Minggu ke-38 Kehamilan

15.1K 221 0
                                    

Aku terbangun dengan sakit di perutku yang lebih keras dari biasanya. Menurut yang kubaca, braxton-hicks memang semakin sering akan kurasakan semakin waktu melahirkan mendekat. Aku mengatur nafas perlahan, dan rasa kencang di perutku pun melemah.

Setelah sholat subuh bersama Runi di mesjid, aku berencana beristirahat dulu sebelum pergi lagi ke toko buku SBS untuk bekerja pagi itu. Tetapi rasanya braxton-hicksku gak membolehkan aku kembali tidur nyenyak. Setelah terduduk beberapa lama di tempat tidur, akhirnya aku ke dapur dan memasak untuk makan siang dan malam kami semua. Runi terbangun setelah beberapa lama mendengar suara berdentingan di dapur.
“Hmm, enak banget wanginya mbak Tia? Masak apa?”
“Aku bikin risol, iseng. Nih aku taro di freezer ya Run, kalau mau makan kamu panasin sebentar di oven kecil. Terus ini ada lontong, kamu tinggal taro di kukusan untuk manasinnya.”
“Ya ampun udah masak dari jam berapa, mbak Tia?”
“Gak tau tuh abis subuh gak bisa tidur, Run. Wah udah jam berapa nih? Ya ampun aku harus siap-siap ngebuka toko! Run, bisa anterin aku pake mobil gak ke SBS? Aku gak bisa lari lagi nih!” tampangku berubah panik melihat jam dinding.
“Oke boss! Aku nanti yang bersihin dapur, mbak Tia, jangan khawatir.”
“Sorry ya Run, malah nyusahin.”
“Hmm...siapa bilang? Mbak Tia kan tau aku suka makan!” tawanya sambil menghapus perutnya sendiri.

Sepagian itu aku bingung karena sepertinya aku pipis di celana terus menerus. Selesai dari bekerja di SBS, aku berjalan ke arah kampus ketika rasa sakit di perutku membuatku berhenti melangkah. “Inikah kontraksi yang sebenarnya?”pikirku. Aku sudah membaca berbagai macam buku, melihat video melahirkan, tapi aku masih bingung rasa sakit melahirkan itu seperti apa. Aku melangkah lagi, karena aku masih ingat hari itu aku ada meeting dengan Dr.Webb. Rasa sakit itu semakin sering datang dan pergi, dan semakin lama semakin terasa. Akhirnya di kaki gedung kerjaku, aku tak sanggup lagi meneruskan langkahku. Kumenyeret dengan sisa tenagaku menggapai telepon emergency yang disediakan di berbagai tempat di kampus. Kumenelepon nomor lab Jay, dan kebetulan suara Jay terdengar segera. “Jay! I’m on labor!!” seruku.
“Oh God! Kamu dimana?”
“Aku di depan gedung kita, di telepon emergency!”
“Oke, aku ke bawah, tunggu.”
“Tunggu? Emang aku sanggup mau kemana?” teriakku di telepon.
Dua menit kemudian yang kurasa seperti dua minggu itu, Jay menemuiku yang telah terduduk di trotoar tempat orang berjalan kaki.
“Ugh...this hurts, Jay!”
“Ayo, Tia! Sini aku papah!” muka Jay terlihat panik menaruh tanganku mengelilingi lehernya.
“Kalau aku selamat ngelewatin ini, ingetin aku biar aku gak bakal punya anak seumur idup lagi ya? Ampuuunn, ini sakit banget?!”
“Iya, iya, sekarang pokoknya kita ke rumah sakit dulu. Tuh dia mobil aku. Ayo cepetan, jangan sampai kamu ngelahirin di mobil yah. Tahan dulu.”
“Tahan? Emang kamu kira ini mobil-mobilan bisa ditahan? Jay, mestinya kamu yang ngelahirin! Aku aja yang nyetirrrr!” kataku dengan keringat dingin membasahi dahi di tengah udara yang sejuk itu.
“Tia, sayang, please...sebentar. Sebentaar aja.”
Jay menyetir dengan secepat-cepatnya, dan aku mencengkeram seat-belt sekencang-kencangnya. Celanaku sudah lama basah.

Aku diminta mengisi setumpuk kertas untuk registrasi rumah sakit, dimana suster RS itu aku pelototi dan kujawab, “Ngisi ini? Just get this baby out of me! I don’t care how! Just get him out!!” Suster itu menjawab dengan suara yang amat tenang, dan berkata bahwa setiap ibu-ibu melahirkan masih harus mengisi kertas-kertas itu dan menjawab serial kuesioner. Sungguh aku ingin menangis. Jay kemudian mengambil kertas itu dan mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan itu satu per satu.

Setelah itu semua, suster itu kemudian mulai memintaku berganti baju dengan gaun RS. Aku memandang gaun itu dengan bingung, karena gaun itu tak menutupi banyak bagian tubuh sama sekali. Aku melihat Jay dan berkata kepadanya, “Kamu harus tetap ada di samping aku, gak berubah tempat sama sekali! Bagian belakang gaun ini bolong total, jadi kamu gak boleh ke belakang kepala aku. Bagian depan aku tempat bayi lahir, jadi kamu gak boleh juga ke depan. Ngerti gak?”
“Iya, nyonya,” katanya dengan senyum. “Wow, aku gak pernah melihat kamu segalak ini selama kenal kamu,” lanjutnya lagi.
“Baru tau ya aku galak?” tanyaku lagi.
“Ya ampunn, kalau begini bukan kamu aja yang gak mau lagi punya anak, aku juga!” Jay menghela nafas panjang.

Selang berjam-jam kemudian, dengan handuk di mulut yang kugigit erat-erat, jari Jay yang terceklik karena kugenggam dan kutarik terlalu keras, bayi kami pun akhirnya datang. Dalam satu kata, bayi laki-laki itu, Micah Ellington, beautiful.

What If?Where stories live. Discover now