Hari Demi Hari

5.9K 154 0
                                    

Perutku mulai tak bisa tertutupi bajuku lagi di minggu  ke 27 ini. Kusedang berdiri di hadapan kasir di corner store dan menimbang untuk membeli rokok. Aku tahu betapa tidak sehatnya merokok untuk bayiku, atau untuk aku. Tapi hati ini benar-benar kosong. Aku baru membuka mulutku ketika tiba-tiba suara perempuan di belakangku berseru, “Mbak Tia! Udah lama gak ketemu, lagi ngapain?”

Aku menoleh dan melihat senyum ramah Runi terkembang. Aku memaksakan senyum ketika menatapnya. “Eh kamu, Run,” jawabku lemas. Mataku berkantong dan dikelilingi lingkaran hitam karena aku tak bisa tidur semenjak berbicara dengan orang tuaku. Sudah beberapa kali kucoba menelepon lagi, tetapi selalu setelah aku mengucapkan salam, telepon itu ditutup. Aku hanya mau makan kalau Jay menungguiku memasukkan makanan ke mulutku. Setiap kali ke dokter ob-gynku, dokterku memperingatiku untuk menambah berat badanku, karena bahkan bagaimanapun aku mencoba untuk tak memperlihatkan isi hatiku, badanku bereaksi dengan keadaan. Aku terlihat kurus sekali.

Runi menatapku bingung karena untuk pertama kalinya ia sadar bahwa aku terlihat hamil. “Eh?” tunjuknya ke perutku. Aku tersenyum tipis, “Hmm, iya...aku hamil..” sambil mengelus perutku perlahan.
“Ihh senenggg! Aku gak tau mbak Tia udah kawin, abis kayaknya masih muda banget!” serunya polos dan penuh ceria.
Rasanya ada yang menusuk di hatiku, tetapi aku lelah untuk mencoba berbohong. “Hmm, kalo kawin emang belum, Run.”
“Oh..” Runi terlihat salah tingkah.
“Udah, aku tahu kamu jadi gak tau mau ngomong apa. Gak usah ngomong apa-apa,” senyumku sambil akhirnya memutuskan untuk membeli coklat Three Musketeers saja.
“Mbak Tia, mau ke rumah aku gak? Aku mau bikin nasi goreng, tapi gak enak makan sendirian, mau ya?” tanyanya dengan nada yang kembali riang.
“Hmm, mau Run, kayaknya enak juga makan masakan orang lain.”
Kami berjalan perlahan keluar dari corner store, bercerita tentang banyak hal. Ketika waktu sholat, Runi mengajakku ke mesjid yang letaknya tepat berseberangan jalan dengan lokasi apartemennya. “Ah, kamu aja deh Run yang kesana, aku sholat di rumah kamu aja, ada mukenah kan?”
Dan begitulah pertemanan kami dimulai. Dimana ada waktu luang, aku sering datang ke rumah Runi, dan di akhir minggu, dimana Jay sering menghabiskan malam-malamnya di kampus, aku hanya menelepon memberi tahu bahwa aku menginap di rumah Runi.

Di minggu 34 kehamilan...

Seperti biasa aku mengantarkan makan siang ke lab-nya Jay di lantai atas di gedung yang sama dengan kantor Dr. Webb. Siang itu tidak seperti biasanya, lab itu sepi sekali. Hanya terdengar suara mesin mendengung dan kulihat Jay berkutat dengan modelling di komputernya. Aku membawa PR dari kelas Dynamics-ku dan tanpa berkata apa-apa mulai duduk di sampingnya bekerja.

Sambil tak memindahkan pandangannya dari hadapan monitor, ia menegurku pelan, “Hmm...lunch. Makasih Tia, aku emang udah lapar. Is that your homework?”
“Iya, masih bisa aku ngerjainnya, it’s due tomorrow.”
“Oke. Kasih tau aku kalau perlu dibantuin.”
Dan dengan diam kami berdua pun asik duduk begitu beberapa lama. Setelah sekitar satu setengah jam, ia baru membuka kotak makanan yang kubawa.
“Kamu udah makan?”
“Udah.”
“Makan apa?”
“Makan yang sama ama yang aku bawa ke kamu, mie ayam.”
“This is really good.”
“Hmm, glad you like it.”
“Jay, gimana kalau aku pindah dan tinggal sama Runi?” tanyaku tiba-tiba dan tetap asik berhitung di kalkulator.
“What??” Jay tersedak. “Why??”
“Well, apartemennya gak jauh-jauh amat dari tempat kita. Lagian kamu sibuk banget sekarang di kampus terus, dan aku udah mau dekat melahirkan. Kalau ada apa-apa sama aku malam-malam, gimana? Aku pasti ngasih tau ama kamu tentang kelahiran bayi ini. Aku gak bakal bawa lari, janji. Lagian aku makin risih kayaknya tinggal ama laki-laki terus-terusan.”
“Kamu mulai baca peraturan-peraturan agama kamu lagi ya, Tia?” tanyanya sinis.
“Hmm, iya...tapi bener gak point aku?”
“Aku lagi sibuk banget Tia, aku gak bisa selalu ada di samping kamu!” jawab Jay meninggikan suaranya.
Aku mencoba tetap merendahkan nada suaraku dan tak ikut meninggi menandingi Jay. “Jay, apa kamu dengar aku mengeluh? Aku gak mengeluh. Aku malah ngasih kamu solusi biar gak khawatir ama keadaan aku, ya gak? Aku mau pindah ke tempat Runi,” nada suaraku tegas dan pasti.
Jay menarik nafas panjang,”Hmm...gak bisa dibicarain nanti aja di rumah?”
“Kamu udah berapa malam gak pulang, coba? Paling kamu cuma numpang mandi terus pergi lagi ke kampus. Aku gak papa kamu kayak begitu, makanya lebih baik aku tinggal ama Runi aja, daripada kayak sekarang, aku bolak-balik antara apartemen kita dan apartemen dia. Ini yang nawarin juga Runi, bukan aku yang minta tolong ama dia.”
Jay menatapku dalam-dalam. “Iya, kamu bener. Aku ngajak kamu pindah untuk ngebantuin sama kehamilan kamu, tapi bukannya aku yang ngurusin kamu, tapi malah kamu yang ngurusin aku dengan ngebersihin rumah dan masakin aku. Maafin aku, Tia.”
“Kamu juga ngebantuin banyak, Jay. Jangan ngelecehin diri kamu sendirilah... Runi bilang aku gak usah bantuin bayar apartemennya dia, selain dari bantuin bayaran air dan listrik. Jadi aku gak usah cari yang menggantikan lease untuk setengah apartemen kita ya? Aku masih harus ninggalin banyak barang aku disana.”
“Iya...gak usah khawatir masalah itu. Project aku menarik banyak funding, apartemen masih bisa tertutupi. Kamu harus janji masih drop by kesini setiap hari biar aku tahu kabar kamu. Kalau ada apa-apa, kamu harus ninggalin pesen di telepon lab aku. Telepon rumah Runi berapa? Tulis disini biar aku tahu,” Jay menyodorkan sticky pad untukku menulis.

What If?Where stories live. Discover now