukan kayak Ben suka ama kamu. Dia suka kamu lebih dari itu,” Jay terdengar lebih serius.

“Ya terus mau aku apain dong? Masa aku jadi gak mau temenan ama dia karena dia suka ama aku lebih dari temen?”

“Emang gak bisa diapa-apain. I just wish you’re not that friendly to him, that’s all.”

“Not that friendly? Aku gak lebih ramah ke dia daripada ke orang lain, kok? Lagian ngapain jadi orang jahat? Emang aku kamu, suka bikin orang lain marah tanpa alasan yang jelas?”

“Tetep aja kamu suka ama aku, ya kan?”

“The heart wants what it wants, I guess... Aku juga gak tau kenapa aku sayang ama kamu. Padahal aku punya seribu alasan untuk gak suka ama kamu,” kataku jujur.

“Hey, kamu tuh jujur apa sadis? Anyway, aku harus balik lagi nih. Lagi ngetes fluid. Ya udah aku nanti makan siang sendiri. Kalau kamu udah selesai dari makan siang ama dia mampir sebentar yah ke kantor aku. Aku kangen dan aku gak tahu nanti bisa ketemu ama kamu nanti malam atau nggak. Kamu punya waktu kan? Rencana kamu siang ini apa sebelum kamu kerja lagi nanti malam?”

“Iya, aku mampir. Aku cuma mau bersih-bersih rumah sebentar sebelum kerja.”

“Bersih-bersih? Gak kotor kok?”

“Iya, tapi daripada nanti pas aku udah hamil besar apartemen kita berantakan terus?”

“Oke. Makasih ya. Hati-hati ama casanova satu itu.”

“Ya ampuun, iya Jay. Take care.”

“Bye, sweetie.”

What If?Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin